Katolikpedia.id
Buku Motivasi

Kaum Hidup Bakti harus Berubah, Kalau Tak Mau Tergerus Era Digital

konfirmasi-paus-fransiskus-terjangkit-covid-19

Katolikpedia.id – Pernah, suatu hari, seorang teman dengan spontan iseng bertanya: “Hai Bro, apa yang dikatakan oleh Kitab Hukum Kanonik kita tentang penggunaan media massa (bisa baca: media digital) bagi kaum religius?”.

Tertegun sejenak sambil berpikir, rasanya pertanyaan ini tepat sasar dan updated betul.

Saya berusaha dengan sederhana ingin menjawab bahwa media digital dapat digunakan untuk kerasulan, evangelisasi, atau kesenangan (enjoyment) dan relaksasi (koran, majalah, radio, Tv, film, HP, Internet).

Ketika digunakan untuk kesenangan dan relaksasi, dianjurkan untuk dilakukan dengan sangat bijaksana dan hati-hati agar tidak mengganggu semangat panggilan dan komunitas dan tidak mengarahkan religius pada kesempatan untuk berdosa (bdk.kan. 666).

Kutipan kan.666 berbunyi: Dalam menggunakan media komunikasi sosial hendaknya dipelihara diskresi yang semestinya dan dihindari segala sesuatu yang merugikan panggilannya sendiri serta berbahaya bagi kemurnian orang yang sudah dibaktikan.

Bergerak dari pertanyaan iseng di atas, saya ingin memperluas tema ini dengan mengatakan bahwa sekarang kita sudah berada pada era budaya digital, bahkan orang sudah banyak bicara soal Revolusi Industri 4.0.

BACA: 12 Pesan Cinta Yesus kepada Kita. Praktikan Yuk, dalam Hidupmu!

Jika dulu, bagi kaum hidup bakti, era digital itu bagai mimpi yang alergi untuk dibicarakan, kini sudah jadi realitas yang perlu diakrabi.

Ada beberapa sampel representatif bagaimana media digital digunakan sebagai strategi yang pas konteks untuk kerasulan. Misalnya: aktif menggunakan FB untuk tujuan pastoral, membuat engagement baru dengan users (penggalangan dana, share foto, dll.), twitter dan blog kabar Gereja atau Kongregasi.

Di USA ada “network of pastor’s blog”. Pewartaan dapat terbantu dengan domino effect dari social media ke mainstream media. Sarana youtube juga sangat penting.

Pertanyaannya: beranikah kita sekarang membuat channel (aktivitas harian komunitas, renungan-renungan sederhana, aksi panggilan atau homili) untuk diunggah ke YouTube?

Atau ada kisah beberapa tahun silam di salah satu Keuskupan di Indonesia, ada yang namanya ponsel ‘gembala baik’. Panduan ‘berketuhanan’ ada dalam ponsel pintar ini, mulai dari Kitab Suci, Puji Syukur, alarm doa, alarm peringatan Santo/a, alarm Rosario, aneka doa dan jadwal misa.

Waktu itu orang sempat bertanya trend apa lagi ini?

Mengikuti pikiran temuan para saintis bahwa teknologi internet bukan lagi alien bagi dunia manusia, melainkan becoming an integral part of everyday life, in a fluid way: a “new existential context”. Atau seorang Antonio Spadaro mengatakan, di era web ini, tugas Gereja “bukan how to use the Web well, melainkan how to live well in the era of the Web: the Web is not a new means of evangelization but is, above all, a context in which the faith is called to express itself not by a mere willingness to be present, but by the compatibility of Christianity with the lives of human beings”.

Bahkan ada cara-cara teknologi yang digunakan untuk menalar iman. Misalnya, dapat dipakai 3 kata kunci yang lazim dalam teknologi komputer: save (bagaimana konsep penyelamatan teologi Kristiani), convert (bagaimana konsep pertobatan teologi Kristiani), justify (bagaimana konsep pembenaran teologi Kristiani).

