Katolikpedia.id
Berita

Apa Betul di Gereja Katolik juga Sudah Ada Perceraian? Ini Jawabannya!

perceraian-dalam-katolik

Katolikpedia.id – Fenomena pembatalan perkawinan dalam Gereja, kadang menimbulkan banyak tanya di kalangan umat Katolik sendiri.

Ada yang bertanya dalam nada ingin tahu: apa benar perkawinan Katolik itu bisa dibatalkan? Ada yang bertanya, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengurus proses pembatalan perkawinan itu? Tapi pertanyaan yang paling menarik adalah soal pembatalan dan perceraian.

Muncul pertanyaan, apa betul di Gereja Katolik juga sudah ada perceraiaan? Pertanyaan terakhir inilah yang akan menjadi landasan uraian singkat ini. Saya akan memulai dengan sekilas menampilkan ulasan tentang terminologi perkawinan dan pembatalan.

Term: perkawinan

Pada bagian ini, saya tidak akan menguraikan perkawinan sebagai sebuah perjanjian (foedus) antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk membentuk kebersamaan seluruh hidup (consortium totius vitae) yang menurut ciri kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum) serta kelahiran (bonum prolis) dan pendidikan anak (bdk. Kan.1055§1).

Saya juga tidak akan membahas skema konseptual tria bona perkawinan menurut Agustinus (bonum prolis, bonum fidei, et bonum sacramenti). Saya tidak akan membahas semua itu. Saya hanya menampilkan secara singkat asal-usul kata perkawinan.

Kalau saja kita mengurut silsilah kata perkawinan dari Bahasa Latin (matrimonium, matrimoni) yang rupa-rupanya kata perkawinan ini berasal dari gabungan kata: “mater dan onium (tugas)”, yang berarti tugas seorang ibu (istri).
Kata-kata lain yang sangat dekat adalah Patrimonium (Pater+onium) yang arah maknanya merujuk pada warisan, kekayaan dan harta.

Kata matrimonium (mater+onium), ini mengacu pada tugas seorang ibu (istri) dan ayah (suami) untuk melahirkan, membesarkan dan merawat anak-anak. Sedangkan tugas seorang suami adalah untuk menghasilkan, menjaga dan mengelola harta benda keluarga (Patrimonium, Patrimoni).

Term: Pembatalan

Kata “pembatalan” dalam bahasa Indonesia merupakan hasil terjemahan kata Latin “nullitas”. Tapi harus diakui bahwa memang tidak mudah untuk menemukan terjemahan yang pas dan tepat dalam bahasa Indonesia dari kata “nullitas” itu sendiri.

Sedangkan dalam terjemahan ke dalanı bahasa Inggris, kata Latin “nullitas” diterjemahkan sebagai nııllity. Terjemahan kata “nullity” ini mengandung makna: keadaan tidak ada, ketidak-adaan, tidak sah, hal yang tidak ada, sesuatu yang tidak punya kekuatan hukum atau keabsahan.

Karena itu, terminologi “pembatalan” perkawinan sebenarnya memuat dua hal penting: yang pertama, menyangkut perbuatan yang sudah tidak sah, tidak berlaku sejak asalnya (“ex tunc”), karena dilakukan secara tidak teratur dan tanpa adanya atau terpenuhinya semua persyaratan hukum.

Dan yang kedua, untuk mengintervensi suatu tindakan yang sah dengan sendirinya, tetapi yang kemudian dihentikan (dan, oleh karena itu, dibatalkan) karena alasan-alasan yang muncul dan karena itu menghasilkan efek hukum hanya dari saat penghentian (“ex nunc“).

Baca Juga: Langkah-langkah dalam Proses Pembatalan Perkawinan Katolik

Perkawinan Katolik: batal atau cerai?

Tak jarang banyak umat Katolik juga yang ketika datang di Kantor Tribunal Gereja mengatakan begini: “Pater, kami ingin proses perceraian kami secara gerejawi”. Sepintas bisa dibilang bahwa tidak ada kata perceraian dalam kamus perkawinan kanonik.

Gereja Katolik tidak memperbolehkan perceraian dari perkawinan yang sah. Yang ada dalam Gereja Katolik adalah pembatalan perkawinan. Pernyataan kebatalan perkawinan ini terarah pada perkawinan yang sejak semula tidak sah.

Sekedar untuk diketahui bahwa, dalam Hukum Gereja, ada hal-hal tertentu yang diatur oleh hukum yang dapat menyebabkan sebuah perkawinan sejak semula tidak sah sehingga bila dalam perkara perkawinan hal tersebut dapat dibuktikan dan meyakinkan hakim, maka hakim kemudian dapat menyatakan dalam putusannya bahwa sebuah perkawinan itu batal karena memang sejak semula tidak ada atau tidak berdiri sebagai perkawinan.

Hal-hal tersebut digolongkan ke dalam tiga kelompok, yakni: adanya halangan-halangan perkawinan; adanya cacat dalam kesepakatan perkawinan; dan adanya cacat Forma Canonica.

Dalam proses hukum acara perkawinan, tugas para hakim di tribunal adalah untuk menyatakan kebatalan perkawinan dan bukan berurusan dengan proses pembatalan perkawinan. Hakim Gereja bukannya secara aktif “membatalkan” perkawinan yang sah, melainkan memeriksa untuk membuktikan dan menyatakan nullitas atau kebatalan (nullitatem declarandam, declaring nullity) perkawinan.

