Katolikpedia.id
Berita Keuskupan Agung Kupang

Sejarah Gereja St Maria Mater Dei Oepoli, yang Berusia 113 Tahun

Sejarah Paroki St Maria Mater Dei Oepoli

Katolikpedia.id – Gereja St Maria Mater Dei Oepoli merupakan salah satu paroki di ujung timur Keuskupan Agung Kupang. Secara demografi paroki ini merupakan wilayah terakhir dari Kebupaten Kupang, bahkan Negara Kesatuan Republik Indonesia, karena berbatasan langsung dengan Distrik Oeccuse, Timor Leste.

Sebelum era Presiden Joko Widodo, wilayah ini tergolong wilayah terisolir. Baru di era Presiden Jokowi Oepoli mendapat layanan listrik (2015), sinyal telpon, dan akses jalan raya yang layak menuju kota karena dilalui progam jalan Sabuk Merah: pembangunan jalan lintas batas sepanjang perbatasan darat Indonesia – Timor Leste, di Pulau Timor.

Paroki St Maria Mater Dei Oepoli mekar dari Paroki St Stefanus Naikliu, Keuskupan Agung Kupang. Mundur ke belakang, Oepoli pernah menjadi bagian dari Paroki St Maria Diangkat Ke Surga, Eban. Ketika Paroki Eban memekarkan Paroki St Bernardus Naekake, Oeopli pindah menjadi bagian dari Paroki Naekake. Dua paroki terakhir berada di bawah Keuskupan Atambua, dan bagian dari Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU).

Oepoli pindah lagi menjadi bagian dari Paroki Naikliu, setelah perbatasan antara Kabupaten Kupang dan Kabupaten TTU ditetapkan. Oepoli masuk wilayah Kabupaten Kupang. Maka, secara struktur gereja, Oepoli jadi bagian dari Keuskupan Agung Kupang.

Eksodus Timor Leste

Paroki St Maria Mater Dei Oepoli

Sejarah umat Katolik di Oepoli tak lepas dari pengalaman pahit penjajah di masa lalu. Lebih dari 100 tahun yang lalu, umat Katolik Oepoli adalah umat yang sedang berada dalam pelarian. Mereka adalah warga eksodus Timor Leste, yang di masa itu kalah perang melawan penjajah Portugis di Oeccuse.

Ketika itu, warga yang mayoritas beragama Katolik (diterima dari orang dan imam Portugis), menghadapi kerja paksa yang sangat berat. Karena itu, mereka memberontak dan melawan Portugis, yang sudah menjajah di ujung timur Pulau Timor itu sejak 1512.

Namun, perlawanan masyarakat lokal di bawah komando Raja Oeccuse, Joao da Crus (bersama para panglima perang atau Jintera) tak membuahkan hasil. Mereka kalah alat perang sehingga harus menyingkir untuk menyelamatkan diri. Raja Joao da Crus bersama warganya melakukan pelarian ke arah barat Pulau Timor, pada 1911.

BACA: Romo Leo Mali Raih Gelar Doktor Filsafat di Roma

Romo Beatus Nino yang pernah bertugas di Paroki St Mater Dei Oepoli menceritakan, dalam pelarian kala itu, umat hanya membawa barang-barang seadanya. Yang lebih mereka utamakan adalah barang-barang sakral dan dianggap suci menurut ajaran Gereja Katolik. Misalnya, Patung Bunda Maria, Patung Yesus, Kitab Suci, dan buku-buku doa.

Di Oepoli, para Jintera kemudian mengantar Raja Joao da Crus menemui Raja Amfoang kala itu, Willem Tafin Talnoni, untuk membicarakan sejumlah kesepakatan agar rakyat Oecusse dapat diterima dalam wilayah Kerajaan Amfoang.

Raja Amfoang pun memberikan sebuah rumah yang letaknya berhadapan dengan istananya untuk ditempati Joao da Crus beserta kerabat dan pelayananya. Dan petunjuk dari Raja Amfoang, warga eksodus tinggal tersebar dari Oepoli hingga Naikliu. Temasuk para Jintera tinggal dan menetap di Bilaos.

Di Oepoli, warga eks Oeccuse tidak meninggalkan iman kekatolikan mereka. Seorang guru agama, bernama Albino Parera terus memimpin ibadat dan doa Katolik untuk umat di Oepoli dan umat eks lainnya yang tersebar. Dikisahkan, Albino Parera memiliki suara merdu dan pandai memimpin doa dalam bahasa Latin dan Portugis.

“Para pengungsi dari Oecusse boleh meninggalkan kampung halamannya, namun tiap individu merupakan bagian dari Gereja yang hidup dan terus bertahan untuk menghidupi imannya dengan tata cara Gereja Katolik,” ujar Romo Bento, nama karib Romo Beatus Nino.

