Katolikpedia.id
Berita

Ini Bagian-bagian yang Diperbarui Dalam Buku VI KHK 1983

Pembaruan-Buku-VI-KHK-1983

Katolikpedia.id – Pada 23 Mei 2021 melalui Konstitusi Apostolik “Pascite Gregem Dei” (Gembalakanlah kawanan domba Allah, 1 Ptr 5:2), Paus Fransiskus menyetujui pembaruan Buku VI Kitab Hukum Kanonik, tentang Sanksi Pidana dalam Gereja. Buku VI KHK kita ini hanya memiliki 89 kanon, dibandingkan dengan 220 kanon pada kodeks lama KHK 1917. Pada pembaruan yang sekarang ini jumlah kanonnya tetap sama yakni 89 kanon (1311-1399), hanya ada penambahan jumlah paragraf pada beberapa nomor kanon yang ada.

Ketetapan pembaruan ini sudah mulai berlaku sejak tanggal 8 Desember 2021. Ada satu ajakan yang dikemukakan pada salah satu paragraf dari dokumen “Pascite Gregem Dei” ini yakni:

”…agar setiap orang dapat dengan mudah memahami ketentuan yang dimaksud…”, sebab “menaati disiplin sanksi pidana dalam Gereja adalah kewajiban bagi seluruh Umat Allah, yang mana tanggung jawab untuk penerapannya yang benar secara khusus dimiliki oleh para Gembala dan Pemimpin dari masing-masing komunitas. Ini adalah tugas yang dengan cara apa pun tidak dapat dipisahkan dari tugas pastoral yang dipercayakan kepada mereka, dan itu harus dilakukan sebagai sebuah kebutuhan nyata yang tidak dapat dilepas dari cinta kasih, tidak saja terhadap Gereja, komunitas Kristen dan setiap korban, tetapi juga terhadap mereka yang telah melakukan kejahatan, yang membutuhkan belas kasihan dan penilaian dari Gereja”.

Dalam bagian Buku VI yang baru ini, tetap dipertahankan tiga tujuan penting dari sistem peradilan dan penerapan sanksi pidana dalam Gereja, yakni: memperbaiki sandungan, memulihkan keadilan dan memperbaiki pelaku pelanggaran.

Ketiga tujuan ini sebenarnya sudah ada pada Kan.1341:” Ordinaris hendaknya baru mengusahakan prosedur peradilan atau administratif untuk menjatuhkan atau menyatakan hukuman, hanya ketika ia menilai bahwa baik peringatan persaudaraan maupun teguran atau sarana-sarana keprihatinan pastoral lain tidak mencukupi lagi untuk memperbaiki sandungan, memulihkan keadilan dan memperbaiki pelaku pelanggaran”.

Struktur buku

Buku baru ini mempertahankan struktur Buku VI sebelumnya dengan pembagian menjadi dua bagian: yang pertama membahas tentang tindak pidana dan hukuman pada umumnya (delitti e pene in genere), dan yang kedua membahas soal kejahatan individual dan hukuman-hukuman yang dikenakan (singoli delitti e delle pene costituite per essi).

Setiap bagian dibagi menjadi beberapa judul dengan total keseluruhan 89 kanon. Jumlah judul sesuai dengan buku tahun 1983, tetapi dalam beberapa kasus, terutama di Bagian II, judul yang disebut judul berubah, perubahan yang dimotivasi oleh kebutuhan untuk membuat judul lebih relevan dengan isi kanon yang tercantum di bawahnya.

Dengan demikian Judul I dari Bagian II berubah dari “tindak pidana melawan agama” menjadi “tindak pidana melawan iman”, Judul III, juga dari Bagian II, berubah dari “Penyalagunaan jabatan-jabatan gerejawi dan tindak pidana dalam melaksanakannya” menjadi “tindak pidana melawan sakramen-sakramen”, lalu Judul VI “tindak pidana melawan kehidupan dan kebebasan manusia” ditambah dengan ungkapan “tindak pidana melawan martabat” dan dengan demikian menjadi “tindak pidana melawan  kehidupan, martabat dan kebebasan manusia”. Perubahan lain, terkait dengan pemindahan kanon-kanon tertentu dari satu bab ke bab lainnya.

