Katolikpedia.id – Beberapa hari lalu beredar sebuah penggalan video pesan Paus dalam audiensi umum di Lapangan Santo Petrus Vatikan, Rabu 15 Maret 2023.
Adapun isi penggalan video itu: “Siapakah yang lebih bermartabat di dalam Gereja: uskup atau imam? Tidak… kita semua adalah orang Kristen yang melayani sesama kita yang lain. Siapa yang lebih penting dalam Gereja: biarawati atau orang biasa, orang yang sudah dibaptis, anak kecil atau uskup…? Semua kita sama, semua kita setara, dan ketika ada pihak menganggap dirinya lebih penting daripada yang lain dan sedikit menonjolkan diri, disitu dia sudah salah. Sebab itu bukanlah panggilan Yesus. Panggilan yang Yesus berikan, adalah kepada semua orang – dan kepada mereka yang tampaknya berada di tempat yang lebih tinggi – mereka adalah pelayan, tugas mereka adalah melayani orang lain…”
Dari isi penggalan video ini, ada yang kemudian bertanya apa benar semua kita sama? Apa betul kita semua setara dalam Gereja? Saya berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dari sudut pandang status kaum beriman kristiani secara yuridis-kanonis.
#Status dari Kaum Beriman Kristiani
Ada dua nomor kanon dalam Kitab Hukum Kanonik (KHK) yang bisa dijadikan rujukkan untuk menjelaskan status beriman kristiani (kaum terbaptis), yakni: kan. 96 dan kan. 204.
Kedua kanon ini memberi definisi akan status kaum terbaptis, dengan dua gaya bahasa yang berbeda; kan. 204 dengan gaya lebih teologis sedangkan kan. 96 gaya bahasanya lebih yuridis.
Pertama, kanon 204 §1. Ada beberapa catatan menarik dari kanon ini: (a) Kan. 204§1 ini berbicara soal kaum beriman kristiani yang mana melalui pembaptisan, semua diinkorporasikan dengan Kristus. (b) Dengan pembaptisan kaum beriman kristiani dibentuk menjadi umat Allah. (c) dan sebagai Umat Allah, kaum beriman kristiani memiliki kewajiban (dovere) untuk berpartisipasi dalam perutusan/misi Allah yang dipercayakan kepada Gereja melalui tugas sebagai imam, nabi dan raja.
Kedua, kanon 96. Isi tekanan kanon ini masih sama bahwa hanya melalui pembaptisan seseorang digabungkan dengan gereja, dengan segala kepenuhan tugas dan hak-haknya. Atau dengan lain kata, dengan pembaptisan seseorang menerima status yuridisnya dalam gereja (posisi yuridisnya, persekutuannya dengan gereja dan bahkan ketika ia bersalah akan diterapkan pula sanksi/hukum dalam gereja).
Singkat kata, dengan pembaptisan, semua kaum terbaptis sama dan setara dipanggil kepada kekudusan, kepada misi dan karya keselamatan Gereja.
#Kategori dari Status Hidup Kaum Beriman dalam Gereja (kan.207)
Pada bagian kedua, saya merasa perlu untuk menampilkan sepintas soal kategori dari status hidup kaum beriman dalam Gereja (kan.207). Ada 3 kategori dari status hidup kaum beriman kristiani.
Pertama, Status Dasar/ Fondamental (Kan. 207§1): yakni sebagai Klerus dan Awam. Disebut sebagai status fondamental karena didasarkan pada penetapan ilahi.
Adapun bunyi kanon ini: Oleh penetapan ilahi, di antara kaum beriman kristiani dalam Gereja ada pelayan-pelayan suci, yang dalam hukum juga disebut para klerikus; sedangkan lain-lainnya juga disebut awam (kan.207§1).
Kedua, Status Hidup Bakti (Kan.207§2): Pada kanon 207§2, ditampilkan tentang kaum hidup bakti. Dikatakan bahwa diantara kaum beriman kristiani atau dengan lain kata, diantara klerus dan awam ada juga yang terpanggil untuk mengikrarkan nasihat-nasihat injili sebagai anggota kaum hidup bakti.
Ketiga, Status Hidup Perkawinan (kan. 226). Mereka yang hidup dalam status perkawinan, sesuai dengan panggilan khasnya, terikat kewajiban khusus untuk berusaha membangun umat Allah melalui perkawinan dan keluarga (dibicarakan secara khusus pada buku IV KHK 1983).
#Prinsip Kesetaraan (kan.208)
Kanon 208 menampilkan sebuah prinsip pentingbagi status hidup kaum beriman kristiani yakni prinsip kesetaraan (equal, uguaglianza).
Ditegaskan dalam kanon ini bahwa: “Di antara semua orang beriman kristiani, yakni berkat kelahiran kembali mereka dalam Kristus, ada kesamaan sejati dalam martabat dan kegiatan; dengan itu mereka semua sesuai dengan kedudukan khas dan tugas masing-masing, bekerjasama membangun Tubuh Kristus”.
Sejenak melihat kembali lintasan sejarah antara dua status hidup dasar kaum beriman dalam gereja antara kaum klerus dan kaum awam, ada coretan kisah hitam dalam relasi timbal balik keduanya. Karena alasan itu, kodeks 1983 tidak mau terjebak dalam relasi tensional itu.
Dengan mendasari konsep pada Konsili Vatikan II (dok. GS. 29 dan LG. 33), kodeks 1983 juga berbicara tentang prinsip kesetaraan dalam martabat dan tindakan diantara kaum beriman kristiani dengan dasar pada pembaptisan yang diterima oleh masing-masing.
Prinsip kesetaraan ini juga muncul dalam relasi kerjasama dalam misi perutusan sesuai dengan kekhasan masing-masing. Kembali ditegaskan bahwa dengan pembaptisan, semua kaum terbaptis sama dan setara dipanggil kepada kekudusan, kepada misi dan karya keselamatan Gereja.