Katolikpedia.id
Motivasi OMK Paus Fransiskus

Langkah-langkah dalam Proses Pembatalan Perkawinan Katolik

Aturan Cerai dalam Gereja Katolik

Katolikpedia.id – Fungsi Yudisial – kata mendiang Paus Yohanes Paulus II pada kesempatan pidatonya di Tribunal Rota Romana – adalah “bagian integral dan berkualitas dari pelayanan pastoral Gereja”.

Karena itu pelayanan yuridis proses pembatalan kasus-kasus perkawinan perlu dilihat dalam konteks “bantuan spiritual” bagi umat beriman.

Terminologi “pembatalan” perkawinan sebenarnya memuat dua hal penting. Pertama, menyangkut perbuatan yang sudah tidak berlaku sejak asalnya (“ex tunc”), karena dilakukan secara tidak teratur dan tanpa adanya atau terpenuhinya semua persyaratan hukum.

Kedua, untuk mengintervensi suatu tindakan yang sah dengan sendirinya, tetapi yang kemudian dihentikan (dan, oleh karena itu, dibatalkan) karena alasan-alasan yang muncul dan karena itu menghasilkan efek hukum hanya dari saat penghentian (“ex nunc “), sebagaimana – misalnya – terjadi dalam kasus pemberian dispensasi dari perkawinan ratum et non consumatum yang dikeluarkan oleh Paus, atau perceraian perkawinan yang dinyatakan dalam sistem hukum sipil negara.

Pengadilan Yang Kompeten

Secara umum, jika tidak direservasi ke Tahkta Apostolik, maka kasus pembatalan perkawinan diajukan di hadapan pengadilan gerejawi teritorial atau tribunal antar keuskupan instansi pertama yang berwenang untuk wilayah itu, dengan beberapa catatan berikut (bdk. MIDI kan.1672):

  • Berdasarkan alasan tempat pernikahan dirayakan;
  • Berdasarkan tempat dimana salah satu atau kedua pasangan berdomisili atau kuasi domisilinya.
  • Berdasarkan tempat di mana sebagian besar bukti akan dikumpulkan.

Adapun juga beberapa tipe dan tingkatan tribunal (pengadilan) gerejawi teritorial yang biasanya menjadi rujukan untuk kasus-kasus pembatalan perkawinan:

Tribunal teritorial instansi pertama:

  • Tribunal Keuskupan (Kan. 1419, DC art.22).
  • Tribunal antarkeuskupan instansi pertama (Kan.1423, DC.23).

Tribunal territorial instansi kedua

  • Tribunal metropolitan (kan. 1439, 431,435, DC.25).
  • Tribunal antarkeuskupan instansi kedua (kan.1439 § 1)
  • Tribunal Konferensi para Uskup (kan. 1439§2) c. Tribunal teritorial instansi ketiga

Pelaksanaan Proses Pembatalan Perkawinan

Untuk pelaksanaan proses pembatalan perkawinan, ada dua tipe prosesnya. Kita sebut saja dengan istilah ritus. Ada “ritus biasa” dan ada ritus yang “lebih pendek”

Ritus Biasa

Durasi proses untuk ritus biasa ini:12/18 bulan dan terdiri dari fase-fase berikut.

Fase Pengenalan kasus – Ini adalah fase yang memulai proses, melalui pengajuan permohonan (“libellus” kan.1502) ke pengadilan gerejawi yang kompeten atas inisiatif dari pasangan yang bersangkutan (pihak penggugat).

Libellus adalah permohonan tertulis agar kasusnya diproses dan diselesaikan oleh Pengadilan Gereja.

KHK kita menegaskan bahwa bahwa setiap orang, baik yang dibaptis maupun yang tidak dibaptis, memiliki hak mengajukan kasus untuk diproses dalam Pengadilan Gereja (kan. 1476).

Langkah praktis yang sering dilakukan adalah sebelum disampaikan kepada Pengadilan Gereja, kasus perkawinan itu sebaiknya disampaikan kepada Pastor Paroki setempat.

Setelah mendengarkan kasus yang diajukan, diharapkan pastor berusaha sedapat mungkin menyelesaikannya secara pastoral (kan. 1676). Barangkali perkawinan yang bermasalah tersebut masih dapat diselesaikan secara positif dengan rekonsiliasi.

Seandainya rekonsiliasi menemui jalan buntu, hendaknya pastor mengajak yang bersangkutan untuk mencari dan menemukan alasan yang memadai (caput nullitatis), agar kasus itu dapat diajukan ke Pengadilan Gereja.

Kembali ke Libellus. Dalam libellus harus berisikan atau dituliskan dengan jelas (Kan.1504): (1) Pengadilan Gereja yang dituju, (2) petitum (apa yang diminta), (3) causa petendi (dasar atau alasan hukum beserta kenyataan dan bukti secara umum atas apa yang diminta), (4) siapa yang meminta dan pasangannya yang dilengkapi dengan domisili serta quasi-domisili, dan (5) tempat, tanggal, bulan, dan tahun permohonan itu dibuat.

Selain itu, harus disertakan juga daftar nama para saksi yang mungkin dapat dimintai keterangan tentang cacat perkawinan yang telah disebut dalam libellus tersebut

Setelah menerima libellus, Vikaris Yudisial, jika dia yakin bahwa libellus itu ada dasarnya (fumus boni iuris), mengakuinya, memberitahukan salinannya kepada “defensor vinculi” dan – jika belum diserahkan bersama – juga kepada pasangan lainnya (pihak tergugat), untuk mengetahui posisi masing-masing tentang masalah tersebut.

Fase pembentukan kasus – Ini adalah fase di mana semua bukti dikumpulkan, yang kemudian akan memungkinkan Majelis Hakim untuk dapat mengeluarkan keputusan akhir atas keabsahan permohonan yang diajukan, menerima atau menolaknya.