Isi yang terbaru

Pada bagian pertama, yang berbicara tentang tindak pidana dan hukuman pada umumnya terdiri dari 53 kanon, tapi ada sejumlah perubahan penting telah dibuat, misalnya:

1) § 2 dari kanon 1311, sebagai kanon yang membuka Buku VI ini, adalah tambahan baru. Buku ini merangkum isi Konstitusi Apostolik dan menawarkan beberapa kriteria untuk menafsirkan aturan-aturannya. Bunyinya sebagai berikut:

“Dia yang memimpin Gereja, harus menjaga dan memajukan kebaikan komunitas yang sama dan umat beriman secara individu, dengan amal pastoral, dengan teladan hidup, dengan nasihat dan nasihat dan, jika perlu, juga dengan menjatuhkan atau menyatakan hukuman, sesuai dengan ajaran hukum, yang harus selalu diterapkan dengan keadilan kanonik, dan dengan mengingat pemulihan keadilan, pemulihan pelaku pelanggaran dan memperbaiki sandungan”.

Paragraf yang dikutip dimaksudkan untuk mengingatkan kembali meski dalam bahasa yang berbeda, isi kanon 2214 § 2 dari Kodeks Pio-Benediktin (Kodeks 1917) yang mengambil dasarnya dari teks- teks klasik Konsili Trente.

2) Pada kanon 1321 diperkenalkan sebuah paragraf yang menegaskan prinsip yang telah disebutkan yang mendasari semua sistem hukum: “Setiap orang dianggap tidak bersalah sampai terbukti sebaliknya”.

Prinsip ini terkait juga dengan prinsip terkenal lainnya: in dubio pro reo yang sudah ada dalam hukum Romawi dan diambil pada Abad Pertengahan oleh Bonifasius VIII.

Asas praduga tak bersalah berlaku sampai terdakwa dijatuhi hukuman akhir yang definitif. Dan untuk menjatuhkan hukuman apapun, diperlukan kepastian moral dalam pikiran hakim tentang apa yang harus diputuskannya, suatu kepastian yang harus diambilnya dari akta dan apa yang telah terbukti, mengevaluasi bukti-bukti menurut hati nuraninya, dengan tetap mengindahkan ketentuan-ketentuan hukum. Jika ia tidak dapat mencapai kepastian itu, ia harus membebaskan si terdakwa (bdk. Kan. 1608).

Berdasarkan prinsip ini, setiap penyebarluasan informasi yang tidak pantas atau tidak sah kepada publik yang dapat merugikan perkembangan persidangan selanjutnya atau memberi kesan bahwa fakta-fakta atau kesalahan terdakwa yang bersangkutan telah ditetapkan secara pasti, harus dihindari sebelum putusan akhir.

Kebaruan tentang Hukuman

Perbedaan klasik antara hukuman censura (1331-1335) dan hukuman silih (1336-1338) tetap dipertahankan. Kriteria proporsionalitas hukuman juga ditegaskan, “hakim dalam menentukan hukuman harus memilih hukuman yang proporsional dengan skandal atau tindak kejahatan yang dilakukan” (bdk. kan 1349). Ini berkaitan erat dengan tujuan dari hukum pidana itu sendiri yakni, tujuan medisinal, amandemen pelaku, perbaikan skandal dan pemulihan ketertiban dalam komunitas gerejawi (bdk. kan.1311§2).

Berkenaan dengan hukuman censura, khususnya suspensi, yang sebelumnya hanya diperuntukkan bagi para klerus, dalam kanon 1333 yang baru, suspensi juga berlaku bagi umat beriman lainnya, dalam hal ini bagi kaum awam yang  memegang jabatan gerejawi. Selain itu, otoritas yang berwenang, yang menjatuhkan atau menyatakan hukuman censura, juga diberi kuasa untuk menjatuhkan hukuman silih, yang dianggap perlu untuk memulihkan keadilan atau memperbaiki skandal (Kanon 1335§ 1).

