Katolikpedia.id
Berita Motivasi

Bolehkah Orang Tua yang Anaknya Sudah Hidup Bersama tapi Belum Menikah Gereja, Menerima Komuni Kudus?

Orangtua-merasa-bersalah-menerima-komuni-kudus

Katolikpedia.id – Sudah beberapa kali saya diajukan sebuah pertanyaan kasuistik soal orang tua yang berpartipasi dalam perayaan Ekaristi tapi tidak ingin atau tidak bisa menerima Komuni Kudus karena merasa tidak layak, merasa bersalah atau merasa dilarang, sebab ada anggota keluarganya (bisa baca: anaknya) yang hidup bersama dengan pasangannya namun belum diberkati secara gerejawi.

Pertanyaan lanjutannya, apakah fenomena ini sebuah kebijakan pastoral atau sebuah kebiasaan yang kemudian menjadi semacam sebuah kebijakan pastoral ataukah sebuah pilihan disiplin hidup pribadi?

Jika fenomena ini adalah sebuah kebijakan pastoral, jujur saya secara pribadi sulit untuk menemukan dasar normatif yang bisa menjadi tiang penyanggah kebijakan ini.

Sebab bagi saya, setiap kebijakan se-pastoral apapun perlu berdiri di atas dasar sebuah norma atau aturan. Karena itu, saya mengajak kita untuk memeriksa beberapa norma dalam Kitab Hukum Kanonik yang bisa menjadi rujukan dalam memecahkan persoalan ini. 

Menurut Kitab Hukum Kanonik (KHK)

Dalam KHK kita, ada dua belas nomor kanon yang membahas berbagai aspek soal partisipasi dalam Ekaristi, yang semuanya berkaitan dengan penerimaan komuni kudus.

Norma-norma tersebut mengatur hal-hal berikut: penerima komuni (kan. 912), penerimaan komuni kepada anak-anak (kan. 913), tugas-tugas orang tua dan para gembala (kan. 914), larangan Ekaristi bagi para pendosa publik (kan. 915), kewajiban untuk mengakui dosa-dosa berat (kan. 916), komuni dua kali sehari (kan. 917), komuni di luar Misa (kan. 918), puasa Ekaristi (kan. 919), perintah soal Ekaristi (kan. 920), penerima Viaticum (kan. 921-922), dan Ekaristi di gereja-gereja lain sui iuris (kan. 923).

Kita bisa menilai fenomena ini dengan dasar pada tiga kanon berikut: kan. 912, kan. 915 dan kan. 916. Pada kan. 912 ditegaskan bahwa orang-orang yang telah dibaptislah yang memenuhi syarat untuk dapat dan harus diterima dalam Ekaristi karena mereka memiliki hak atas sakramen (bdk. kan. 213).

Atau dalam kanon 842, § 1, yang dianggap sebagai hukum ilahi, bahwa setiap penerima komuni harus dibaptis. Di sisi lain untuk alasan yang baik, Gereja dapat melarang orang yang telah dibaptis untuk menerima sakramen atau membatasi penerimaan sakramen.

Hukum sangat membatasi akses ke Ekaristi oleh orang-orang non-Katolik yang telah dibaptis (bdk. kan. 844, §§ 3-4). Pembatasan-pembatasan ini lebih lanjut dijelaskan dalam kanon-kanon yang mengikutinya.

Sedangkan kan. 915 merujuk pada para pelayan Ekaristi secara individu bisa menolak memberikan komuni suci kepada mereka yang secara publik terkena hukuman ekskomunikasi dan interdik (bdk. kan. 1331, §1,2°; 1332).

Para pelayan Ekaristi juga harus menolak memberikan komuni suci ketika mereka yakin: (1) bahwa seseorang telah melakukan dosa yang secara obyektif sangat berat, (2) bahwa orang yang berdosa itu dengan keras hati bertekun atau membandel dalam kondisi berdosa ini, dan (3) bahwa dosa ini nyata. Dosa yang nyata adalah dosa yang diketahui secara umum oleh sebagian besar paroki atau komunitas lain. Dosa yang dimaksud adalah dosa yang diulangi secara biasa, misalnya, oleh seorang gangster, pengedar narkoba, atau pelaku aborsi.

Dan yang diindikasikan dengan “keras hati membandel dalam dosa” adalah ketika Pastor Paroki atau otoritas Gereja lainnya telah dengan tegas memperingatkan pihak yang melanggar untuk berhenti melakukan dosa, tetapi peringatan itu tidak diindahkan.

