Katolikpedia.id – Pada kan. 401 Kitab Hukum Kanonik (KHK) ditegaskan bahwa Uskup diosesan yang telah mencapai usia tujuh puluh lima tahun diminta untuk mengajukan pengunduran diri dari jabatannya kepada Paus dan Paus yang akan mengambil keputusan setelah mempertimbangkan segala keadaan.
Surat pengunduran diri seorang Uskup umumnya harus terlebih dahulu dikirimkan kepada Nunsius Apostolik atau kepada Delegasi Apostolik, sebagai perwakilan Paus di suatu negara atau wilayah.
Nunsius atau Delegatus Apostolik kemudian mengirimkannya ke Dikasteri Takhta Suci yang bertanggung jawab atas pemilihan Uskup untuk negara yang bersangkutan. Dalam kasus untuk tanah misi (Indonesia termasuk tanah misi) Kongregasi yang bertanggung jawab adalah Kongregasi untuk Evangelisasi Bangsa-Bangsa (Congregatio pro Gentium Evangelizatione/Propaganda Fide/ Pastor Bonus art.89).
Umumnya, Kongregasi Para Uskup (Congregatio pro Episcopis/ Pastor Bonus art.77) yang bertanggung jawab menyampaikan pengajuan pengunduran diri seorang Uskup kepada Paus. Dan Paus memiliki kemungkinan untuk menolak pengajuan pengunduran diri itu atau menerimanya dengan segera.
Dalam hal Uskup diosesan yang telah mencapai usia 75 tahun, keputusan yang paling umum adalah menerima pengunduran diri itu dan sejak saat itu tahkta Uskup menjadi kosong.
Lowongnya tahkta Uskup dapat terjadi juga karena pemindahan seorang uskup ke keuskupan lain atau karena kematiannya atau pun karena pemberhentian yang diberitahukan kepada Uskup itu sendiri (kan.416).
Dalam kasus takhta lowong ini maka proses penunjukan pengganti atau Uskup yang baru perlu dimulai tanpa penundaan. Karena itu menjadi penting di sini untuk mengetahui proses sampai terpilihnya seorang Uskup.
Langkah pertama yang sangat penting dalam pemilihan seorang uskup adalah melihat daftar imam, baik dari keuskupan maupun dari anggota tarekat hidup bakti. Kan. 377 §2 menegaskan bahwa “Sekurang-kurangnya setiap tiga tahun para Uskup provinsi gerejawi atau, di mana keadaan menganjurkannya, Konferensi para Uskup, hendaknya melalui perundingan bersama dan rahasia menyusun daftar para imam, juga anggota-anggota tarekat hidup-bakti, yang kiranya tepat untuk jabatan Uskup, dan menyampaikannya kepada Takhta Apostolik; Masih pada nomor kanon ini juga ditegaskan bahwa “tetapi setiap Uskup tetap berhak untuk memberitahukan sendiri kepada Takhta Apostolik nama-nama para imam yang dianggapnya pantas dan cakap untuk jabatan Uskup”. Daftar nama para imam harus disusun tiap tiga dengan tujuan agar selalu ada kebaruan.
Langkah yang kedua adalah jika setiap yang hendak ditunjuk Uskup diosesan maka Nunsius atau delegasi Apostolik perlu berkonsultasi dengan pihak-pihak tertentu. Ia bisa saja meminta kepada uskup yang mengundurkan diri, atau kepada Vikaris Jendral atau kepada Administrator Keuskupan laporan tentang situasi dan kebutuhan keuskupan.
Nunsius atau delegasi apostolik juga wajib berkonsultasi dengan Uskup metropolit dan para uskup lain dari provinsi gerejawi, Ketua Konferensi Para Uskup dan juga beberapa anggota dari kolegium konsultor dan kapitel katedral.
Ia juga dapat berkonsultasi dan mendengarkan pendapat dari orang lain baik dari kalangan klerus diosesan dan religius serta pendapat umat awam yang unggul dalam kebijaksanaan (kan.377§3).
