Katolikpedia.id – Kita baru saja kehilangan salah satu sosok kebanggaan negara Indonesia, Prof. Dr. Ing. H. Bacharuddin Jusuf Habibie, FREng.
Selain dikenal sebagai sosok yang cerdas, Bj Habibie juga dikenal sebagai sosok yang banyak menebar hal positif di negara kita ini. Salah satunya adalah pandangaa dia dalam hidup beragama.
Ya, seperti yang kita ketahui bahwa Indonesia dijuluki sebagai negara Muslim terbesar. Tapi julukan ini tidak memadamkan niat baik pak Habibie untuk tetap menjalin hubungan baik dengan golongan agama lain.
Dalam cerita kisah perjalanan hidupnya ketika ia menempuh pendidikan di Jerman, pak Habibie mengakui bahwa ia kerap menggunakan gereja sebagai tempat untuk menunaikan ibadah sholat. Kala itu Masjid sangat sulit, bahkan nyaris tak ditemui di Jerman.
“Saya ini pendidikan islamnya kuat sekali. Di tempat saya belajar, itu tidak ada masjid. Itu daerah Katolik, gereja Protestan hanya satu, semuanya Katolik,”ujarnya dalam sesi wawancara yang dilakukan tim Fimela.com.
Di kala terjebak situasi sulit, atau kala sedang merindukan orangtuanya, Rudy, begitu sapaannya ketika masih mudanya, memilih gereja sebagai tempat untuk berdoa sambil menenangkan diri. Tentu saja dengan caranya sebagai seorang muslim.
“…Ada kalanya saya yang dalam keadaan benar-benar sedih, kedinginan, belum lagi sudah mendekati hari Natal. Semua nyala-nyala, banyak kue-kue, dan kita hanya bisa lihat. Nah, dalam keadaan itu saya merindukan orangtua. Tahu apa yang saya buat? Saya masuk dalam gereja,” kenangnya dalam video unggahan Fimela.com pada 2016 lalu.
Prinsipnya dia, Tuhan itu satu dan Gereja dibangun oleh orang yang percaya kepada Tuhan.
“Di depan Gereja saya bilang, Tuhan gedung ini dibuat oleh manusia yang cinta pada-Mu. Saya juga cinta pada-Mu, dan saya yakin hanya ada satu Tuhan yang Maha Esa. Perkenankanlah saya masuk ke ruangan ini dan berdoa untuk Kamu, untuk orangtua saya, dan kawan-kawan saya. Perkenankanlah..“, tutur pria yang kerap disapa Eyang ini.
Ketika berada di dalam gereja, BJ Habibie mengaku tidak terganggu dengan nyala lilin atau alunan musik yang didengarnya.
Tak berniat menganggu umat Katolik lainnya, ia memilih bangku paling belakang sebagai tempat duduk, lalu berdoa menurut tata cara agama Islam.
“… ada lilin, ada musik, gak apa-apa. Saya di bangku terakhir saya duduk, walau perut keroncongan, saya berdoa, Allahu Akbar…” tuturnya sambil menggerakan tangan layaknya ia sedang berdoa.
Tak cukup di situ saja, BJ Habibie juga dikenal sebagai sosok yang dekat dengan Romo Yusuf Bilyarta Mangunwijaya atau yang sering kita kenal dengan nama Romo Mangun. Keduanya bersahabat baik.
Baca Juga: Ini Tanggapan Dewan Tetua Muslim Atas Kunjungan Paus Ke Irak
Di Jerman, mereka kerap menghabiskan waktu bersama karena sama-sama menempuh pendidikan di sana.
Kisah perkenalan mereka dimulai di Gereja Katedral Aachen – Jerman, tempat Rudy sering menunaikan sholat. Saat itu, ia mengira romo Mangun akan marah karena ia menggunakan gereja sebagai tempat untuk sholat.
Dugaannya meleset. Rm. Mangun yang juga merupakan mahasiswa Arsitektur di Jerman, justru merasa senang.
“Senang sekali melihatmu nyaman berdoa di gereja dengan caramu sendiri, ini justru bukti keimananmu tak mudah goyah Rud,” tutur Romo Mangun, seperti dilansir Grid.id.
“Ah, mas Romo bijak sekali, seperti pastor saja,” jawabnya.
“Lho selama ini kamu memanggil saya Romo kan, kok kaget kalau saya pastor?” kata Romo Mangun.
“La itu kan nama mas Rama kan? Romo?” tanya Rudy.
“Bukan! saya itu Romo alias pastor, nama saya Y.B Mangunwijaya, Romo itu panggilan dalam bahasa Jawa,” jelas Romo Mangun.
Sejak saat itu dua orang ini menjadi sahabat baik dan persahabatan mereka tetap terjalin hingga maut memisahkan mereka.
Ketika Rm. Mangunwijaya meninggal pada 10 Februari 1999, dan disemayamkan di Gereja Katedral Jakarta, Rudy Habibie mengunjungi jenazahnya.
Ia sempat meminta ijin agar mendoakan romo asal Ambrawa itu menurut keyakinannya sebagai umat Muslim.
“Apa boleh saya berdoa dengan cara saya? Romo Mangun adalah sahabat saya.” Ujarnya.
Saat romo Mangun akan dimakamkan di Yogyakarta, Habibie mengirimkan pesawat Hercules untuk menerbangkan jenazah sahabatnya itu.
Dari dua orang ini, kita belajar bahwa perbedaan keyakinan tak harus menjadi tembok pemisah dalam sebuah persahabatan.
Selamat jalan BJ Habibie, doa kami menyertai kepulanganmu ke rumah Bapa di surga.
- Musik Etnik Jadi Musik Liturgi Gereja Katolik, Apa Bisa?
- LP3KN Menyusun Program Kerja 2025
- Tahun Yubileum sebagai Simbol Pembebasan dan Penghiburan
- Pesta Demokrasi dalam Pemilihan Ketua dan Wakil Senat Mahasiswa Kampus
- Lebih Dekat dengan Uskup Baru Keuskupan Surabaya