Katolikpedia.id – Mendengar sebutan imam adalah gembala, spontan mengingatkan kita pada sekumpulan teks Kitab Suci. Dari Perjanjian Lama, Kitab Mazmur 23 menjadi salah satu teks yang yang paling indah, menenangkan dan menginspirasi: “Tuhan adalah gembalaku takkan kekurangan aku. Ia membaringkan aku di padang yang berumput hijau, Ia membimbing aku ke air yang tenang; Ia menyegarkan jiwaku. Ia menuntun aku di jalan yang benar oleh karena nama-Nya. Sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman aku tidak takut bahaya, sebab Engkau besertaku gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku.
Kisah lain datang dari Kitab Nabi Yeremia. Nabi Yeremia menegur para gembala Israel saat itu: “Celakalah para gembala yang membiarkan kambing domba gembalaan-Ku hilang dan terserak! “demikianlah firman Tuhan. Sebab itu beginilah firman Tuhan, Allah Israel, terhadap para gembala yang menggembalakan bangsaku: “Kamu telah membiarkan kambing domba-Ku terserak dan tercerai-berai, dan kamu tidak menjaganya. Maka ketahuilah, Aku akan membalaskan kepadamu perbuatan-perbuatanmu yang jahat, demikianlah firman Tuhan (Yer.23:1-2).
Dari Perjanjian Baru, salah satu teks yang sudah sangat familiar bagi kita adalah kisah Yesus Gembala yang baik dari Penginjil Yohanes. Teks ini selalu dibacakan pada Hari Minggu Paskah IV.
Dalam teks ini Yesus ditampilkan sebagai gembala yang baik, tampan dan gagah yang menjaga domba-dombanya. Secara harfiah gembala adalah orang yang memelihara, memberi makan, dan memberi kehidupan kepada kawanannya. Seorang gembala harus bisa membuka hidupnya untuk orang lain: setiap pikiran, gerak-tindaknya, dan kata-katanya memiliki tujuan untuk memperhatikan, menyegarkan dan menginspirasi orang lain. Lalu ada dua hak prerogatif seorang gembala dari teks ini, yakni: memberikan nyawanya dan mengenal domba-dombanya.
Tiba di sini, bisa dikatakan bahwa baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, gambaran Allah sebagai Gembala Umat-Nya, mengungkapkan dalam bahasa yang menyentuh dan bermakna, kasih dan tindakan cinta Allah yang intens bagi umat-Nya.
Dan bila mengaitkan gambaran gembala yang baik dengan panggilan keimamatan kita, maka akan membantu setiap kita untuk menghayati setiap momen imamat Gereja sebagai ekspresi cinta yang dalam dan intim dengan Allah yang mengasihi kita, di dalam Yesus Kristus.
Dari teks-teks Kitab Suci, kita bergeser atau melompat sejenak untuk melihat, mendengar dan merenungkan apa yang dikatakan oleh Bapa Suci Paus Fransiskus tentang Imam adalah gembala dalam beberapa masa Pontifikalnya hingga kini.
Dalam homili pada Misa Krisma perdananya sebagai Uskup Roma di Basilika Santo Petrus, pada Hari Kamis Putih, 28 Maret 2013, Bapa Suci mengajak para Imam menjadi gembala yang berbau domba. Kata Paus kala itu: “Saya berharap kalian menjadi gembala yang berbau domba, yang hidup, tertawa dan menangis dengan umat kawananmu”.
Lanjut Paus, seorang Imam itu diurapi bukan bagi dirinya sendiri, melainkan bagi orang miskin, para tawanan, orang tertindas dan umat kawanan penggembalaannya, Urapan minyak imamat seorang imam menjadikan dirinya “adanya bagi” (being for) orang lain. Kita diingatkan oleh kisah Harun: “Seperti minyak yang baik di atas kepala meleleh ke janggut, yang meleleh ke janggut Harun dan ke leher jubahnya” (Mzm 133:2). Minyak urapan imamat seorang imam harus mengalir turun membasahi umat kawanannya.
Lalu pada homili Misa Krisma, 2 April 2015, Paus mengatakan kepada para Imam bahwa tugas penggembalaan umat Allah bukanlah tugas yang mudah, seperti membangun aula paroki atau membangun lapangan olahraga bagi orang-orang muda.
Pelayanan sebagai seorang gembala itu melibatkan seluruh hati, pikiran, tenaga, perhatian dan segenap diri. Karena itu, tidak heran bahwa ada Imam yang kemudian merasa lelah dan letih dalam berkarya. Kata Paus, ada tiga model kelelahan yang sering dialami seorang Imam sebagai gembala.
Pertama, kelelahan karena umat Allah: kelelahan ini adalah kelelahan yang sehat dan baik. Seorang Imam lelah karena melayani umat Allah, umat tidak membiarkan Imamnya tinggal kosong. Seorang Imam selalu dicari, ditemui dan didatangi untuk berbagai pelayanan. Kelelahan seperti ini membahagiakan apabila seorang membuka diri untuk memperbarui semangat atau gairah melalui perjumpaan dan pelayanan kepada umatnya.
Kedua, kelelahan karena musuh: Musuh,dan lawan, tak pernah lelah berusaha menghancurkan dan menghalami bertumbuhnya benih-benih kebaikan. Berjuang melawan iblis sangat melelahkan tetapi pada saat-saat seperti ini, Tuhan selalu meminta para Imam untuk, “Teguhkanlah hatimu!” atau, “Jangan Takut”.