Para hakim Gereja akan dengan sangat teliti memeriksa perkara yang diajukan untuk mendapatkan kepastian apakah perkawinan tersebut ada, apakah berdiri sebagai sebuah perkawinan sebagaimana dimaksudkan dan diajarkan oleh Gereja atau perkawinan tersebut sudah tidak sah sejak semula.

Hakim tidak berusaha mencari dalil-dalil pembenaran, argumen subjektif dari para pihak serta bukti-bukti objektif untuk membatalkan perkawinan yang perkaranya diadili. Sekali lagi, tugas para hakim tirbunal adalah menyatakan kebatalan (declaring nullity) sebuah perkawinan, bukan membatalkan sebuah perkawinan.

Karena itu, dalam proses hukum acara perkawinan kanonik, tidak dikenal istilah perceraian. Gereja hanya mengenal dan menggunakan istilah pembatalan (anulasi). Kata perceraian adalah milik khas hukum sipil.

Pembatalan perkawinan secara Kanonik itu berarti bahwa menyatakan kebatalan perkawinan yang dinilai sejak semula tidak sah, tidak ada karena unsur-unsur sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Sedangkan perceraian itu membubarkan suatu perkawinan yang  ada dan sah. Dan Gereja Katolik tidak ada dalam alur berpikir ini.

Lalu apa bedanya pembatalan perkawinan kanonik dan perceraian sipil?

Itulah sebabnya pembatalan perkawinan kanonik dan perceraian sipil adalah dua lembaga hukum yang mengizinkan pembubaran perkawinan, tetapi dari sisi prosedural, keduanya memiliki perbedaan substansial yang signifikan. Jika perceraian sipil diatur oleh hukum sipil, pembatalan pernikahan kanonik diatur oleh hukum kanonik, yang didasarkan pada norma-norma Gereja Katolik.

Pembatalan perkawinan kanonik adalah pernyataan yudisial yang menyatakan bahwa perkawinan tersebut tidak sah, yaitu bahwa perkawinan tersebut tidak pernah memiliki efek hukum.

Hal ini dapat terjadi karena berbagai alasan, seperti ketidakmampuan untuk melakukan kesepakatan perkawinan, kekeliruan mendasar pada orang atau sifat dari orang tersebut (error in persona dan error in qualiate personae), atau karena adanya unsur keterpaksaan dan ketakutan besar (vis et metus gravis).

Pembatalan perkawinan kanonik dapat diminta oleh kedua pasangan atau hanya oleh salah satu dari mereka, dan prosesnya dimulai di pengadilan gerejawi yang berwenang.

Sebaliknya, perceraian sipil adalah pembubaran perkawinan sipil, yang dinyatakan oleh pengadilan sipil. Tidak seperti pembatalan perkawinan kanonik, perceraian sipil tidak menyatakan bahwa pernikahan tersebut tidak pernah ada atau tidak sah sejak awal, tetapi mengakui bahwa ikatan pernikahan tersebut telah dibubarkan.

Perceraian sipil dapat diajukan oleh kedua pasangan atau hanya oleh salah satu dari mereka, dan prosesnya dimulai di pengadilan sipil yang berwenang.

Dari sudut pandang prosedural, pembatalan perkawinan kanonik dan perceraian sipil memiliki perbedaan yang signifikan. Pertama-tama, prosedur pembatalan perkawinan kanonik lebih kompleks dan lebih lama daripada prosedur perceraian sipil.

Pembatalan perkawinan kanonik membutuhkan serangkaian penyelidikan dan persidangan, yang dapat berlangsung selama berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun. Perbedaan lain soal alasan-alasan yang dapat digunakan. Dalam kasus pembatalan perkawinan kanonik, alasan-alasannya terbatas dan harus didasarkan pada alasan-alasan spesifik yang disediakan oleh hukum kanonik.

Di sisi lain, dalam perceraian sipil, penyebabnya bisa bermacam-macam dan tidak perlu memberikan alasan khusus untuk meminta perceraian. Dan yang terakhir, pembatalan perkawinan secara kanonik dan perceraian sipil memiliki dampak yang berbeda terhadap status para pihak yang berperkara.

Dalam kasus pembatalan perkawinan kanonik, perkawinan dinyatakan batal dan tidak berlaku, tidak ada atau tidak sah sejak awal dan para pihak kembali ke status mereka sebagai orang bebas atau belum menikah. Di sisi lain, dalam perceraian sipil, perkawinan dibubarkan dan para pihak dapat membuat perkawinan baru.

 Akhirnya, saya merasa penting untuk mengatakan bahwa pembatalan perkawinan kanonik hanya diakui oleh Gereja Katolik, sedangkan perceraian sipil sah secara hukum di tingkat sipil.

Dan dalam Gereja Katolik tidak ada perceraiaan, yang ada adalah pembatalan perkawinan. Karenanya, penting untuk diketahui bersama pembedaan ini agar kita dapat membuat pilihan yang tepat jika terjadi krisis dalam perkawinan.

Berita Terkait:

Praedicate Evangelium: Apa yang Baru?

Dr. Doddy Sasi CMF

Mohon Doa, Pebulu Tangkis Kevin Sanjaya Positif Covid-19

Edeltrudizh

Berita Duka, Adik Ipar Kardinal Suharyo Berpulang

Redaksi
error: Content is protected !!