Mengenai hukuman silih (pene espiatorie)

Tentang hukuman silih telah dirumuskan kembali dengan baik agar lebih mudah untuk diterapkan dan, di atas segalanya, untuk memberikan kemudahan kepada Ordinaris kemungkinan memilih yang paling tepat dalam kasus konkret (lih. kan. 1336).

Hukuman silih ini, dapat mengenai secara tetap atau untuk jangka waktu yang telah ditentukan atau yang tidak ditentukan, berupa: perintah, larangan, pencabutan, hingga dan termasuk, pemecatan dari status klerikal, untuk kaum klerus.

Dan yang menjadi catatan bersama ialah adanya kemungkinan baru bahwa para pelanggar, baik klerus atau awam, dapat dihukum dengan membayar denda atau sejumlah uang untuk keperluan Gereja atau bahkan dicabut semua atau sebagian dari upah gerejawinya, menurut peraturan yang ditetapkan oleh Konferensi Waligereja, tanpa mengurangi kewajiban, dalam hal klerus, untuk menyediakan penghidupannya yang layak (lih. kan. 1350§ 1).

Ketentuan juga dibuat untuk kemungkinan menjatuhkan hukuman larangan bersuara aktif atau pasif dalam pemilihan kanonik, berpartisipasi dengan hak pilih dalam dewan dan kolese gerejawi, dan mengenakan busana gerejawi atau religius.

Remidium Poenale dan Penitensi (kan. 1339-1340)

Selain dari hukuman-hukuman, legislator memberikan kemungkinan kepada Ordinaris untuk menegur mereka yang berada dalam posisi melakukan pelanggaran atau mengoreksi dengan tepat mereka yang menyebabkan skandal atau sandungan dengan perilaku mereka. Kalau teguran atau koreksi itu tidak efektif, Ordinaris harus memberikan hukuman yang menunjukkan dengan jelas dan tepat apa yang harus dilakukan atau apa yang harus diabaikan (bdk. Kan. 1339 § 4).

Juga diatur bahwa Ordinaris, dengan sebuah dekrit tunggal, dapat melakukan pengawasan terhadap siapa saja yang terancam bahaya untuk jatuh kembali ke dalam kejahatan (bdk. Kan. 1339 § 5). Baik aturan dan pengawasan yang ditetapkan sebagai tindakan yang harus dilakukan oleh Ordinaris, dimaksudkan agar dengan kekuasaannya ia dapat mencegah orang untuk melakukan kejahatan dan menghindarkan dari skandal.

Menjatuhkan Hukuman (kan.1341-1353)

Kemungkinan untuk menjatuhkan hukuman dengan sebuah dekrit ekstra-yudisial tetap dipertahankan, yakni pada akhir proses pidana administratif sebagai pengganti pengadilan yudisial, ketika alasan-alasan yang adil menentang prosesnya. Namun demikian, secara eksplisit ditegaskan kembali bahwa bahkan dalam prosedur ini hak pembelaan harus dihormati dan Ordinaris, untuk mengeluarkan keputusan, harus mencapai kepastian moral yang sama yang dituntut dari hakim dalam proses peradilan, ex actis et probatis (lih. Kan. 1342 §1).

Berhentinya Hukuman (kan.1354-1363)

Salah satu cara berhentinya hukuman adalah dengan adanya aturan tentang pembatasan pengaduan atau penuntutan (pidana). Mengenai ketetapan ini, kanon 1362 yang baru menyediakan dua kebaruan yang sangat berarti, yakni: pertama, menyangkut waktu dan kedua, soal penangguhan aturan pembatasan.

