Katolikpedia.id – Sebentar lagi retret Kepala Daerah se-Indonesia di Magelang akan berakhir. Menjelang hari-hari akhir retret masih ada yang bertanya: apa sih arti dari kata “retret” itu? Apakah kata “retret” ini khas milik orang Katolik?
Kalau dengan senyuman manis saya bilang kara retret ini datang dari tradisi Katolik, jadinya ada yang kepanasan berhari-hari. Dan tentu masih banyak pertanyaan lain yang muncul dipikiran kita akan kata “retret” ini. Mari kita simak. Tapi seruput dulu kopinya.
Term Retret
Kata ‘retret’ berasal dari kata kerja Latin ‘retrahere,’ (Italia: ritiro, Spanyol: retiro) yang berarti ‘menarik diri”. Seiring berjalannya waktu, kata retret telah memiliki berbagai arti, termasuk konsep mundur ke tempat yang tenang untuk merenung atau beristirahat, atau menarik diri dari suatu objek atau orang dari suatu situasi atau tempat.
Retret kemudian juga dapat dimaknai sebagai saat untuk“Berhenti Sejenak”: Beristirahat-melepas lelah, berdoa-refleksi, beryukur, memaknai & menata hidup, menimba-mengisi energi baru, membangun proyek hidup ke depan- menata mimpi. Atau pada awal abad ke-16, retret (spiritual) merupakan cara untuk melepaskan diri dari dunia yang sibuk, hiruk pikuk untuk masuk dan terhubung dengan diri sendiri.
Meskipun banyak orang mengaitkannya dengan pengalaman mistis dan religius, retret sebenarnya lebih merupakan pengalaman istirahat, pengalaman berhenti sejenak yang berkualitas untuk mendapatkan perspektif, menyeimbangkan diri, dan memulihkan energi.
Proses pintasan sejarah retret dalam Gereja Katolik pun dapat dibagi menjadi beberapa tahap:
#Tahap Pertama
Era Apostolik (abad ke-1): Selama periode ini, para murid Yesus mengasingkan diri ke padang gurun untuk berdoa dan bermeditasi.
#Tahap Kedua
Era Bapa-bapa Gurun (abad ke-3 dan ke-4): Para Bapa Gurun, seperti Santo Antonius Abas mengasingkan diri ke padang pasir untuk menjalani hidup dengan berdoa, berpuasa, dan bekerja.
#Tahap Ketiga
Era Monastisisme (abad ke-4 hingga ke-6): Dengan berkembangnya monastisisme, para rahib menarik diri ke dalam komunitas-komunitas biara untuk menjalani kehidupan yang penuh dengan doa, kerja, dan belajar.
#Keempat
Pada Abad Pertengahan (abad ke-5-15): Selama Abad Pertengahan, retret merupakan praktik yang umum dilakukan oleh para religius dan orang awam. Ziarah dan kunjungan ke tempat-tempat suci juga merupakan bentuk retret.
#Kelima
Era reformasi (abad ke-16): pada era reformasi, retret menjadi praktik yang lebih luas dan terorganisir. Misalkan para Yesuit secara khusus mengembangkan spiritualitas retret yang menekankan pada doa, meditasi, dan pemeriksaan hati nurani.
#Keenam
Era modern (abad ke-17 hingga abad ke-20): Selama era modern, retret terus menjadi praktik penting dalam Gereja Katolik. Era ini muncul Gerakan-gerakan rohani yang sangat menekankan pentingnya retret untuk proses pertumbuhan rohani.
#Ketujuh
Era Konsili Vatikan II (1962-1965): Konsili Vatikan II menekankan pentingnya spiritualitas dan doa dalam kehidupan umat Kristiani. Dan retret menjadi praktik yang lebih luas dan bervariasi, dengan penambahan bentuk-bentuk retret baru seperti retret Ignasian, retret Karmelit dan macam lainnya.
#Kedelapan
Era kontemporer (abad ke-20): Saat ini, retret merupakan praktik penting dalam Gereja Katolik, dengan berbagai bentuk dan gaya. Retret bisa bersifat individu atau kelompok, dan dapat dilakukan oleh para imam, religius ataupun awam.
Dari pintasan sejarah ini dapat dikatakan bahwa kata retret memiliki jejak historis yang kuat dalam Gereja Katolik meski tetap terbuka pada pikiran bahwa kata retret tidak hanya digunakan oleh Gereja Katolik. Tapi sekali lagi bahwa konsep ‘retret’ memiliki makna yang spesifik dan mendalam dalam tradisi dan spiritualitas Gereja Katolik.
Silencio-Keheningan
Harus diakui dengan jujur bahwa salah satu harta waris yang khas dari retret adalah keheningan (silencio). Dan memang menjadi sulit bila keheningan ini ditempatkan dalam ruang hidup kita kini. Sebab bisa dibilang bahwa zaman kita kini memiliki ketakutan dan alergi terhadap yang namanya silencio; kita cendrung menghindari keheningan.
