Katolikpedia.id – Gereja memang telah menangani masalah pelanggaran dalam tubuhnya sendiri dengan penanganan yang sudah tiba pada tingkat refleksi dan langkah-langkah operasional protokoler.
Tapi relevansi topik penanganan sebagian besar berkaitan dengan pelecehan seksual dan psikologis terhadap anak di bawah umur oleh para Imam.
Masalah yang belum mendapat perhatian yang cukup sejauh ini adalah penyalagunaan kekuasaan dalam kongregasi perempuan. Tema inilah yang sebagian besar belum dijelajahi.
Tapi untuk mengingatkan kita pada awal tulisan ini bahwa masalah penyalagunaan kekuasaan ini bisa juga terjadi pada kongregasi religius laki-laki.
Angin pembaruan yang dihembuskan oleh Konsili Vatikan II rupanya tidak dialami dengan cara yang sama di berbagai kongregasi religius.
Misalkan saja, beberapa kongregasi telah melakukan adaptasi dan reformasi yang sulit tetapi efektif; sedangkan, di sisi lain, ada kongregasi yang belum berhasil mencapai tujuan tersebut, baik karena kurangnya kekuatan, atau karena mereka yakin bahwa “tradisi adat istiadat” kongregasi yang dipraktikkan hingga saat ini masih dapat menjadi model kepemimpinan yang ideal.
Sayangnya, sejarah mengajarkan bahwa tanpa upaya konfrontasi, adaptasi, reformasi dan pencarian jalan baru kongregasi-kongregasi berisiko kehilangan kesegaran karisma dan mengalami kemunduran yang lambat akan tak terhentikan.
Perlu juga ditambahkan bahwa dinamika kehidupan kongregasi perempuan tampak sangat berbeda dengan dinamika kehidupan kongregasi religius laki-laki dalam beberapa hal.
Kongregasi religius laki-laki bisa dibilang lebih memiliki banyak kemungkinan untuk studi dan pastoral yang pada umumnya bisa membawa dan melatih mereka untuk menjalani kehidupan persaudaraan dan kaul-kaul religius dengan keterbukaan dan otonomi yang lebih besar.
Pada kongregasi religius perempuan kemungkinan dalam berpastoral dan studi tidak seluas yang ada pada kongregasi religus laki-laki. Dan dalam kasus ini yang sering terjadi baik pada kongregasi religius laki-laki dan terlebih pada perempuan, penentuan siapa yang studi atau keistimewaan lain akan diberikan kepada mereka yang dianggap paling dekat, paling setia dan paling penurut dengan mengorbankan mereka yang sering berbeda pikiran dengan pemimpin.
Saya mau katakan bahwa kesetiaan pada karisma menjadi kesetiaan pada selera dan preferensi orang tertentu, yang secara sewenang-wenang memutuskan siapa yang layak dan siapa yang tidak layak. Dan domain wilayah penentuan dalam pengambilan keputusan ini, ada pada mereka yang berkuasa atau yang memimpin.
BACA: Apakah Boleh Mengadakan Misa untuk Orang yang Bunuh Diri?
Oleh karena itu, dalam sebuah wawancara Kardinal João Braz de Aviz, Prefek dari Kongregasi Tarekat Hidup Bakti dan Serikat Hidup Kerasulan, mengatakan bahwa: “Untung saja kami memiliki kasus-kasus tentang para pemimpin jendral, yang setelah terpilih, seolah tidak ingin tidak menyerahkan tempat mereka kepada orang lain.
Mereka seperti berada di atas semua aturan kongregasi. Seseorang bahkan ingin mengubah konstitusi agar tetap menjadi superior jenderal sampai kematiannya. Dan dalam komunitas ada religius yang cenderung taat secara membabi buta, tanpa mengatakan apa yang mereka pikirkan. Seringkali seseorang merasa takut, takut kepada pemimpinnya.
