Katolikpedia.id – Dalam sebuah tulisan saya sebelumnya, saya sempat bilang ada istilah yang cukup dikenal di kalangan Barat yakni ‘Terorisme Islam’. Istilah ini sebenarnya adalah definisi Barat, yang telah diberikan selama beberapa dekade dalam kaitan dengan serangan yang dilakukan oleh para ekstremis atas nama agama Islam.
Tapi dalam nuansa yang lebih adem dan tenang, umat Katolik melalui Paus dalam dokumen tentang Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia yang ditandatangani di Abu Dhabi pada Februari 2019 lalu, istilah terorisme islam ini dianggap “tidak tepat” dan ada ajakan dan permintaan secara untuk tidak menggunakan ungkapan ini.
Paus Fransiskus juga dalam ensikliknya “Fratelli Tutti” mengatakan bahwa: “membangun hubungan (intrinsik) antara terorisme dan Islam – atau dengan agama lain – justru menciptakan kebingungan yang memalukan antara realitas dan tradisi spiritual.
Tradisi spiritual yang ditujukan untuk kemakmuran dan kedamaian umat manusia, alih-alih ditujukan untuk tujuan tercela dan menyimpang: “…mereka gigih menggunakan ekspresi kebencian dan tanpa mereka sadari dengan cara ini, mereka menghalangi jalan menuju dialog yang bermanfaat antara Timur dan Barat, dan sebaliknya. Mereka secara tidak sengaja, mempromosikan hasutan kebencian dan akhirnya memperburuk prasangka di antara mereka.”
Seruan perdamaian dan ajakan untuk menghapus stereotip “terorisme islam” ini tentu akan menjadi lebih punya gaung dan gema yang kuat jika kita semua turut melibatkan diri melawan semua bentuk aksi terorisme yang ada.
BACA: Tak Peduli Panas Mentari, Pemuda Ini Rela Berlutut di Tepi Jalan demi Bunda Maria
Saya membayangkan bahwa jika saat ini kita bertanya apakah para teroris itu beragama atau tidak? Saya yakin akan banyak yang menjawab bahwa mereka beragama. Dan saya rasa semua kita sepakat bahwa tiap agama mengajarkan nilai cinta kasih, damai dan menghormati kehidupan.
Teroris adalah orang-orang beragama hanya saja penghayatan mereka akan nilai-nilai luhur keagamaan itu yang keliru. Mereka jatuh pada fanatisme, intoleransi dan radikalisme. Tapi di sisi lain akan banyak juga yang menjawab bahwa mereka itu tidak beragama.
Tarikan dan tegangan dari jawaban yang berbeda ini, yang kita lihat di layar kaca kita beberapa hari terakhir dengan peristiwa aksi teror bom di Gereja Katedral Makassar dan Mabes Polri.
Jawaban yang berbeda ini tentu membuat kita tidak puas lantas bertanya mengapa?
Saya rasa ada satu dua hal yang perlu diingat disini. Yang pertama: jumlah umat Muslim di dunia adalah 1,6 miliar atau bisa saja lebih. Muslim tidak seperti Kristen atau Katolik khususnya, tidak diatur oleh institusi atau lembaga representasi tertentu.
Di Katolik ada Takta Suci-Vatikan. Adanya Vatikan ini tentu menjadi sangat berarti dan relevan. Karena ketika sesuatu terjadi dan Paus ingin berbicara atas nama Komunitas Umat Katolik, dia bisa melakukannya dan dia melakukannya dengan melayani dan mewakili umat Katolik di seluruh dunia.
Ada istilah: “Roma locuta causa finita” (Roma berbicara semuanya selesai). Ini tidak terjadi atau tidak ada dalam konteks saudara-saudari kita yang Muslim. Tidak ada lembaga atau institusi pusat yang menjadi representasi mereka untuk bersuara dan berbicara.
BACA JUGA: Teroris itu Beragama atau Tidak?
Persoalan dan kesulitan yang pertama di atas membawa kita pada soal yang kedua: bagaimana saudara-saudari kita kaum Muslim bisa mengkomunikasikan suara 1,6 miliar orang tanpa struktur kelembagaan yang terpusat, jika ada kejadian atau peristiwa seperti yang terjadi beberapa hari lalu itu? Bagaimana mungkin mereka bisa menyalurkan suara 1,6 miliar orang? Sulit. Tidak mungkin.
Pertanyaan yang sama juga bisa kita ajukan untuk kita orang Kristen. Bagaimana kita 2 miliar orang Kristen dapat menyatakan persetujuan atau kutukan, kemarahan atau kegembiraan kita jika kita tidak memiliki lembaga atau institusi yang terpusat?
Saya pikir kita harus menghargai fakta bahwa kaum Muslim ataupun juga agama-agama lain, yang tidak memiliki bentuk representasi institusional yang bisa berbicara atas nama mereka semua, terutama berkaitan dengan kecaman atau bantahan.
Akhirnya jika ada perbandingan dalam kisah atau contoh pada tulisan ini tidak berarti untuk membuat propaganda bahwa agama yang satu lebih baik dari agama yang lain, tapi hanya sebagai sebuah ajakan untuk melihat kejadian dan perbedaan yang ada secara proporsional.