Katolikpedia.id
Berita OMK

Perkawinan Beda Agama dan Sikap Gereja Katolik

Perkawinan Katolik dan beda agama

Katolikpedia.id – Ada sebuah kisah. Sepuluh tahun lalu bertemulah Antonius dan Siti (keduanya nama rekaan). Antonius seorang pemuda yang sopan dan berasal dari sebuah keluarga katolik yang baik dan sederhana. Sedangkan Siti, seorang gadis desa yang sederhana dan berasal dari sebuah keluarga muslim yang saleh.

Keduanya saling jatuh hati. Sehari tak melihat Siti, Antonius merasa selalu ada yang kurang pada dirinya. Pun pula sebaliknya dengan Siti. Siti merasa sulit untuk tidak berada di sisi Antonius. Tak lama berselang keduanya pun sepakat untuk menikah. Keduanya menikah di Gereja Paroki tempat asal Antonius.

Saat itu banyak orang yang bertanya baik dari keluarga Antonius dan terlebih dari keluarga Siti akan perkawinan beda agama yang terjadi itu. Tapi kini setelah melewati sepuluh tahun hidup bersama, keduanya sangat bahagia bersama dua buah hati mereka meski tetap berbeda agama dalam mahligai rumah tangga mereka. Mungkin ini yang disebut indahnya cinta beda agama.

Dari kisah ini, ada bebarapa hal menarik yang bisa ditarik keluar berkaitan dengan perkawinan beda agama. Sebenarnya, Gereja telah lama menyadari bahwa perkawinan antara umat Katolik dan non-Katolik menimbulkan bahaya bagi kelangsungan praktik iman Katolik dan bagi pembaptisan serta pendidikan anak.

Kekhawatiran Gereja sangat serius ketika seorang Katolik ingin menikah dengan seorang non-Kristen. Sebagai ekspresi keprihatinan ini, hukum Gereja telah menetapkan perkawinan beda agama (disparitas cultus) sebagai halangan yang menjadikan perkawinan antara seorang Katolik dan orang yang tidak dibaptis itu tidak sah.

BACA: Mengucap Syukur Melalui Doa Kepada Yesus yang Tersalib

Dan hal ini, sudah ada dan dibicarakan sejak beberapa konsili awal Gereja, meskipun baru ditetapkan pada Konsili Trullo pada tahun 692. Meskipun kanon konsili Trullo ini tidak diterima oleh Gereja di Barat, tapi halangan ini tetap menyebar ke seluruh Barat antara abad ketujuh dan kesebelas, lalu diterima dan memperoleh kekuatan kebiasaan secara universal. Dan pada akhirnya dimasukkan ke dalam Kitab Hukum Kanonik 1917, kanon 1070.

Kita bergeser sejenak ke Kitab Hukum kanonik 1983. Meski tidak ada sebuah definisi resmi tentang perkawinan beda agama, tapi bisa dikatakan bahwa perkawinan beda agama adalah perkawinan antara dua orang, yang mana satu di antaranya dibaptis Katolik, sedangkan yang lain tidak dibaptis.

Kanon 1086 bisa menjadi rujukan bacaan kita. Adapun kutipan dari kanon 1086 ini: § 1. Perkawinan antara dua orang, yang di antaranya satu telah dibaptis dalam Gereja Katolik atau diterima di dalamnya dan tidak meninggalkannya dengan tindakan formal, sedangkan yang lain tidak dibaptis, adalah tidak sah. § 2. Dari halangan itu janganlah diberikan dispensasi, kecuali telah dipenuhi syarat-syarat yang disebut dalam kan. 1125 dan 1126. § 3. Jika satu pihak pada waktu menikah oleh umum dianggap sebagai sudah dibaptis atau baptisnya diragukan, sesuai norma kan. 1060 haruslah diandaikan sahnya perkawinan, sampai terbukti dengan pasti bahwa satu pihak telah dibaptis, sedangkan pihak yang lain tidak dibaptis.

Pada paragraf pertama dari kanon di atas ingin dikatakan bahwa tidak sahlah perkawinan antara orang katolik dengan orang yang tidak dibaptis. Untuk sahnya maka butuh dispensasi dari ordinaris wilayah untuk halangan nikah beda agama ini.

Untuk diketahui bersama bawa halangan nikah beda agama adalah halangan nikah yang bersifat gerejawi, karena itu dapat didispensasi. Sederhananya, pihak Katolik dapat menikah secara secara sah setelah mendapat dispensasi dari halangan nikah beda agama ini.

Sebagai halangan hukum gerejawi, maka hanya mengikat umat Katolik dan mereka yang menikah. Yang perlu juga diingat di sini adalah untuk halangan nikah beda agama yang dibutuhkan adalah dispensasi. Sedangkan untuk yang kawin campur (kan.1124-1129) cukup dibutuhkan izin dari ordinaris wilayah. Kawin campur yang dimaksud disini adalah perkawinan antara seorang Katolik dan orang yang baptis tidak Katolik.

Lalu pada paragraf kedua dari kanon 1086 ingin dikatakan bahwa dispensasi atas halangan nikah beda agama itu baru atau hanya dapat diberikan setelah terpenuhi syarat-syarat yang disebutkan pada kan.1125.

BACA JUGA: Empat Imam Pembunuh Pastor Hamel Dihukum

Adapun syarat-syarat itu: pertama, pihak Katolik menyatakan kesediaan untuk menjauhkan segala macam bahaya meninggalkan imannya. Kedua, pihak Katolik berjanji dengan jujur bahwa akan berusaha sekuat tenaga untuk membaptis dan mendidik semua anaknya di dalam Gereja Katolik. Ketiga, pihak tak dibaptis diberi tahu tentang janji-janji yang dibuat oleh pihak Katolik. Dan keempat, kedua pihak diberi penjelasan tentang tujuan dan sifat-sifat hakiki perkawinan.

Adanya larangan dan sekaligus syarat-syarat pada dispensasi ini sebenarnya mau menegaskan bahwa setiap umat Katolik, yang adalah Gereja, terikat kewajiban untuk melindungi dan menjaga imannya dari segala bahaya, termasuk bahaya dalam hidup berkeluarga dengan orang yang tak seiman.

Pihak yang non-katolik tidak diharuskan membuat janji, tetapi harus disadarkan akan apa yang telah dijanjikan pihak Katolik. Jika pernyataan dan janji ini tidak dibuat, dispensasi dari halangan perbedaan ibadah menjadi tidak sah. Ada tujuan mulia di sini yakni demi menjaga iman pihak Katolik dan demi kepentingan umum Gereja.

Berita Terkait:

Mengenal Paroki Bijaepasu yang Sudah Berusia 50-an Tahun

Edeltrudizh

Giselle Raih Juara I Lomba Menyanyi Solo Dinas Pendidikan Wilayah Jakarta Barat 2

Redaksi

RIP. Selamat Jalan Mgr Hubertus Leteng

Redaksi
error: Content is protected !!