Sebaliknya, dalam ketaatan sejati, adalah perlu untuk mengatakan dengan berani dan benar apa yang Tuhan sarankan di dalam dirinya, untuk menawarkan lebih banyak pilihan kepada pemimpin untuk mengambil keputusan”.
Jika kita membaca fenomena pola ketertarikan pada kekuasaan pada kongregasi religius laki-laki dan kongregasi religus perempuan ada semacam situasi yang berlawanan.
Pada kongregasi religus laki-laki ada kecendrugan untuk menolak atau ada yang meminta cepatnya putaran rotasi untuk tidak menjabat sebagai seorang pemimpin. Tapi kecendrungan ini rupanya agak sulit kita temukan pada kongregasi religus perempuan, yang mana selalu muncul kecendrungan untuk memperpanjang mandat yang diterima untuk waktu yang lama atau bahkan seumur hidup.
Ada kisah bahwa ada seorang biarawati yang sudah menjadi anggota dewan umum selama 12 tahun, kemudian terpilih menjadi Pemimpin Umum selama 18 tahun, dan akhirnya berhasil dipilih kembali sebagai wakil pemimpin umum untuk dua periode kepemimpinan lagi. Bayangkan hampir seluruh hidupnya hanya ada dalam lingkaran kekuasaan.
Situasi seperti ini tentu saja menimbulkan pertanyaan apakah dengan “berkuasa” atau menjadi pemimpin itu memiliki jaminan keistimewaan tertentu yang harus dikecualikan dari anggota lain?
Atau ada juga kasus, dimana seorang pemimpin yang tanpa berkonsultasi dengan siapa pun, membawa ibunya ke komunitas biaranya sampai kematiannya, juga mengizinkannya untuk berbagi ruang komunitas selama sekitar dua puluh tahun. Setiap musim panas dia meninggalkan komunitas untuk membawa ibunya berlibur.
Menjadi pemimpin sepertinya mendapat jaminan keistimewaan yang eksklusif, seperti: menikmati perawatan medis terbaik, menikmati kesempatan untuk berlibur yang lebih (dia bisa berlibur setiap tahun sedangkan suster-suster anggotanya baru bisa berlibur 4 tahun sekali), memiliki hari istirahat, dapat berjalan-jalan keluar tanpa harus memberitahu siapapun dan lebih elegan dalam berpenampilan bila dibandingkan dengan saudari-saudarinya.
Atau jika ada anggotanya yang meminta ingin dibelikan yang pakaian maka harus sabar untuk menunggu pertimbangan dewan yang kadang ujung-ujungnya adalah permintaan itu ditolak “dengan alasan kemiskinan.”
Akhirnya beberapa biarawati beralih untuk meminta ke anggota keluarga mereka. Dan menjadi lebih menyedihkan bagi mereka yang kemudian tahu bahwa lemari pakaian para pemimpin penuh dengan pakaian yang dibeli tanpa berkonsultasi dengan siapa pun dan dibeli dengan uang komunitas, sementara saudari-saudarinya yang lain hampir tidak punya pakaian cadangan sekalipun.
Contoh kisah- kisah ini mungkin tampak membingungkan dan hampir membuat kita tidak dapat dipercaya tapi inilah yang sering terjadi dan dialami. Solusi yang kadang diambil oleh biarawati-biarawati sederhana itu adalah diam, mereka sulit mengungkapkan semua itu, karena mereka tidak tahu ke mana harus berpaling atau mengaduh, atau juga karena takut akan adanya pembalasan.
Contoh kisah yang lain bisa kita lihat dalam konteks pengelolaan harta benda (patrimoni) kongregasi. Sering ada kerjasama yang mengagumkan antara pemimpin umum dan ekonom dalam mengelola harta benda kongregasi.
