Katolikpedia.id – Seiring dengan perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi semakin maju, membawa banyak kemudahan dalam kehidupan sehari-hari.
Banyak hal yang dulunya rumit kini menjadi instan dan efisien. Namun, di balik kemudahan ini, terdapat fenomena yang mengkhawatirkan: hati manusia seolah semakin bebal, dan nurani semakin tertutup.
Dalam era digital ini, banyak individu lebih memilih untuk mempublikasikan kesedihan orang lain demi mengejar popularitas di media sosial, daripada memberikan uluran tangan yang tulus.
Di tengah kesulitan yang dihadapi oleh sesama, kita sering kali melihat dua pilihan: memberikan bantuan secara langsung atau merekam momen tersebut dengan gadget.
Sayangnya, pilihan kedua sering kali lebih dipilih. Banyak orang lebih tertarik untuk mengabadikan penderitaan orang lain dan membagikannya di platform media sosial demi mendapatkan “likes” dan “views”.
Meskipun tindakan ini bisa menjadi saluran berkat bagi yang membutuhkan, sering kali hal ini justru berbalik menjadi bumerang bagi penerima bantuan. Bukankah seharusnya kita lebih fokus pada tindakan nyata ketimbang sekadar menjadi penonton dalam drama kehidupan orang lain?
Kebebalan Manusia dan Kebebalan Bangsa Israel
Kebebalan manusia zaman sekarang dapat dibandingkan dengan kebebalan bangsa Israel yang tercatat dalam kitab suci. Dalam Keluaran 14:11-12, bangsa Israel menunjukkan sikap keras kepala dan enggan mendengarkan perintah Tuhan, meskipun mereka telah menyaksikan banyak mukjizat.
Mereka mengeluh kepada Musa, mengambil keputusan untuk meninggalkan Mesir dan lebih memilih menjadi hamba daripada menghadapi kesulitan di padang gurun. Lalu mereka berkata kepada Musa: ‘Apakah karena tidak ada kuburan di Mesir, maka Engkau membawa kami untuk mati di padang gurun?
Apa yang telah Engkau buat kepada kami, dengan membawa kami keluar dari Mesir? bukankah kami telah memberitahukanmu di Mesir, Biarkanlah kami bekerja untuk orang Mesir; karena lebih baik kami menjadi hamba orang Mesir daripada mati di padang gurun ini?'”
Dalam konteks saat ini, banyak individu yang mengabaikan suara hati mereka sendiri dan lebih memilih untuk mempercayai kecerdasan buatan (AI) dalam mengambil keputusan.
Seperti bangsa Israel yang menolak petunjuk Tuhan, manusia modern sering kali lebih fokus pada kepentingan pribadi dan pengakuan di media sosial daripada mendengarkan nilai-nilai moral yang seharusnya menjadi pedoman hidup.
Mereka cenderung mengejar sensasi dan popularitas, mengabaikan empati dan kasih sayang terhadap sesama.
Kecenderungan ini menciptakan jarak antara manusia dan hati nurani mereka, menjadikan mereka lebih seperti penonton dalam drama kehidupan orang lain dibandingkan menjadi pelaku yang berkontribusi positif.
Dalam dunia yang semakin dipenuhi oleh teknologi dan instan, penting untuk memikirkan kembali nilai-nilai kemanusiaan kita dan berusaha untuk tidak terjebak dalam kebebalan informasi yang sama seperti bangsa Israel di masa lalu.
AI: Alat atau Ancaman?
Kecerdasan buatan (AI) kini menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan kita. Dari pekerjaan hingga hiburan, AI menawarkan berbagai kemudahan.
Namun, penting untuk diingat bahwa AI adalah alat yang tidak memiliki hati nurani atau perasaan. Ia beroperasi berdasarkan algoritma dan data tanpa mempertimbangkan aspek emosional dan moral.
Sebaliknya, manusia memiliki kemampuan untuk merasakan empati, belas kasihan, dan cinta. Dalam menghadapi perkembangan teknologi yang pesat ini, kita harus memastikan bahwa sisi kemanusiaan kita tetap terjaga.
Saat melihat seseorang dalam kesulitan, fenomena modern menunjukkan bahwa banyak orang lebih memilih untuk mengarahkan kamera gadget mereka daripada memberikan bantuan langsung.
Ini mencerminkan perubahan dalam hati nurani manusia di mana popularitas di dunia maya lebih diprioritaskan daripada tindakan nyata yang penuh belas kasih.
Padahal, apa yang dibutuhkan oleh mereka yang menderita adalah uluran tangan yang tulus, bukan sekadar menjadi objek konten viral.
Di tengah perkembangan teknologi dan informasi yang pesat, tantangan moral semakin kompleks. Hal ini mengharuskan kita untuk memikirkan kembali nilai-nilai kemanusiaan dan menghindari kebebalan yang sama seperti yang dialami bangsa Israel di masa lalu.
Fokus pada empati dan tindakan nyata sebagai agen perubahan positif sangatlah penting, terutama dalam mengulurkan tangan kepada mereka yang membutuhkan, bukan sekadar merekam kesedihan mereka untuk kepuasan diri.
Seruan Paus Fransiskus sejalan dengan pemikiran ini, di mana ia menekankan perlunya refleksi etis dalam penggunaan teknologi.
Paus Fransiskus mengingatkan bahwa teknologi harus digunakan untuk melayani kemanusiaan dan melindungi lingkungan, serta tidak memperdalam ketidakadilan sosial.
Ia menekankan pentingnya pendidikan yang lebih luas mengenai nilai-nilai kemanusiaan untuk menghadapi tantangan yang ditimbulkan oleh kemajuan teknologi.
Dalam konteks ini, peran katekis menjadi sangat krusial. Katekis tidak hanya bertugas mengajarkan ajaran Gereja, tetapi juga menjadi teladan dalam menerapkan nilai-nilai Kristiani di era digital.
Katekis dapat membantu umat memahami prinsip-prinsip moral dalam penggunaan teknologi dan mendorong tindakan nyata dalam aksi sosial, seperti membantu kaum marginal yang terpinggirkan oleh lingkungan maupun kemajuan teknologi yang begitu pesat
Dengan demikian, katekis berfungsi sebagai penghubung antara ajaran Gereja dan tantangan modern, serta mengajak umat untuk aktif berkontribusi dalam menciptakan perubahan positif.
Seruan Paus Fransiskus maupun peran katekis menekankan pentingnya tanggung jawab sosial dan moral dalam menghadapi tantangan zaman, sehingga teknologi dapat digunakan untuk kebaikan bersama dan kemanusiaan tetap menjadi pusat perhatian.