“Ada imam yang baru saja selesai merayakan Misa dan masih dengan pakaian lengkap (Jubah, Stola, dan Kasula) sudah berjoget ria atau nge-dance kayak ada di dalam sebuah kelap malam. Ada yang tidak perlu disebutkan Imam, Suster, Frater, atau Bruder yang setiap hari megeluarkan kata-kata mutiara tentang cinta, yang kadang adalah hasil plagiat dari kata-kata orang…”
Tulisan kecil ini sebenarnya ingin mengoreksi perilaku kaum Hidup Bakti dalam penggunaan media sosial (TikTok, Instagram, Twitter, Facebook, dll).
Tapi terlebih dahulu penulis akan menganalisa tantangan dan peluang yang dihadirkan era disrupsi digital ini bagi manusia dan lebih khusus lagi, bagi kaum Hidup Bakti (baca: kaum terpanggil).
Ruang digital telah diterima oleh sekitar tiga miliar orang (40% dari populasi dunia) sebagai lingkungan yang kondusif untuk mengekspresikan keinginan manusia untuk berkomunikasi dan menciptakan komunitas baru.
Artinya, kita sudah ada dalam budaya baru, cara hidup dan cara berpikir baru. Era baru digital ini membentuk persepsi kita tentang realitas dan pemahaman simbolis kita tentang dunia.
Bagi banyak orang, era digital ini adalah “sarana utama informasi dan pendidikan, bimbingan dan inspirasi”, yang pada kenyataannya “bagi banyak orang, era digital ini adalah sebuah realitas nyata” bukan lagi sebuah mimpi.
Kita perlu belajar untuk hidup dan mengekspresikan diri secara bertanggung jawab sebagai orang beriman dan sebagai orang yang dikuduskan dalam lingkungan budaya baru di mana kita semua dibenamkan, untuk masuk dan mengetahui bahasa, dinamika, dan simbol mereka.
Kita sedikit kembali menyegarkan pikiran dengan kembali ke tahun 2014 lalu. Paus Fransiskus menetapkan tahun 2014 sebagai Tahun Hidup Bakti. Pada kesempatan itu, Paus Fransiskus menyampaikan tiga pesan inti untuk semua kaum religius.
Pertama, Paus berpesan agar semua anggota Kongregasi atau Tarekat Hidup Bakti perlu bersukacita. Ajakan ini dikumandangkan agar setiap anggota Hidup Bakti selalu menularkan rahmat sukacita yang diterima melalui rahmat panggilan khusus yang diterima dari Allah.
Kedua, Paus Fransiskus mengingatkan kepada semua anggota Kongregasi atau Tarekat Hidup Bakti agar selalu berani. “Beranilah! Kalian yang jatuh cinta pada Tuhan tahu bagaimana mempercayai Dia sepenuhnya, seperti yang dilakukan oleh Para Pendiri kalian masing-masing, dengan membuka cara-cara baru dalam membangun Kerajaan Allah.
Dengan kuasa Roh Kudus yang menyertai saudara-saudara, keluarlah ke jalan-jalan dunia dan tunjukkanlah daya pembaruan Injil, yang jika diterapkan, juga melakukan hal-hal yang menakjubkan saat ini dan dapat menjawab semua pertanyaan umat manusia” (Tahun Hidup Bakti, 2014:63).
Ketiga, Paus berpesan “Jadilah laki-laki dan perempuan persekutuan!” Dengan berakar kuat pada persekutuan pribadi dengan Allah, yang telah Anda pilih sebagai porro unum atau bagian yang baik (bdk. Luk. 10:42) dari keberadaan Anda, jadilah pembangun persaudaraan yang tak kenal lelah, terutama laksanakanlah di antara Anda sendiri hukum Injil saling mengasihi, kemudian kepada semua orang, lebih-lebih mereka yang paling miskin.
Tunjukkan bahwa persaudaraan universal bukan suatu utopia, melainkan impian Yesus sendiri bagi seluruh umat manusia. Ketiga pesan Paus, sejatinya mendorong setiap Kongregasi atau Tarekat Hidup Bakti untuk terus memperbarui diri seiring perubahan zaman.