Untuk kejahatan-kejahatan tertentu, yang dianggap sangat serius oleh badan legislatif, misalnya yang berkaitan dengan kejahatan-kejahatan terhadap Perintah Keenam, pelecehan seksual dan pelanggaran-pelanggaran yang menyebabkan kerusakan pada harta benda ekonomi dari komunitas, (lih. kanon 1376, 1377, 1378, 1393, § 1, 1394, 1395, 1397, 1398, § 2 dibatasi waktu tidak lagi dalam tiga tahun, tetapi dalam tujuh tahun. Aturan dalam m.p. Sacramentorum Sanctitatis Tutela (=SST) tetap tidak berubah, yang menyatakan bahwa pelanggaran yang berada dalam yurisdiksi Kongregasi untuk Ajaran Iman (=DDF) ditentukan dalam 20 tahun, dan dalam kasus pelecehan anak di bawah umur, waktu mulai berjalan sejak korban berusia 18 tahun.

Kebaruan pada masing-masing tindak pidana.

Tema ini ada pada Bagian II Buku VI (1364-1399). Adapun judul baru dari Bagian II ini: “Kejahatan-kejahatan individual dan hukuman yang dikenakan untuknya” (judul sebelumnya “hukuman atas masing-masing tindak pidana”). Dan Bagian II ini terdiri dari 36 kanon (1364- 1399). Berkenaan dengan kejahatan-kejahatan individual, ada beberapa kebaruan dalam Buku VI yang baru ini. Salah satu kejahatan yang dimasukan dalam teks baru Buku VI ini adalah kejahatan yang menyebabkan kerusakan dan skandal dalam komunitas gerejawi, terutama pada bidang pengelolaan dan administrasi harta benda duniawi.

Paus dengan jelas menegaskan kembali bahwa “transparansi mutlak dari tiap aktivitas institusional Gereja, terutama di bidang ini harus dihormati…, dan sikap semua pemegang jabatan di bidang ini dan semua yang terlibat dalam pengelolaan harta benda harus selalu menjadi teladan”.

a) Kejahatan-kejahatan yang sudah diatur dalam aturan-aturan khusus dan sekarang dimasukkan dalam Bagian II Buku VI KHK 1983:

  • Kejahatan terhadap rahasia kepausan (lih.kan.1371 § 4);
  • Kelalaian untuk melaporkan suatu pelanggaran yang diwajibkan oleh hukum (kan. 1371 § 6);
  • Penahbisan seorang wanita: baik orang yang telah mencoba memberikan tahbisan suci kepada seorang wanita maupun si wanita yang telah mencoba menerima tahbisan suci dikenakan ekskomunikasi latae sententiae yang diperuntukkan bagi Takhta Apostolik; lebih jauh lagi, jika klerus maka ia dapat dihukum dengan pemecatan dari status klerusnya (lih. Kan. 1379 § 3);
  • Pelaku konsekrasi sakrilegius dari satu materi atau keduanya dalam perayaan Ekaristi, atau di luarnya; dalam kasus ini hukuman yang diberikan harus proporsional dengan keseriusan pelanggaran yang dilakukan dan bisa sampai pada pemecatan dari status klerus (lih. kan. 1382 § 2);
  • Kejahatan dari siapa saja yang, dengan sarana teknologi apa pun, dimana dengan niat jahat merekam atau menyebarkan, melalui media, hal-hal yang dikatakan oleh bapa pengakuan atau peniten dalam sakramen pengakuan, baik yang benar maupun yang direkayasa; dalam kasus ini juga, hukumannya harus sebanding dengan keseriusan kejahatan itu dan bisa sampai pada pemecatan dari jabatan klerus, bila itu dilakukan oleh seorang klerus (lih. Kan. 1386 § 3).

b) Adapun kejahatan-kejahatan baru yang ada pada Buku VI ini.