Peringatan itu harus mencakup ancaman yang tegas bahwa komuni akan ditolak kepada orang berdosa berat yang nyata,  untuk menghindari rasa malu dari yang bersangkutan dari penolakan komuni di depan umum.

Peringatan harus diberikan kepada orang berdosa dalam forum eksternal, baik secara lisan maupun tertulis, tetapi tidak dapat diberikan jika pengetahuan tentang dosa itu diperoleh dari forum internal (bdk. 983-984). Contohnya seorang bapa pengakuan dapat memperingatkan seorang pendosa yang “keras hati atau kepala” untuk tidak menerima komuni, tetapi bapa pengakuan tidak boleh menolaknya kecuali ia mengetahui dosa tersebut dari forum eksternal sebelum dosa itu diakui.

Lalu rujukan lain kita, ada pada kan. 916 yang merupakan gabungan dari kan. 807 dan kan. 856 dari Kitab Hukum Kanonik 1917, yang didasarkan pada doktrin Tridentin. Dengan mengutip teks Kitab Suci (1 Kor 11:28-29), Trente menegaskan ajaran Gereja bahwa seseorang yang sadar akan dosa-dosa berat tidak boleh menerima Ekaristi.

Lalu dokumen Eucharisticum Mysterium art.35 menegaskan disiplin ini, dengan menambahkan bahwa pengakuan dosa tidak boleh diperdengarkan selama perayaan Misa. Kan. 916 tidak menambahkan sesuatu yang baru pada disiplin yang lalu dengan mengharuskan mereka yang sadar, yaitu yakin, telah melakukan dosa berat untuk kembali ke kondisi rahmat melalui sakramen pengakuan atau tindakan penyesalan yang sempurna ketika pengakuan sakramental tidak memungkinkan.

Setelah melihat isi dari ketiga norma diatas, tentu saja ada kesimpulan yang bisa kita tarik keluar berkaitan dengan fenomena kasuistik yang dibahas.

Pertama, jika fenomena ini adalah sebuah kebijakan pastoral atau sebuah kebiasaan yang kemudian menjadi semacam sebuah norma atau kebijakan pastoral tak tertulis, maka rasa-rasanya kebijakan ini tidak didirikan atau didasari pada sebuah bangunan kontruksi hukum yang kuat.

Kedua, orang tua yang bersangkutan dengan kasus ini tidak ada dalam kondisi dosa yang berat, juga jika tidak terkena hukuman ekskomunikasi dan interdik, dan jika dia atau mereka adalah orang yang telah dibaptis maka mereka layak untuk menerima komuni kudus.

Ketiga, situasi dosa dari anak-anak atau seandainya itu adalah hukuman yang dikenakan pada anak-anak, maka hukuman itu tidak bisa dikenakan atau diterapkan pada orang tua mereka. Jadi pada titik, orang tua tidak perlu merasa bersalah atau berdosa untuk tidak menerima komuni kudus saat berpartisipasi dalam perayaan Ekaristi.

Keempat, dari sisi kesadaran moral. Bisa saja orang tua merasa bersalah karena sadar akan kurangnya tanggung jawab moral dari mereka terhadap anak-anak, tapi pemurnian dan pembersihan kesadaran bisa dilakukan dengan pengakuan dosa atau dengan tobat hati yang sempurna agar kemudian bisa berpartisipasi dan menerima komuni kudus.

Akhirnya saya menutup dengan kata-kata yang pernah disampaikan oleh Paus Fransiskus dalam Amoris Laetitia pada catatan kaki nomor 351 bahwa, “Ekaristi bukanlah sebuah hadiah bagi orang-orang sempurna, melainkan suatu obat penuh daya dan santapan bagi yang lemah”.

Dan satu pertanyaan untuk kita: bukankah Ekaristi itu adalah sebuah rahmat? Jawabannya? Kita bisa jawab masing-masing dalam hati.

Berita Terkait:

Paus Fransiskus Dioperasi, Paus Emeritus Benediktus XVI: “Saya Terus Memikirkannya”

Edeltrudizh

Selamat! Dua Imam Katolik Dilantik Menjadi Perwira Polisi

Redaksi

Beato Justin Maria Russolillo akan Dikanonisasi menjadi Rasul untuk Panggilan

Pastor Vian Nana SDV
error: Content is protected !!