Ketiga, kelelahan karena diri sendiri: Kelelahan ini sangat berbahaya. Kelelahan ini muncul karena ketidakpuasan terhadap diri sendiri, selalu menginginkan sesuatu yang berbeda. Sudah memilih untuk meninggalkan segala sesuatu tetapi masih berjuang untuk mengumpulkan segala sesuatu bagi diri sendiri. Kelelahan ini sangat berbahaya karena berpusat dan berorientasi pada diri sendiri. Berhadapan dengan keletihan-kelelahan pastoral ini, Paus mengajak semua imam untuk memandang Tuhan Yesus sendiri, yang “mencintai mereka sampai akhir” (Yoh.13:1).
Sampai pada titik ini, bisa kita katakan bahwa “gampang-gampang susah” bagi seorang Imam untuk menjadi gembala yang baik. Tapi refleksi-refleksi Gereja tetap bisa membantu para Imam untuk menjadi gembala yang baik. Refleksi terbaru kembali datang dari Paus Fransiskus pada Simposium Teologi Internasional tentang Imamat yang diselenggarakan di Vatikan pada, 17-19 Februari 2022 yang lalu.
Pada Simposium ini, dalam refleksinya Paus mengajak Para imam untuk memiliki kedekatan dengan Tuhan, Uskup, sesama Imam dan dengan umat. Pertama, kedekatan dengan Tuhan. Tanpa keintiman doa, kehidupan spiritual yang baik, kedekatan konkret dengan Allah melalui mendengarkan Sabda, perayaan Ekaristi, keheningan adorasi, kepercayaan pada penyertaan Maria, sakramen Tobat, pelayanan kegembalaan seorang Imam pasti akan mandul. Ia hanya akan menjadi seorang pekerja yang mudah lelah.
Dan banyak krisis imamat berasal dari situasi ini: kehidupan doa yang langka, kurangnya keintiman dengan Tuhan, dan kehidupan spiritual yang seolah menjadi rutinitas belaka. Seorang imam diundang terutama untuk memupuk kedekatan dan keintiman dengan Tuhan. Relasi yang dekat dengan Tuhan, bisa dikatakan, adalah cangkok yang membuat seorang Imam tetap dalam ikatan kesuburan panggilannya.
Kedua, kedekatan dengan Uskup. Satu kata kunci yang bisa muncul disini adalah ketaatan. Ketaatan bukanlah atribut disiplin tetapi karakteristik terkuat dari ikatan yang menyatukan para Imam dan Uskup dalam sebuah persekutuan. Dalam nada ini, menaati uskup berarti belajar mendengarkan dan memahami kehendak Tuhan melalui sebuah discernment bersama (ketaatan: obedience, obbedire, ob-audire: mendengarkan dengan baik, mendengarkan dengan saksama).
Ketaatan karena itu mendengarkan kehendak Tuhan yang dilihat secara tepat dalam sebuah ikatan. Dan yang perlu diingat bahwa Uskup bukan seorang “pengawas sekolah”, “bukan penjaga”, tapi dia adalah seorang ayah, dan dia harus memberikan kedekatan ini. Ada dan mempertahankan ikatan dengan uskup membuat hidup imamat dapat diandalkan.
Ketiga, Kedekatan dengan sesama rekan Imam. Dimensi persaudaraanlah yang paling menonjol pada relasi kedekatan dengan sesama rekan Imam. Yesus sendiri mengatakan bahwa Ia ada di mana ada saudara-saudara yang mau saling mengasihi: “Di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di antara mereka” (Mat 18:20).
Kasih persaudaraan, bagi para imam, tidak tetap tertutup dalam kelompok kecil, tetapi diungkapkan sebagai amal pastoral (bdk. Anjuran Apostolik Pastores dabo vobis, 23), yang mendorong kita untuk menghidupinya secara konkret dalam misi. Lalu ada sebuah ungkapan yang mungkin saja sudah kita dengar:, “Jika anda ingin pergi cepat, pergilah sendiri; jika anda ingin pergi jauh, pergilah bersama yang lain”.
Kadang-kadang tampaknya Gereja itu lamban-lambat – dan memang benar – tetapi jika kelambanan itu karena mereka ingin berjalan bersama dalam persaudaraan, rasanya bukanlah sesuatu yang perlu ditangisi dan disesali. Kedekatan dengan sesama Imam menjadikan panggilan imam sebagai seorang gembala menjadi penuh dengan sukacita.
Keempat, kedekatan dengan Umat. Kedekatan relasi dengan Umat Allah itu bukanlah suatu kewajiban melainkan suatu anugerah. “Cinta untuk orang-orang adalah kekuatan spiritual yang mendukung perjumpaan dalam kepenuhan dengan Tuhan” (Evangelii gaudium, 272). Inilah sebabnya mengapa tempat setiap imam adalah berada di tengah-tengah umat. Seorang Imam perlu hidup, menangis dan tertawa bersama dengan umat-umatnya. Tempat tinggal yang paling indah bagi seorang Imam adalah ditengah-tengah umatnya.
Imam adalah gembala perlu selalu membangun kedekatan ini: kedekatan dengan Tuhan, Uskup, sesama Imam dan dengan Umatnya. Menutup refleksi seadanya ini, saya kembali mengutip kata-kata dari Paus Fransiskus: “Imam seperti pesawat terbang. Ia menjadi berita ketika ia jatuh. Banyak pesawat terbang dan banyak imam yang tidak jatuh. Dan mereka tidak menjadi berita. Lebih banyak orang mengkritiknya dan sedikit yang mendoakannya.
Perumpamaan ini sangat penting karena menggarisbawahi 2 hal: pertama, betapa pelayanan imam itu gampang-gampang susah. Kedua, betapa jatuhnya imam itu menimbulkan dampak buruk bagi gereja”.
Doakan kami imam-imammu ini.