Terlepas dari apa yang sudah saya uraikan di atas, ada dua aspek yang ingin dielaborasi lanjut yakni soal formasi dan kerasulan di era digital kini.

Formasi di era digital

Kita harus jujur bahwa generasi baru yang datang ke hidup bakti hari ini termasuk dalam generasi digital.

Budaya ini mutlak diperlukan untuk mengambil tindakan, melatih dan memahami untuk mendampingi generasi baru religius laki-laki dan perempuan dalam proses pembentukannya, agar generasi baru ini tidak sepenuhnya asing dengan dunia digital.

Maka hal yang perlu dalam dunia formasi hidup bakti adalah soal perlunya perhatian dan pembaruan berkelanjutan pada “literasi digital”. Namun, kebutuhan akan “literasi digital” ini juga tidak boleh dilebih-lebihkan seperti harus mengetahui teknologi dan aplikasi terbaru di dunia “network”.

Untuk alasan ini, kaum hidup bakti tidak boleh takut, juga tidak perlu merasa terpesona menghadapi dunia teknologi komunikasi baru.

BACA: Paus Fransiskus Revisi Kanon 230§1 untuk Pertegas Peran Awam dalam Gereja Katolik

Kaum hidup bakti dipanggil untuk terbuka untuk menavigasi secara bertanggung jawab di ruang global yang besar ini, yang dihuni oleh jutaan pria dan wanita dari berbagai usia dan budaya, dari berbagai tingkat formasi dan keyakinan yang berbeda.

Internet, di atas segalanya, adalah kesempatan yang ditawarkan kepada kita untuk hubungan dan komunikasi.

Dalam dunia formasi kita sudah banyak bicara soal kebebasan yang bertanggung jawab atau soal pengendalian diri.

Bicara mengenai pengendalian diri tidak harus kembali ke rumus lama tentang ‘disiplin’ – kita tak bisa bicara tentang pengendalian diri dalam teori klasik: soal disiplin apalagi larangan.

Larangan tidak efektif untuk sebuah proses formatif. Perlu adanya praksis komunikasi tetap harus dibuat tapi tidak dalam ajaran doktriner lagi. Kaum hidup bakti perlu berpikir untuk memasukan dalam kurikulum formasi soal: literasi digital.

Kerasulan di era digital

Jika sampai saat ini pola bermisi kongregasi masih berbasis job-description tentu akan mengalami masalah karena konteks era disrupsi digital kini selalu kompleks dan tidak tentu.

Maka, pendekatan misi sekarang harus berbasis task-oriented. Misalnya, kongregasi membentuk tim kerja yang multi skill dan siap pakai kapan pun dan siap bertransformasi sesuai kebutuhan konteks.

Bagaimana tuntutan semacam ini diakomodir oleh kongregasi? Soal yang penting juga di sini adalah soal soff skill. Kalau kongregasi-kongregasi tidak memiliki soft-skill di atas, akan tergusur. Bukan hanya aset, tetapi juga misi dan keanggotaan.

Akhirnya saya cuma mau bilang “Reksa Misi-Pastoral” dari tiap lembaga hidup bakti di tengah arus digital ini perlu dipikirkan dengan baik dan matang untuk bisa mengakomodir setiap perubahan dalam dunia yang tidak bisa terelakkan ini.

Akhirnya sangatlah baik jika kita memaknai fenomena era digital baru ini sebagai peluang, alih-alih sebagai tantangan.

Berita Terkait:

Kesaksian Sandra Dewi tentang Novena 3 Salam Maria

Edeltrudizh

Menderita Epilepsi dan Autisme, Bocah Ini Alami Mukjizat Setelah Berjumpa dengan Paus Franiskus

Edeltrudizh

Terkenal Pintar dan Sudah Bekerja di Amerika, Pria Ini Malah Memilih Menjadi Imam. Ini Kisahnya!

Steve Elu
error: Content is protected !!