Fase ini dimulai dengan sidang penggugat, kemudian dengan tergugat (kecuali tergugat memilih untuk tidak hadir dalam persidangan dan, dalam hal ini, secara resmi akan dinyatakan tidak hadir) dan, terakhir, saksi yang ditunjuk oleh para pihak.

Selain itu, misalnya dalam kasus impotensi, hakim biasanya diminta untuk menunjuk seorang ahli spesialis dalam masalah tersebut (psikolog, psikiater, ginekolog atau androlog, tergantung pada kasus spesifik yang menjadi sasaran penyelidikan yudisial), untuk menerima bantuan dan kolaborasi ilmiah dalam memahami dengan lebih baik dasar dugaan nullitas yang diajukan.

Setelah pengumpulan semua bukti selesai, ketua majelis hakim menyatakan, dengan sebuah dekrit bahwa fase ini telah selesai.

Fase diskusi – Fase ini berlangsung secara tertulis, dalam ketentuan yang ditetapkan oleh seorang hakim di tribunal (giudice istruttore), melalui penyusunan ringkasan laporan dari fase sebelumnya oleh pengacara dan defensor vinculi, lalu laporan itu dipertukarkan di antara mereka untuk melihat bersama dan menemukan elemen-elemen hukum dan fakta yang dianggap paling berguna dalam kasus yang didiskusikan.

Fase keputusan – Ini adalah fase di mana para hakim bertemu untuk mengevaluasi semua bukti yang dikumpulkan dan kemudian mengeluarkan pendapat konklusif tentang kasus yang ditangani. Pendapat akhir ini kemudian akan diberitahukan kepada pihak-pihak yang terlibat, juga kepada defensor vinculi.

Ritus “lebih Pendek” (MIDI kan.1683-1687)

Ritus “lebih pendek” ini muncul dengan lahirnya Motu Proprio “Mitis Iudex Dominus Iesus” (MIDI) dari Paus Fransiskus, yang mulai berlaku pada tanggal 8 Desember 2015.

MIDI ini hadir untuk mengurangi waktu prosedural ketika pembatalan perkawinan tampak segera terbukti. Waktu yang dibutuhkan bisa saja tidak lebih dari 3 bulan.

Proses singkat atau pendek yang dimaksud, adalah: Jika permohonan pembatalan perkawinan (Libellus) yang ditujukan ke Vikaris Yudisial, yang disertai dengan semua dokumentasi dan bukti yang diperlukan, diajukan bersama oleh kedua pasangan atau hanya oleh salah satu dari mereka tetapi tanpa pertentangan dari yang lain, maka Vikaris Yudisial; mengevaluasi, menentukan ruang lingkup investigasi kasus dan menunjuk seorang hakim investigator (yang mungkin juga Vikaris sendiri), yang dibantu oleh seorang asesor, secara bersamaan menetapkan dalam waktu yang sangat singkat sesi di mana semua pihak yang berkepentingan harus berpartisipasi.

Pada kesempatan ini, hakim investigator (giudice istruttore) yang ditunjuk akan mengevaluasi keseluruhan bukti, menetapkan tenggat waktu singkat untuk presentasi pembelaan tertulis.

Kemudian, dia akan mengirimkan semuanya kepada Uskup diosesan untuk mengambil keputusan (MIDI kan.1672). Jika sudah ada kepastian moral dan hukum tentang tidak sahnya suatu perkawinan maka Uskup diosesan akan mengeluarkan putusan yang bersifat afirmatif. Jika tidak, dia akan merujuk penyelesaian kasus pada proses ritus biasa.

Proses Naik Banding (Kan.1628-1640, MIDI kan.1680)

Di sini saya mau katakan bahwa bila majelis hakim telah sampai pada kepastian moral dan hukum tentang tidak sahnya perkawinan tersebut, maka majelis akan memberikan putusan affirmatif.

Putusan ini belum mempunyai kekuatan hukum, karenanya semua akta proses akan dikirim ke Tribunal banding.

Bila Tribunal banding meratifikasi putusan Tribunal tingkat satu, maka putusan tersebut mempunyai kekuatan hukum, karenanya yang bersangkutan bebas untuk melangsungkan perkawinan baru.

Proses naik banding merupakan fakultas dari masing-masing pihak – secara pribadi atau melalui pengacara mereka – dari pengadilan tingkat pertama ke pengadilan yang lebih tinggi untuk peninjauan kembali putusan, jika ada di antara mereka yang menganggap dirinya dibebani oleh keputusan yang tidak adil.

Hak banding yang sama diberikan kepada defensor vinculi terhadap putusan yang menyatakan pembatalan perkawinan, yang dianggapnya tidak obyektif berdasarkan unsur-unsur tertentu dan tak terbantahkan.

Dengan naik banding, pihak penggugat dan tergugat juga dapat memperkenalkan satu atau lebih alasan baru dari untuk pembatalan yang tidak ditangani sejak awal.

Referensi:

Manuel J. Arroba Conde, Diritto Processuale Canonico, Sesta edizione-Ediurcla, 2012. Manuel J. Arroba Conde & Claudia Izzi, Pastorale Giudiziaria e Prassi Processuale (nelle cause di nullità del matrimonio), San Paolo, 2017.
Motu Proprio: Mitis Iudex Dominus Iesus, 8 Desember, 2015.

Berita Terkait:

Puji Tuhan! Jokowi Akhirnya Undang Paus Fransiskus ke Indonesia

Edeltrudizh

Semua Agama Mengajarkan Umatnya Hidup Rukun dan Damai

Frater Andreas Anggit W

Hai Orang Muda, Yuk Temukan Talenta Dalam Dirimu

Redaksi
error: Content is protected !!