Disampaikan pula bahwa ada hukuman yang adil, dengan tidak mengecualikan pencabutan jabatan, dan harus diwajibkan untuk mengganti kerugian, barangsiapa:

  • Yang melalui kesalahan berat tanpa konsultasi, persetujuan atau izin yang ditentukan, atau tanpa persyaratan lain yang diwajibkan oleh hukum untuk validitas atau licietas, mengalih milikan  harta benda milik gereja atau melakukan tindakan pengelolaan di atasnya; formulasi norma ini cukup luas sebab kasus-kasus yang ada dapat saja (kan. 1376 § 1, 2; lih. juga kan. 1321 § 3);
  • Yang dinyatakan lalai dalam pengelolaan harta benda gerejawi. (lih. Kan. 1376 § 2);
  • Yang, dalam menjalankan suatu jabatan atau tugas, menuntut suatu penawaran di luar apa yang ditetapkan atau jumlah tambahan, atau sesuatu untuk keuntungannya (lih. kan. 1377 § 2); Kejahatan penyuapan ini diatur dalam § 1 dari kanon yang sama, sesuai dengan kan. 1386;
  • Yang tidak melaksanakan putusan pidana (bdk. kan. 1371 § 5);
  • Dan klerus atau religius yang, di samping kasus-kasus yang telah diatur oleh hukum, melakukan kejahatan dalam hal ekonomi, atau secara serius melanggar ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam kanon 285, § 4 (kan. 1393 § 2). Dalam kasus ini, yang bersangkutan dapat dihukum dengan tindakan disipliner atau administrative dan pidana.

Selain kejahatan pada bidang ekonomi, ada juga kejahatan lain, yakni:

  • Mereka yang dengan sengaja memberikan sakramen kepada orang yang dilarang menerimanya (bdk. Kan 1379 § 4);
  • Menerimakan tahbisan suci bagi mereka yang  terkena beberapa hukuman censura atau iregularitas dalam hidupnya (bdk. Kan. 1388 § 2);
  • Klerus yang dengan sengaja dan ilegitim meninggalkan pelayanan sucinya, selama enam bulan berkelanjutan, dengan maksud menghindari otoritas Gereja yang kompeten; dalam kasus ini, klerus yang bersangkutan dihukum dengan hukuman yang sebanding dengan beratnya kejahatan dilakukan yakni dengan suspensi, dan dalam kasus yang paling serius, juga dengan pemecatan dari status klerikal.

c) Pelecehan Seksual    

Pandangan yang lebih spesifik tentang apa yang baru dalam Buku VI sehubungan dengan kejahatan pelecehan seksual. Pertama, peraturan tentang pelecehan seksual dengan anak di bawah umur sampai sekarang dimasukkan dalam Judul V: “Tindak pidana melawan kewajiban-kewajiban khusus”, karena pelecehan semacam itu dianggap dapat dihukum secara kanonik hanya jika dilakukan oleh para klerus. Sekarang, sudah sepantasnya, mereka dimasukkan dalam Judul VI: “Kejahatan melawan kehidupan, martabat dan kebebasan manusia”.

Perubahan ini merupakan perubahan yang signifikan karena meletakan pentingnya, “martabat dan kebebasan pribadi manusia” diatas segalanya. Dan dalam kasus pelecehan seksual, para korban menjadi pusat perhatian, dengan mendengarkan mereka dan memahami penderitaan mereka dan kerusakan yang sangat serius yang mereka alami.

Selain itu, kalau sampai sekarang hanya kejahatan pelecehan anak atau ‘pornografi anak’ (pedopornografia) yang dilakukan oleh seorang anggota klerus yang dipertimbangkan dari sudut pandang kanonik, sekarang dua kategori pelanggar lain juga harus dihukum, yakni: 1) anggota Lembaga Hidup Bakti atau Serikat Hidup Kerasulan; 2) setiap anggota umat beriman yang menduduki jabatan atau menjalankan suatu jabatan atau fungsi dalam Gereja (can. 1398 § 2). Hukuman bagi klerus yang bersalah ditegaskan dengan sangat tegas: “Ia harus dihukum dengan pencabutan dari jabatannya dan hukuman-hukuman lain yang adil, tidak terkecuali, jika kasusnya menghendaki, pemecatan dari jabatan klerus” (Kanon 1398 § 1).

