Katolikpedia.id
Berita

Seputar Kasus-Kasus Pelecehan Perempuan oleh Pastor Tertahbis

pastor-romo-john-prior

Katolikpedia.id – Saya tidak akan menanggapi kasus “Pastor A” yang dipindahkan dari Paroki Tukuneno ke Komunitas Pastoran SMK Bitauni, karena hanya mendengar informasi sepihak. Tapi, saya rela – dan merasa wajib – untuk menanggapi sekali lagi secara umum kasus-kasus pelecehan perempuan oleh pastor-pastor tertahbis.

1] Setiap kasus yang menyangkut seorang pastor tertahbis merupakan kasus pelecehan. Ada dua alasan. Pertama, setiap pastor mengikrarkan janji atau kaul selibat. Jadi, kalau dia berhubungan dengan seorang perempuan secara intim, dia melecehkan janji atau kaul itu. Kedua, seorang pastor tertahbis mendukuki posisi sangat terhormat di tengah masyarakat. Hampir-hampir tak kecuali, relasi seorang pastor tertahbis dengan perempuan merupakan hubungan antara dia yang “berkuasa” dan korban yang tak berkuasa. Entah sang korban adalah musdinah (laki) atau siswi (perempuan), atau orang punya istri. Maka, setiap kasus serupa bukan hanya pelecehan seksual, tapi sekaligus pelecehan kekuasaan.

2] Karena kedudukan pastor tertahbis dinilai tinggi oleh masyarakat, apalagi oleh umat awam yang dilayaninya, atau siswi yang diajarnya, pelaku tertahbis adalah pihak yang bersalah. Kita tidak boleh sekalipun menyalahkan si korban seolah-olah si korban “menggoda” si pastor tertahbis. Pastorlah yang punya status tinggi, bukan si korban. Dia yang terdidik dan harus tahu diri, bukan anak pasca masa pubertas yang mengaguminya.

3] Seharusnya, setiap orang yang bersalah diperlakukan secara sama sebagai warga negara. Jika orang lain akan dilaporkan ke polisi karena ia melanggar hukum, pastor tertahbis juga. Tak boleh si pelaku pasang jubahnya untuk “lolos” dari hukuman. Hukum negara berlaku untuk semua warga.

4] Kebiasaan keuskupan-keuskupan untuk memindah-mindahkan pelaku pastor tertahbis dari tempat tugas yang satu ke tempat tugas yang lain sudah lama dilarang, termasuk oleh aturan dan pedoman dari Vatikan. Seharusnya, tidak ada lagi keuskupan yang berbuat demikian. Si pelaku tertahbis harus menghadapi: a) kasus moral yang dilanggar, bukan hanya hukum moral tapi untuk melanggar panggilannya sebagai seorang selibat; b) Hukum negara. Titik.

5] Sepertinya, pimpinan Gereja masih mengutamakan “nama baik Gereja”. Ini juga sudah dicegah oleh Vatikan. Satu-satunya fokus perhatian Gereja dalam kasus pelecehan adalah si korban. Titik. Si pelaku tertahbis harus bertanggungjawab. Jika ia menghasilkan seorang anak, anak itu adalah tanggungjawabnya. Ini juga sudah termasuk aturan resmi dari Vatikan – pun oleh Tarekat-Tarekat religius seperti SVD. Si bapa mesti menanggung anaknya secara finansial hingga anaknya mencampai umur 18 tahun. Sebagai pastor tertahbis tak mungkin. Maka, dia harus keluar dari imamatnya dan mencari pekerjaan lain.

6] Kalau ada kasus yang menyangkut orang di bawah umur, atau dengan alasan lain yang wajar (isteri orang, misalnya) nama si korban perlu dianonimkan. Tetapi, kalau kasus itu cukup jelas, bukan cuma isu atau gossip, dan ada saksi yang siap memberi kesaksian di Pengadilan, nama si pelaku, termasuk pelaku tertahbis, dapat disebut di media masa dan media sosial.

7] Bagaimana kalau pimpinan Gereja sepertinya masih mau membela si pelaku tertahbis dan bukan si korban? Pertama, tentu perlu ada pendekatan pribadi. Kalau pendekatan lisan belum membawa hasil, surat dapat dikirim kepada pimpinan keuskupan. Jika belum ada tanggapan sesuai petunjuk dan hukum yang sudah jelas dari Vatikan dan dari Negara, demonstrasi damai dapat dibuat agar kasus itu terbongkar.

Kita harus mengakui, walau dengan rasa sedih, malah dengan rasa jengkel, sepertinya, institusi Gereja sendiri tak mampu mengurus kasus-kasus pelecehan.Nyatanya, setiap kasus harus dibongkar, baru pimpinan Gereja mulai bertindak. Di sini peran media masa dan media sosial sangat penting. Bukan untuk menyebarkan isu atau gosip. Bukan. Tapi untuk menyampaikan ke kalangan umum fakta yang sudah disampaikan secara lisan dan secara tertulis tetapi belum ditindaklanjuti secara tepat oleh pimpinan Gereja.

Soal lni bukan hanya kita temukan di NTT atau di Gereja Indonesia pada umumnya, tetapi juga di dalam Gereja di luar negeri. Hanya setelah kasus-kasus pelecehan masuk koran dan disebarluaskan lewat televisi dan media sosial lainnya, barulah pimpinan Gereja mulai bertindak. Jadi, bukan pendekatan “menutup skandal” yang akan menghilangkan skandal-skandal dari kalangan kaum klerus, tetapi sebaliknya, kita harus “membongkar skandal” baru pimpinan Gereja akan mulai ikut aturan yang sebetulnya sudah berlaku di Gereja dan negara.

8] Masih ada kebiasaan yang sungguh buruk, kalau pimpinan Gereja “menyogok” si korban atau keluarga si korban dengan sejumlah uang asal ia menandatangani pernyataan bahwa dia tidak ada menghubungi petugas keamanan atau media. Mulutnya ditutup dengan duit sepotong. Hemat saya, bukan hanya pimpinan Gereja yang berdosa dalam kasus seperti itu, tapi si korban akan bersalah kalau dia menyembunyikan kasus yang seharusnya membawa si pelaku, klerus, ke meja hijau.

John Mansford Prior, SVD, Puslit Candraditya, Wairklau-Maumere, Flores, NTT

Berita Terkait:

Ini Daftar Nama Baptis untuk Bayi yang Lahir di Bulan Desember

Admin

Ini 5 Nasihat Paus Fransiskus untuk Pasangan Katolik yang Bikin Hati Adem

Edeltrudizh

Sakit Leukimia, Paus Fransiskus Setuju Pastor Livinus Ditahbiskan di Rumah Sakit

Steve Elu
error: Content is protected !!