Maka, ketiga pesan Paus Fransiskus pada perayaan Tahun Hidup Bakti 2014 menjadi penting untuk didalami. Pertanyaannya: “Apakah kaum religius (Imam, Bruder, Suster, Frater) tetap bersukacita, berani keluar, dan tetap mempererat persekutuan dalam era disrupsi digital saat ini?”. Kita jawab nanti.
Gereja universal sebenarnya telah lama berurusan dengan realitas digital ini. Sejak tahun 1967, misalnya, pesan-pesan tahunan untuk Hari Komunikasi Sedunia telah menawarkan sebuah refleksi yang terus berkembang mengenai topik ini.
Sejak tahun 1990-an, pesan-pesan ini telah berurusan dengan penggunaan komputer dan, sejak awal tahun 2000-an, terus merefleksikan aspek-aspek tertentu dari budaya digital dan komunikasi sosial.
Mengangkat pertanyaan mendasar tentang budaya digital, pada tahun 2009 Paus Benediktus XVI membahas perubahan dalam pola komunikasi dengan menyatakan bahwa media tidak hanya menumbuhkan hubungan antara orang-orang, tetapi juga mendorong mereka untuk terlibat dalam hubungan yang mempromosikan ‘budaya hormat, dialog, persahabatan’.
Selanjutnya, Gereja mengkonsolidasikan citra media sosial sebagai “ruang” dan bukan hanya “alat”, dan menyerukan agar Kabar Gembira diwartakan juga di lingkungan digital.
Sementara itu, Paus Fransiskus mengakui bahwa dunia digital “tidak dapat dibedakan dari lingkup kehidupan sehari-hari” dan bahwa dunia digital mengubah cara umat manusia mengumpulkan pengetahuan, menyebarkan informasi, dan mengembangkan relasi (Cfr. Towards Full Presence. A Pastoral Reflection on Engagement with Social Media, 28 May 2023, no. 3).
Dalam konteks Indonesia, beberapa tahun yang lalu dalam sebuah riset dikatakan bahwa Indonesia menjadi negara keempat dunia dan Jakarta menjadi kota tersibuk ketiga di dunia dengan 11,3 juta pengguna aktif per hari.
Setiap hari ada 25 miliyar content di jejaring Facebook dalam satu bulan. Setiap hari ada 2 miliyar video yang dilihat di YouTube. Ada empat Juta gambar yang di upload per hari. Ada 27 Milyar tweets per hari. Dan Jakarta menjadi “capital city of twitter”.
Jumlah Internet user penetration di Indonesia adalah 61,1 juta (baru 23%). Itu beberapa tahun lalu sebelum muncul dan adanya Instagram, Tiktok dan teman-temannya.
Era digitalisme ini akhirnya menjadi sirene teknologi digital yang mulai merembesi semua lapisan hidup kita manusia, termasuk domain agama.
Karena itu, kaum hidup bakti (Imam, Suster, Bruder dan Frater) tidak saja mulai memasang kuda-kuda tapi sudah menginjakkan kaki dalam-dalam untuk mengadopsi frame teknologi digital (media sosial).
Kelahiran media sosial ini memberi kita kemungkinan untuk berada di mana-mana, telah melemparkan kita ke dalam sebuah tantangan yang positif, tetapi kenyataan sederhana ini masih jauh dari dianggap sebagai sesuatu yang benar dan positif: sering kali hanya dibaca sebagai ancaman yang harus dilawan dan bukan sebagai peluang.
Dokumen “Towards Full Presence. A Pastoral Reflection on Engagement with Social Media” no. 2 dengan lembut memberi contoh: “Contoh-contoh keterlibatan yang setia dan kreatif di media sosial sangat banyak di seluruh dunia, baik oleh komunitas lokal maupun individu yang memberikan kesaksian tentang iman mereka di platform ini, sering kali lebih luas daripada Gereja secara institusional.
Ada juga banyak inisiatif pastoral dan pendidikan yang dikembangkan oleh gereja-gereja lokal, gerakan-gerakan, komunitas-komunitas, jemaat-jemaat, universitas-universitas dan individu-individu”. Refleksi Pastoral dari dokumen ini tentu sangat mendukung penggunaan media sosial sebagai ruang dan budaya baru dalam karya pastoral.