Kita, manusia moderen saat ini susah untuk “diam” dan “berhenti sejenak”. Gejolak zaman menyebabkan kita terseret dan lari tunggang-langgang, tergesa-gesa; tanpa ada jeda untuk beristirahat dan menarik nafas sejenak. Kita tenggelam dan terhimpit dalam gelombang hiruk-pikuk dan keributan zaman.
Menanti dengan penuh harap ada cerita bahwa retret para Kepala Daerah di lembah Tidar Magelang itu juga dalam suasana silencio-keheningan ini. Sebab keheningan akan menciptakan ruang bagi mereka atau kita untuk bertumbuh dalam sikap mendengarkan, yakni kelak mendengarkan suara rakyat yang adalah suara Allah (Vox Populi Vox Dei).
Moment retret menuntut adanya “clima” keheningan ini dan sikap mendengarkan suara Allah. Jika tidak maka orang akan tenggelam pada “kolam egolatria”, mencari kepuasan diri, menumpuk kekayaan diri dan menutup diri pada kecemasan, kesedihan, derita dan suara tangis rakyat.
Keheningan juga membantu seseorang untuk mengenal talenta-talentanya dan mendorongnya untuk memanfaatkanya demi melayani sesama. Keheningan membantu kita untuk semakin peka akan kebutuhan dan tanda-tanda zaman.
Bunda Teresa pernah berkata bahwa “keheningan memberi kita visi baru tentang segala sesuatu”. Silencio-keheningan adalah jendela batin di mana kita mampu mengkontemplasikan dunia secara lebih baik.
Dan sesungguhnya, silencio-keheningan bukanlah sekadar ketiadaan keributan atau kesibukan, melainkan spasi kehadiran Allah, yang menuntut kita untuk bertindak (memimpin dan melayani) sesuai dengan kehendak-Nya. Dan keterpanggilan dan misi pelayanan sebagai seorang pelayan yang memimpin perlu lahir dari keheningan, bertumbuh dan bermuara pada keheningan untuk lebih bisa mendengarkan suara derita dan tangisan rakyat.
Retret: Salah Kapra?
Retret adalah saat untuk menarik diri. Saat untuk berhenti sejenak. Maka akan menjadi keliru dan salah kapra bila orang menjadikan retret sebagai kesempatan untuk membuat banyak resolusi. Karena itu, tanpa bermaksud menilai tapi bila para Kepala Daerah kita keluar dari retret dengan daftar resolusi yang lebih panjang dari daftar belanja yang ada di supermarket, maka ada sesuatu yang tidak berjalan sebagaimana mestinya dengan retret itu.
Sebuah retret, bukannya sebuah daftar panjang tentang apa yang ingin dilakukan atau hentikan, melainkan sebuah kesempatan untuk menarik diri dengan satu atau dua point penting untuk diberi perhatian.
Retret itu adalah saat untuk diam. Saat untuk ada dalam clima keheningan. Retret bukanlah ruang untuk berbagi informasi sosiologis, filosofis ataupun yuridis. Retret bukanlah tempat untuk mendapatkan informasi-informasi ini.
Tapi retret adalah saat hening untuk bertanya dalam diri: “”bagaimana saya menghidupi semua itu? Pikirkanlah orang-orang kudus, dan Paus, Kardinal dan para Uskup, yang sampai usia tua, sampai akhir hidup mereka, tetap pergi untuk retret. Kita dapat bertanya: apakah mereka melakukannya karena mereka ingin mempelajari kebenaran doktrinal teologis yang baru? Tentu saja tidak tapi “Bagaimana mereka menghidupi semuanya itu?”.
Jika retret para Kepala Daerah ini menjadi ajang untuk berbagi informasi baik sosiologis, filosofis ataupun yuridis maka ada sesuatu yang berjalan tidak semestinya dengan retret itu. Karena bagi saya, semua Kepala Daerah yang mengikuti kegiatan retret itu sudah akan semua informasi itu, kini saat bagi mereka untuk menghidupinya.
Salah kapra yang lain adalah sering orang memahami retret sebagai kesempatan untuk mendefinisikan kekudusan. Tidak lagi menjadi rahasia umum munculnya komentar-komentar ringan bahwa orang-orang yang mengakhiri retret akan ada lingkaran cahaya yang melayang di atas kepalanya seperti orang kudus.
Atau ada komentar: “pergi dengan tangan kosong, pulang dengan kekudusan”. Sekali lagi, saya mau katakan, retret tidak akan mendefinisikan kekudusan kita, juga tidak akan mengubah siapa diri kita, kekurangan, selera, kelemahan kita tetapi akan membantu kita untuk lebih baik dalam melawan apa yang terkadang menjatuhkan kita.
Retret para Kepala Daerah ini dapat pula dipahami dalam pikiran ini: membantu mereka untuk melawan apa yang sering membuat mereka jatuh: bisa korupsi, bisa kolusi ataupun nepotisme dan macam lainnya.
Akhirnya saya menutup tulisan ini dengan kata-kata Paus Fransiskus: retret bukanlah ‘liburan berkualitas’ tetapi saat pertobatan. Dan dalam tradisi Katolik wujud konkret dari pertobatan itu melalui pengakuan dosa. Semoga saja diakhir retret Kepala Daerah besok ada pengakuan dosa. Jangan lupa senyum manisnya.