Katolikpedia.id – Karl Edmund Prier SJ baru saja menerima gelar doktor kehormatan. Gelar tersebut diberikan oleh Instut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
Penganugerahan gelar doktor kehormatan ini diselenggarakan dalam sidang senat terbuka di Gedung Concert Hall ISI Yogyakarta, Kamis, 11 Mei 2023.
Gelar Honoris Causa (H.C) merupakan sebuah gelar kesarjanaan yang diberikan oleh sebuah perguruan tinggi/universitas kepada seseorang yang dinyatakan memenuhi syarat.
Orang tersebut tidak perlu mengikuti (kuliah aktif) dan lulus dari pendidikan yang sesuai untuk mendapatkan gelar kehormatan ini.
ISI Yogyakarta sebagai sebuah lembaga pendidikan dengan konsentrasi seni, menganugerahi gelar Honoris Causa kepada Karl Edmund SJ karena kontribusinya yang sangat ternilai di bidang musik, terutama musik liturgy gereja Katolik.
Penganugerahan gelar ini dibacakan secara langsung oleh Sekretaris Senat ISI Yogyakarta Prof. Dr. I Wayan Dana, S.ST., M.Hum. Ia membacakan Surat Keputusan Rektor ISI Yogyakarta tentang Penganugerahan Gelar Doktor Honoris Causa Romo Prier SJ di hadapan sejumlah hadirin.
“Memberikan gelar kehormatan doktor honoris causa Karl Edmund Prier SJ atas jasa yang luar biasa dalam bidang keilmuan musik, dengan segala hak dan kewajiban yang melekat pada gelar tersebut,” kata Prof. Dana.
Karya di bidang musik
Karya Romo Prier di bidang musik liturgi Gereja Katolik sangat besar. Ia dikenal luas karena kontribusi dan kriprahnya di Pusat Musik Liturgi (PML) Yogyakarta.
Sejak tiba di Indonesia pada 1964, Romo Prier menunjukan minat yang sangat besar dalam bidang musik liturgy, dengan warna inkultrasi.
Imam kelahiran Wienhiem, Jerman, pada 18 September 1937 ini kemudian mendirikan Pusat Musik Liturgi (PML) Yogyakarta pada 1971. Dan PML tersebut masih berdiri dan banyak berkontribusi bagi perkembangan musik liturgi hingga hari ini.
Di PML inilah ia banyak menggubah lagu-lagu dengan warna gereja lokal Indonesia, sehingga mudah diterima oleh umat.
Lagu-lagu gubahannya kemudian dibukukan dan masih kita kenal hingga hari ini yakni Madah Bakti.
Dalam pidato ilmiahnya, Romo Prier mengenang tugas misinya di Indonesia. Salah satunya adalah menceritakan kembali peristiwa ia diserang oleh seorang pria memakai pedang di Gereja St. Lidwina Bedog, lima tahun silam.
“Saya meminta maaf bahwa (memakai) topi karena ada luka di kepala, sejak saya ‘dicintai’ oleh seseorang di Gereja (St. Lidwina) Bedog beberapa tahun lalu, dan sampai sekarang masih ada lubang di sini,” gurau Romo Prier mengawali pidato ilmiahnya sembari memegang bagian ubun-ubun kepalanya.
Melalui pidato ilmiahnya yang berjudul “Hidup untuk Musik”, Romo Prier menjelaskan posisi Gereja Katolik terhadap musik yang ada dan berkembang di gereja-gereja lokal, dengan merujuk dokumen Konsili Vatikan II.
“Di wilayah-wilayah tertentu, terutama di daerah misi, terdapat bangsa-bangsa yang mempunyai tradisi musik sendiri, yang memainkan peran penting dalam beragama dan bermasyarakat.”
“Hendaknya musik itu mendapat penghargaan selayaknya dan tempat yang sewajarnya, baik dalam membentuk sikap religius mereka maupun dalam menyesuaikan ibadat dengan sifat perangai mereka.”
Sikap inilah yang mendasari keputusan Romo Prier, selain dukungan dan penugasan dari Konferensi Waligereja Indonesia, untuk menyusun lagu-lagu gereja dengan ‘citarasa’ Indonesia.