Para pendatang dari Oecusse, umumnya disebut Kasemetan, yang kemudian dikenal dengan Suku Kasemetan. Metan adalah kata sifat yang menerangkan kata benda Kase, mengandung arti hitam. Jadi, Kasemetan berarti orang asing berkulit hitan atau orang hitam yang berpendidikan dan memiliki pandangan yang luas.

Romo Bento mengatakan, satu hal penting dalam sejarah religiositas warga Kasemetan adalah membuat kapela di mana mereka tinggal. Di Oepoli sendiri dibangun sebuah kapela sederhana untuk beribadat, yang dipimpin guru agama Albino Parera.

Di belakang altar besar kapela, dipancangkan sebuah salib besar yang dibawa dari Oecusse saat mengungsi 1911. Di atas altar itu, diletakkan patung Bunda Maria dan patung- patung orang kudus lainnya, seperti St Antonius Padua dan Patung Santa Anna (senhor partum).

Paroki Mama Dei Oepoli

100 Tahun

Pada 2011, umat Katolik di Paroki Mama Dei – sebutan singkat untuk Paroki – Gereja St Maria Mater Dei Oepoli – merayakan 100 tahun umat Katolik di Oepoli. Perjalanan satu abad tersebut ditandai dengan Misa syukur, dipimpin Uskup Agung Kupang, Mgr Petrus Turang.

Saat perayaan satu abad Gereja Katolik di Oepoli, Romo Bento masih bertugas sebagai Kepala Paroki Mama Dei Oepoli. Dan, perayaan satu abad ini jadi momen meriah sekaligus refleksi atas perjalanan iman umat Oepoli hingga sekarang.

Perayaan syukur satu abad Gereja di Oepoli dirayakan pada 25 Oktober 2011. Dan tahun ini, 2024, Gereja Katolik di Oepoli berusia 113 tahun.

Berkat Paus Fransiskus

Dalam momen perayaan 100 tahun Gereja Katolik Oepoli, Mgr Turang juga menyampaikan berkat dari Paus Fransiskus untuk umat di Oepoli.

Berkat dan doa dari Bapa Suci itu dititipkan melalui Uskup Turang, saat keduanya berjumpa di Vatikan beberapa waktu sebelumnya.

Berkat dan doa tersebut tentunya menjadi penyemangat dan penguat iman umat Katolik Paroki St Mama Dei Oepoli untuk terus bertumbuh dalam kasih.

Harapannya, dengan bertambahnya usia, iman umat di sana semakin mengakar sehingga Kerajaan Allah bisa terwujud.

Romo-romo yang pernah bertugas di Gereja St Maria Mater Dei Oepoli:

  1. Pater Paul Gootee SVD, seorang misionaris andal di Tanah Timor. Ia berasal dari Chicago, Amerika Serikat. Ia meninggal pada Rabu, 10 Februari 2021, di tanah kelahirannya, pada usia 93 tahun.
  2. Pater Bernard Kock SVD, seorang misonaris yang lama bertugas di Paroki Naekake dan Stasi Oepoli.
  3. Pater Wolfgang Jeron SVD, misionaris asal Jerman. Ia meninggal pada 23 Juli 2013 di Novisiat SVD Timor, Nenuk, Atambua, NTT.
  4. Romo Daniel Afoan, imam dioses Keuskupan Agung Kupang yang bertugas di Pastor Paroki St Stefanus Naikliu, namun lebih banyak tinggal di Stasi Oepoli. Saat itu, Gereja Oepoli masih berstatus stasi dari Paroki Naikliu. Romo Danel meninggal pada 10 Desember 20123
  5. Romo Andreas Sika
  6. Romo Alex Rusae
  7. Romo Hilers Penga dan Romo Rino
  8. Romo Beatus Nino dan (alm) Romo Gusti Bastian
  9. Romo Yoseph Binsasi, Romo Januario Gonzaga (SMPK San Daniel – saat ini menjalani studi Hukum Gereja di Roma, Italia), Romo Fransiskus Xaverius Paut (Stasi St Petrus Tataum – pindah tugas ke Kupang), Romo Martin Senda (Stasi Talo’I dan SD Katolik Bokos); Romo Gregorius Naikofi (SMPK San Daniel)

Sumber: kupang.tribunnews.com; Foto: Adelina Ngode Parany

Berita Terkait:

Moderasi Beragama untuk Wartawan Katolik dan Pimpinan Penerbit Katolik

Redaksi

Mengapa Kita Harus Membaca Alkitab? Ini Jawaban Paus Fransiskus

Redaksi

Memahami Motu Proprio “Traditionis Custodes” tentang Misa Latin

Dr. Doddy Sasi CMF
error: Content is protected !!