Lebih lanjut norma hukum kita menegaskan bahwa orang yang dikonsultasikan, memberikan informasi dan mengungkapkan pandangan mereka secara “rahasia dan satu demi satu” (Kan.377§3). Artinya bahwa proses seleksi Uskup itu bersifat rahasia.
Term “rahasia” di sini menjadi penting sebab memiliki implikasi baik pastoral maupun yuridis. Karena bisa saja untuk menghindari intervensi dari pihak luar seperti “lobby-lobby” khusus dari para “tifosi” calon tertentu. Atau bisa saja untuk menghindari “kampanye-kampanye” terselubung dari adanya imam yang berambisi untuk menjadi Uskup.
Nunsius Apostolik kemudian menyusun daftar pendek dari tiga calon untuk penyelidikan lebih lanjut dan mencari informasi yang tepat tentang masing-masing dari mereka. Dia kemudian akan mengirimkan ke Tahta Suci sebuah daftar, yang dikenal sebagai “terna”, dengan nama dari tiga calon yang dinilai paling tepat untuk menjadi seorang Uskup.
Untuk kriteria kecakapan seorang calon Uskup dapat terbaca pada kan. 378§1: Selain berumur paling sekurang-kurangnya 35 tahun dan sekurang-kurangnya telah ditahbiskan menjadi imam, ia harus “unggul dalam iman, bermoral baik, saleh, perhatian pada jiwa-jiwa (zelus animarum), bijaksana, arif serta memiliki keutamaan-keutamaan manusiawi, sifat-sifat lain yang cocok untuk melaksanakan jabatan tersebut“.
Selain itu ia telah “memperoleh gelar doktor atau setidak-tidaknya lisensiat dalam Kitab Suci, teologi atau hukum kanonik dari lembaga pendidikan tinggi yang disahkan oleh Takhta Apostolik, atau sekurang-kurangnya ahli sungguh-sungguh dalam disiplin-disiplin itu”. Tapi sekali lagi bahwa penilaian definitif soal kecakapan calon ada pada Tahkta Apostolik (kan.378§2).
Langkah yang ketiga adalah Kongregasi di Kuria Roma yang bertanggung jawab atas penunjukan atau pemilihan seorang Uskup (Indonesia sebagai negara misi maka yang bertanggung jawab adalah Kongregasi Untuk Evangelisasi bangsa-Bangsa/Propaganda Fide) mempelajari semua dokumen yang diberikan oleh Nunsius atau Delegasi Apostolik.
Kongregasi (Propaganda Fide) bisa saja menerima atau bisa juga dapat menolak semua calon yang telah diusulkan dan meminta untuk menyiapkan daftar lain, atau meminta untuk memberikan lebih banyak informasi dan jelas tentang satu atau lebih calon imam yang telah diajukan.
Ketika Kongregasi memutuskan imam mana yang harus ditunjuk, Kongregasi menyajikan kesimpulan akhirnya kepada Paus dan meminta Paus untuk mengangkatnya. Jika Paus setuju, pemilihan oleh Paus dikomunikasikan kepada Nunsius atau Delegasi Apostolik untuk mendapatkan persetujuan dari imam yang bersangkutan atas pengangkatannya dan untuk memilih tanggal diumumkannya.
Tapi bisa saja Paus meminta nama lain dari yang direkomendasikan atau memilih dengan bebas diluar nama-nama yang telah diusulkan itu. Proses untuk sampai pada kesimpulan akhir biasanya membutuhkan waktu cukup lama, sekurang-kurang sembilan bulan atau dalam beberapa kasus bahkan sampai dua tahun.
Menutup ulasan singkat ini dengan sebuah kutipan dari kan.377§1: “Para Uskup diangkat dengan bebas oleh Paus, atau mereka yang terpilih secara legitim dikukuhkan olehnya”.