Katolikpedia.id – Minggu, 28 Maret 2021, sekitar pukul 06.30 pagi waktu Roma-Italia, handphone saya bergetar beberapa kali. Sudah pasti, ada pesan yang masuk di aplikasi whatsApp saya. Saya buka. Ada beberapa pesan ucapan Selamat Hari Minggu dan ada juga beberapa video singkat yang berdurasi kurang dari satu menit.
Pikir saya pasti video ucapan selamat hari Minggu atau video lagu sorak-sorai ketika Yesus Sang Raja Damai, memasuki Yerusalem. Tapi ternyata bukan. Saya menonton beberapa video itu sampai selesai.
Ternyata video-video itu adalah potongan video serangan bom bunuh diri di depan Gereja Katedral Makasar. Mengerikan juga menonton sampai selesai video-video itu. Reaksi spontan saya waktu itu adalah mengutuk perbuatan barbar tak berperikemanusiaan itu.
Minggu, 28 Maret 2021, bagi umat katolik adalah hari minggu palma, hari dimana semua umat katolik diajak untuk menyambut sang raja damai dan masuk lebih dalam untuk merenungkan kisah sengsara Yesus.
Ada kisah sengsara di Salib hingga kisah kebangkitan direnungkan dalam pekan yang suci ini. Tapi dengan peristiwa bom bunuh diri di depan Gereja Katedral Makasar ini sungguh bagai sebuah peristiwa salib yang harus kami pikul dan pikul lagi. Dan sebagai bagian dari “anak-anak ter-salib” yang “mencintai salib” saya terdorong untuk berbagi rasa dalam sebuah tulisan sederhana ini.
Dalam konteks pekan suci, saya sengaja mengawali tulisan ini dengan satu dua sentuhan uraian tentang salib. Anggap saja renungan bagi saudara-saudariku pencinta salib di masa penuh hening ini.
Pada tahun 2008 lalu, saat mengawali rangkaian Katekese tentang Pertobatan Santo Paulus, Paus Benediktus XVI, mengawali renungannya dengan mengatakan bahwa: dalam pengalaman pribadi Santo Paulus ada satu file hidup yang tak terbantahkan yakni Paulus yang awalnya adalah seorang penganiaya dan pembenci orang-orang Kristen, dengan pertobatannya dalam perjalanan ke Damaskus, menjadi seorang pencinta radikal akan Kristus.
Pengalaman perjumpaan Paulus dengan Kristus ini memiliki dua sisi reflektif akan makna sentral Salib Yesus bagi Paulus. Yang pertama sisi universal: Yesus benar-benar mati untuk semua orang, dan yang kedua sisi subjektivitas: Dia (Yesus) juga mati untuk saya.
Adapun satu penggalan teks Kitab Suci yang dikutip: “Sebab pemberitaan tentang salib memang adalah kebodohan bagi mereka yang akan binasa, tetapi bagi kita yang diselamatkan pemberitaan itu adalah kekuatan Allah” (1 Kor. 1:18); “Orang-orang Yahudi menghendaki tanda dan orang-orang Yunani mencari hikmat, tetapi kami memberitakan Kristus yang disalibkan: untuk orang-orang Yahudi suatu batu sandungan dan untuk orang-orang bukan Yahudi suatu kebodohan, tetapi untuk mereka yang dipanggil, baik orang Yahudi, maupun orang bukan Yahudi, Kristus adalah kekuatan Allah dan hikmat Allah.” (1 Kor. 1:22-24).
Kutipan ayat-ayat ini saya tampilkan bukan untuk dinterpretasi secara eksegetis tapi mari kita baca lalu cukup untuk direnungkan.
Kata “salib” memang tidak selalu disandingkan dengan kata atau kalimat yang persuasif tapi lebih pada yang paradoks, misalnya dalam tulisan Paulus bisa ditemukan pula 2 kata yang sering disandingkan dengan kata “Salib” yakni: Skandal dan Kebodohan.
Tapi menarik bagi saya bahwa kata Salib itu mendapat makna dan kekuatan yang sesungguhnya ketika ada kegagalan, ada rasa sakit, ada kekalahan dan ada hinaan sebab disitulah terkristalisasi kekuatan cinta Tuhan yang tak terbatas.