Satu hal lain yang perlu diperhatikan juga adalah menyangkut identifikasi korban. Sampai saat ini, korban yang dimaksud sehubungan dengan pelecehan seksual adalah “anak di bawah umur atau orang yang biasanya memiliki penggunaan akal budi yang tidak sempurna”. Kan. 1398 juga menambahkan: “atau dengan seseorang yang kepadanya hukum memberikan perlindungan yang sama”.

Fleksibilitas dalam definisi korban ini dimaksudkan untuk menjaga agar penerapan kanon tetap terbuka bagi “orang yang rentan”, termasuk orang dewasa, yang telah banyak dibicarakan dalam beberapa tahun terakhir dan yang telah dimasukkan dalam beberapa undang-undang baru-baru ini. Dan “orang rentan” yang dimaksud adalah “setiap orang yang berada dalam keadaan lemah, kekurangan fisik atau psikis, atau yang dirampas kebebasan pribadinya yang pada kenyataannya, bahkan kadang-kadang, dibatasi kapasitasnya untuk memahami atau menginginkan atau dalam hal apa pun untuk melawan kejahatan yang dilakukan terhadapnya”. Maka secara eksplisit jelas bahwa dapat dihukum siapa pun yang tidak mematuhi kewajiban untuk melaporkan kasus-kasus pelecehan sperti ini (kan.1371 § 6).

Dalam hal ini, harus disebutkan juga § 3 yang baru dari kanon 1395, yang menghukum klerus yang melakukan kejahatan terhadap perintah keenam Dekalog dengan kekerasan, ancaman atau penyalahgunaan kekuasaan, atau memaksa seseorang untuk melakukan atau menjalani tindakan seksual, yang bersumber dari Pasal 1 § 1a dari motu proprio Vos estis lux mundi.

Memang benar bahwa Buku VI dari Kode Etik yang baru tidak membawa hal baru yang besar dalam isi perjuangan melawan pelecehan seksual, namun, itu merupakan penegasan kembali yang jelas dan menuntut penegasan kembali tugas-tugas keadilan dan penerapan norma-norma hukum yang berani dalam tata kelola kepemimpinan dan kehidupan komunitas Gerejawi.

Akhirnya, menutup ulasan singkat ini, saya mengutip kata-kata Paus Fransiskus dalam Konstitusi Apostolik “Pascite Gregem Dei”: “…menaati disiplin sanksi pidana dalam Gereja adalah kewajiban bagi seluruh Umat Allah, yang mana tanggung jawab untuk penerapannya yang benar secara khusus dimiliki oleh para Gembala dan Pemimpin dari masing-masing komunitas…”.

Dan Paus melanjutkan: “Kelalaian seorang gembala dalam menjalankan sistem pidana menunjukkan bahwa ia tidak memenuhi fungsinya dengan benar dan setia, seperti yang telah saya peringatkan secara tegas dalam dokumen-dokumen terkahir” (Motu Proprio: Come una Madre amorevole, 4 Juni 2016 dan Vos estis lux mundi, 7 Mei 2019.). Keinginan luhur dan mulia dari Paus Fransiskus tentu menjadi keinginan hati kita semua yakni: “agar hukum pidana yang diundangkan ini menjadi alat untuk keselamatan jiwa-jiwa”, “quae in Ecclesia suprema semper lex esse debet” (kan. 1752).

Referensi:

Kitab Hukum Kanonik, 1983.
Benediktus XVI, Motu Proprio Sacramentorum Santitatis Tutela, 21 Mei 2010.
Fransiskus, Motu Proprio Come una Madre amorevole, l4 Juni 2016.
Fransiskus, Motu proprio Vos estis lux mundi, 7 Mei 2019. Fransiskus, Konstitusi Apostolik Pascite Gregem Dei, 23 Mei 2021
.

Berita Terkait:

Pohon Natal dari Botol Plastik Bekas Hiasi Gereja St Yoseph Palembang

A. Daris Awalistyo

Ini Tiga Paus Yang Pernah Berkunjung ke Indonesia. Semuanya Mencetak Sejarah

Edeltrudizh

10 Kutipan tentang Doa Rosario Ini Wajib Direnungkan Umat Katolik

Edeltrudizh
error: Content is protected !!