Katolikpedia.id
Berita Doa Ziarah

Apakah Boleh Mengadakan Misa untuk Orang yang Bunuh Diri?

Misa untuk Orang Bunuh Diri

Katolikpedia.id – Saya beberapa kali mendapat pertanyaan yang sama dengan judul tulisan sederhana ini. Romo, bisakah kita merayakan perayaan liturgi atau pelayanan rohani untuk orang yang meninggal karena bunuh diri?

Pertanyaan ini sangat menarik untuk dibahas. Ide dasar dari pertanyaan ini bisa saja muncul karena keterkejutan atau kekagetan umat yang ikut atau melihat adanya perayaan liturgi atau pelayanan rohani lain bagi mereka yang meninggal karena bunuh diri.

Atau bisa saja ada yang mengalami pengalaman “ditolak” ketika meminta para Gembala Umat untuk memberikan pelayanan liturgi dan rohani kepada mereka yang meninggal karena bunuh diri.

Saya sendiri juga terkejut karena bisa dibilang sebagian besar dari kita baik Imam maupun Awam rupanya belum memiliki informasi yang cukup tentang kasus ini.

Rupa-rupanya nafas “aggiornamento” Konsili Vatikan II belum terhirup segar dalam dinamika hidup keberimanan kita.

Karena itu, saya akan membahas secara sederhana pertanyaan kasuistik ini dari sudut pandang Hukum Kanonik kita.

Pada abad-abad awal Gereja, ada sanksi yang tegas bagi mereka yang melakukan kejahatan seperti murtad, skisma atau bidaah. Sanksi yang diberikan jelas yakni tidak adanya pemakaman secara Katolik dan pelayanan rohani lainnya seperti mendoakannya.

Lalu dalam perkembangan selanjutnya sampai pada ajaran Kitab Hukum Kanonik 1917, sanksi ini diperluas cakupannya juga untuk mereka yang meninggal karena bunuh diri.

Artinya mereka yang meninggal dengan bunuh diri dicabut haknya dengan tidak adanya perayaan misa arwah dan pelayanan rohani lainnnya.

KHK 1917 kan.1240§1.3° menampilkan larangan itu dengan jelas pada kutipan kanon dibawah ini (maaf sulit ditemukan kutipan teksnya dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris): Can 1240 §1. Ecclesiastica sepultura privantur, nisi ante mortem aliqua dederint poenitentiae signa:1º Notorii apostatae a christiana fide, aut sectae haereticae vel schismaticae aut sectae massonicae aliisve eiusdem generis societatibus notorie addicti;2º Excommunicati vel interdicti post sententiam condemnatoriam vel declaratoriam;3º Qui se ipsi occiderint deliberato consilio;4º Mortui in duello aut ex vulnere inde relato;5º Qui mandaverint suum corpus cremationi tradi;6º Alii peccatores publici et manifesti.

§2. Occurrente praedictis in casibus aliquo dubio, consulatur, si tempus sinat, Ordinarius; permanente dubio, cadaver sepulturae ecclesiasticae tradatur, ita tamen ut removeatur scandalum.

Sedangkan pada KHK 1983, Cara pandang KHK 1983 pada kasus bunuh diri mengalami perubahan dari apa yang ada pada kodeks lama 1917 (bdk. Can.1240§1.3°).

KHK 1983 tidak lagi menyebutkan tindakan bunuh diri sebagai halangan untuk tidak dirayakan perayaan liturgi pemakaman atau pelayanan rohani lainnya.

Hal ini bisa terbaca pada kutipan kanon dibawah ini: Kan. 1184 – § 1. Pemakaman gerejawi harus ditolak, kecuali sebelum meninggal menampakkan suatu tanda penyesalan, bagi:1° mereka yang nyata-nyata murtad, menganut bidaah dan skisma;2° mereka yang memilih kremasi jenazah mereka sendiri karena alasan yang bertentangan dengan iman kristiani;3°pendosa-pendosa nyata (peccatores manifesti) lain yang tidak bisa diberi pemakaman gerejawi tanpa menimbulkan sandungan publik bagi kaum beriman.

§ 2. Jika ada suatu keraguan, hal itu hendaknya dikonsultasikan kepada Ordinaris wilayah yang penilaiannya harus dituruti.

Pada kanon 1184§1 KHK 1983, tidak lagi disebutkan bahwa ada larangan untuk pelayanan rohani dan liturgis bagi mereka yang meninggal karena bunuh diri. Ini tentu sekali lagi sangat berbeda dengan adanya larangan dari kodeks lama 1917, kan. 1240§1. 3°.

Apa yang ada pada kodeks lama ini dihilangkan atau tidak lagi kita temukan pada kodeks 1983. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa jika tidak ada larangan secara yuridis maka Gereja dapat memberikan pelayanan baik rohani maupun liturgis.

Lalu pada kan.1184§2, jelas dikatakan bahwa jika ada keraguan untuk adanya pelayanan rohani dan liturgi dari para pelayan/gembala umat hendaknya dikonsultasikan pada Ordinaris Wilayah dan anjuran ORWIL menjadi pedoman yang harus diindahkan dan dituruti.

Selain catatan-catatan normatif di atas, ada juga beberapa catatan penting lain yang perlu juga menjadi pertimbangan.

Pertama, tindakan bunuh diri in se masuk dalam kategori dosa berat. Karena itu, perubahan cara pandang pada KHK 1983 tidak mengubah konsep kejahatan yang inheren dari tindakan bunuh diri. Hanya saja Gereja dewasa ini lebih melihat kasus bunuh diri dari berbagai macam aspek yang luas.

Kedua, Anima salutis est suprema lex. Keselamatan jiwa adalah hukum tertinggi (kan.1752). Kesediaan Gereja memberikan pelayanan baik rohani maupun liturgis perlu dilihat dalam spirit ungkapan ini yakni demi mendoakan keselamatan jiwa umatnya.

Ketiga, dari sisi pastoral, pelayanan liturgi dan rohani yang diberikan guna meringankan beban keluarga yang ditinggalkan.

Semoga Bermanfaat!

Berita Terkait:

5 Fakta tentang Devosi Sabtu Pertama yang Harus Kamu Ketahui

Steve Elu

Duta Besar Vatikan untuk Irak Positif, Kunjungan Paus Ke Irak dalam Bahaya

Redaksi

Protes Aborsi, Imam ini Ditangkap, Diadili dan Dipenjara

Edeltrudizh
error: Content is protected !!