Salib adalah ungkapan cinta dan kasih yang tak terbatas. Dengan peristiwa bom bunuh diri yang terjadi kemarin, rasa cinta dan kasih kita ditantang. Kedewasaan iman kita diuji. Membalas tidak perlu. Mendoakan pasti. Terpancing juga tidak perlu.
Kita ke bom bunuh diri di depan Gereja Katedral Makasar. Kita semua pasti sepakat bahwa aksi bom bunuh diri ini adalah aksi para teroris. Kita semua juga pasti mengecam dan mengutuk aksi terorisme ini. Kecaman dan kutukan kita tidak berarti untuk membuat propaganda melawan agama tertentu sebab setiap agama tidak mengakui kekejaman, kejahatan ataupun kebencian. Tiap agama mengajarkan nilai kasih, cinta dan damai.
Tapi dalam tiap aksi bom bunuh diri membuat kita sulit untuk memisahkan aksi terorisme dengan agama. Ada ungkapan: “The terrorist has not religion”. Teroris itu tidak beragama.
Ungkapan ini bisa saja benar tapi bisa juga salah. Untuk yang benarnya, ada contohnya: kita cek saja KTP mereka pasti tertulis dengan jelas mereka menganut agama tertentu. Atau ada yang sebelum melakukan aksi bom bunuh diri justru meneriakkan pekikan khas tertentu.
Mereka beragama hanya saja penghayatan mereka akan nilai-nilai luhur keagamaan itu yang keliru. Mereka jatuh pada fanatisme, intoleransi dan radikalisme. Kalau salahnya, kita tambahkan sendiri saja.
Lalu sudah lama juga kita mendengar adanya istilah ‘Terorisme Islam’. Istilah ini adalah definisi Barat, yang telah diberikan selama beberapa dekade dalam kaitan dengan serangan yang dilakukan oleh para ekstremis atas nama agama Islam.
Tapi dalam Dokumen Paus tentang Persaudaraan Manusia untuk Perdamaian Dunia yang ditandatangani di Abu Dhabi pada Februari 2019 lalu, istilah ini dianggap “tidak tepat” dan ada ajakan dan permintaan secara untuk tidak menggunakan ungkapan ini. Atau ada juga kutipan dari Ensiklik terakhir Paus Fransiskus “Fratelli Tutti”: “membangun hubungan (intrinsik) antara terorisme dan Islam – atau dengan agama lain – justru menciptakan kebingungan yang memalukan antara realitas dan tradisi spiritual.
Tradisi spiritual yang ditujukan untuk kemakmuran dan kedamaian umat manusia, alih-alih ditujukan untuk tujuan tercela dan menyimpang: “…mereka gigih menggunakan ekspresi kebencian dan tanpa mereka sadari dengan cara ini, mereka menghalangi jalan menuju dialog yang bermanfaat antara Timur dan Barat, dan sebaliknya. Mereka secara tidak sengaja, mempromosikan hasutan kebencian dan akhirnya memperburuk prasangka di antara mereka”.
Saya cuma mau bilang bahwa peristiwa di Makasar kemarin dan di beberapa tempat lain dulu, perlu menjadi autokritik untuk agama-agama atau agama tertentu agar membersihkan virus ganas terorisme yang sudah terlalu jauh beririsan dalam rana agama.
Saya akhiri tulisan ini dengan sebuah kisah :“suatu ketika ada seorang wisatawan berkata kepada pemandunya: “saudara dapat berbangga atas kota saudara. Saya amat terkesan melihat begitu banyak rumah ibadah di kota ini. Tentu orang-orang disini sangat mencintai Tuhan.”
‘Entahlah,’ jawab si pemandu dengan sinis, ‘mungkin mereka mencintai Tuhan, tetapi yang jelas mereka saling membenci setengah mati.’
Kisah ini mengingatkanku akan seorang gadis kecil yang pernah di tanya: “Orang KAFIR itu siapa?” Ia menjawab:”Orang KAFIR adalah orang yang tidak bertengkar, tidak membenci atau tidak membunuh karena agama.”