Menjadikan kongregasi sebagai “milik pribadi” adalah hal yang paling menyakitkan. Ada biarawati saleh yang ingin menjadi ekonom seumur hidupnya, padahal baik dalam Kitab Hukum Kanonik ataupun Konstitusi kongregasi ada batasan usia dan batasan mandat bagi seorang ekonom.
Akibatnya, kongregasi akhirnya seperti terkonsentrasi di tangan satu orang (yang menjadikan Kongregasi sebuah “perusahaan” keluarga, mempekerjakan orang tanpa kompetensi, yang penting ada ikatan keluarga dengannya).
Kisah-kisah ini seperti tentu saja akan merugikan mereka yang datang belakangan, terutama para suster yang lebih muda, yang datang dan masuk dalam biara dengan banyak impian dan harapan.
Sekali lagi, tulisan ini memang menyoroti penyalagunaan kekuasaan yang terjadi pada kongregasi religius perempuan tapi tidak berarti bahwa kisah dengan nada tenor yang sama tidak ada pada kongregasi religus laki-laki. Oleh karena itu, saya tampilkan semacam pesan-pesan bijak pada bagian akhir tulisan ini.
BACA: Datangi Istana Keuskupan Agung Kupang, Dua Menteri Buka Puasa Bersama Mgr Turang
Pertama, dalam dokumen yang berjudul “Anggur baru dalam kantong kulit baru” yang dikeluarkan oleh Kongregasi Hidup Bakti dan Serikat Hidup Kerasulan pada 6 Januari 2017, terdapat pesan: “Siapa pun yang menjalankan kekuasaan tidak boleh mendorong sikap kekanak-kanakan dalam kepemimpinannya […]. Sayangnya, harus diakui bahwa situasi seperti itu lebih sering terjadi dan lebih terbukti terjadi pada kongregasi religius perempuan”.
Hal yang bisa menjadi solusi adalah mandat kuasa sebagai pemimpin sebaiknya disesuaikan dengan norma Gereja yang ada pada Kitab Hukum Kanonik kita atau norma norma kongregasi yang ada pada Konstitusi.
Kedua, Paus Fransikus melalui Anjuran Apostolik Evangelii Gaudium yang dipromulgasi pada 24 November 2013, mengingatkan kaum hidup bakti: “Dengan demikian, terbentuk ancaman terbesar: pragmatisme abu-abu dalam hidup harian Gereja, di mana semua kelihatan berlangsung secara normal, padahal kenyataannya iman sedang melemah dan merosot menjadi kepicikan” (art.83).
Dengan lain kata, saat ini kaum religius hanya secara lahiriah atau secara sosial tampaknya berjalan seperti semangat pendiri dan tuntutan Gereja, tetapi secara spiritual sesungguhnya sudah keropos. Bisa saja kekeroposan itu tidak disadari atau pun disadari tetapi tidak dihiraukan.
Bertolak dari kondisi sosial religius yang demikian maka pada artikel 93, Paus lanjut menulis: “Keduniawian rohani yang bersembunyi di balik penampilan kesalehan dan bahkan kasih pada Gereja mencari bukan kemuliaan Allah melainkan kemuliaan manusia dan kesejahteraan pribadi”. Menurut Paus, keduniawian rohani para religius itu wujudnya adalah mencari kepentingan sendiri dan bukan lagi kepentingan Kristus Yesus.
Mari berbenah. Sebab jika tidak semangat kepemimpinan akan terus digantikan oleh kesenangan hampa akan kepuasan dan pemuasan diri. Visi mulia dan agung para pendiri kita dulu bisa dikatakan menjadi hilang, tertutup abu ego diri kita.
Tugas kita sekarang untuk menyingkirkan abu itu agar panasnya api hidup religius kembali memberi kehangatan bagi banyak orang. Kita ambil waktu satu dua menit untuk meresapkan kata-kata di atas.
“Menjadi religius membuatmu mudah menghakimi orang lain, kasar, keras dan angkuh. Periksalah! Kamu menyembah Tuhan atau egomu?”