Tapi dalam level praktis, masih saja ada kaum religius: Imam, Suster, Bruder, dan Frater yang menggunakan platform media sosial bukan untuk kebutuhan pastoral tapi lebih untuk kepentingna dan kepuasan diri semata. Maka tidak heran ada umat yang sering bertanya: ‘Apa yang dilakukan seorang Imam, Suster, Bruder dan Frater di sini?
“Ada imam yang baru saja selesai merayakan Misa dan masih dengan pakaian lengkap (Jubah, Stola, dan Kasula) sudah berjoget ria atau nge-dance kayak ada di dalam sebuah kelap malam. Ada yang tidak perlu disebutkan Imam, Suster, Frater, atau Bruder yang setiap hari megeluarkan kata-kata mutiara tentang cinta, yang kadang adalah hasil plagiat dari kata-kata orang…”
Ada yang sehari meng-upload foto berkali-kali dengan berbagai macam gaya, mulai dari leher yang miring, bibir yang miring, hingga kaki pun ikut miring. Bahkan ada yang terjebak dalam idolatria ketenangan diri, beraksi “aneh-aneh” hanya untuk menambah follower.
Tentu masih banyak contoh lain yang bisa kita tambahkan. Satu kata yang sering menjadi tameng adalah Kebebasan. “Inikan kebebasan kami untuk mengekspresikan diri, sering akta mereka membangun mekanisme bela diri”.
Kita tentu menghargai kebekasan setiap orang. Tapi ini bukan hanya soal kebebasan, namun soal kebebasan yang layak dan pantas dalam membawa diri di platform media sosial.
Soal lain yang penting adalah bukan formasi iman sebenarnya yang kita ajarkan tapi kita mereduksi iman orang pada iman “TikTok”, Iman “Facebook”, atau iman menurut “kata orang” (plagiat) yang memuaskan kata sesaat lalu lenyap secepat kepuasan yang kita rasakan.
Dan sebagai seorang pemerhati di bidang Hukum Gereja, saya membaca kasus-kasus ini dalam terang Kitab Hukum Kanonik Gereja. Kitab Hukum Kanonik kanon 285 §1-2 mengingatkan kita kaum Klerus dan kaum Hidup Bakti:
§1. Para klerikus hendaknya menjauhi segala sesuatu yang tidak sesuai dengan statusnya, menurut ketentuan-ketentuan hukum partikular.
§2. Hendaknya para klerus menghindari hal-hal yang meskipun tidak tercela, namun asing bagi status klerika. Atau bunyi kanon 666: Dalam menggunakan media komunikasi sosial hendaknya dipelihara diskresi yang tidak semestinya dan menghindari segala sesuatu yang merugikan panggilannya sendiri serta berhaya bagi kemurnian orang yang sudah dibaktikan.
Yang paling menarik dan tepat kutipan dari Kanon 823 § 1: supaya keutuhan kebenaran iman dan moral terpelihara, para gembala Gereja berkewajiban dan berhak menjaga agar iman dan moral kaum beriman kristiani tidak diruggikan oleh tulisan-tulisan atau penggunaan suara-suara komunikasi sosial; demikian juga menuntut agar tulisan-tulisan mengenai iman dan moral yang akan diterbitkan orang-orang beriman kristiani, diserahkan kepada penilaian mereka; dan juga untuk menolak tulisan yang merugikan iman yang benar dan moral yang baik.
Kita tetap sebagai Imam, Suster, Bruder dan Frater yang ‘normal’ untuk melakukan apa yang dilakukan oleh orang lain, juga untuk terlibat dan berselancar dalam platform media sosial yang ada tapi menjadi ‘tidak normal’jika sikap dan perilaku yang kita bawa justru meresahkan, mengganggu dan merugikan iman dan moral dari kaum beriman kristiani, umat-umat kita.
Akhirnya, jika menjadi seorang Imam, Suster, Bruder, dan Frater demi mencari kepentingan, ketenaran dan kepuasan diri? Kita perlu ingat bahwa yang kita sembah adalah Tuhan atau ego pribadi.