Katolikpedia.id – Prasetyo Nurhardjanto belum pernah berkunjung ke Rumah Ibu Teresa di Kolkata, India. Namun, keinginan untuk menambah hal lain dalam dunia traveling yang ia gandrungi selama ini, membawanya hingga ke “rumah kemanusiaan” itu.
Sebagai orang yang punya hobi melancong ke berbagai tempat, Pras – demikian sapaannya – selalu mempunyai agenda rutin untuk bepergian ke berbagai tempat setiap tahun.
Tahun 2018, ayah beranak satu itu traveling ke Basecamp gunung Everest. Perjalanan itu ia bumbui dengan galang dana untuk anak-anak penderita kanker.
Tak tanggung-tanggung, ia berhasil mengumpulkan 30 juta untuk membantu anak-anak penderita kanker. Selanjutnya, ia juga menjadi volunteer saat gempa dan tsunami menimpa Palu.
Memasuki tahun 2019, Pras kembali menimang rencana. Kali ini ia ingin menjejakan kaki di Stok Kangri, gunung tertinggi di India. Gunung itu memiliki ketinggan lebih dari 6000 meter.
Tapi Pras bertanya dalam hati, apa yang bisa ia tambahkan ke dalam traveling itu supaya petualangannya tak berbuah kesenangan semata. Harus punya nilai lebih, semisal membawa dampak positif bagi orang lain.
Ia pun teringat pengalaman masa lalu, ketika ia duduk di Kelas 3 Sekolah Dasar. Waktu itu, ia sedang menonton acara “Dunia dalam Berita”, sebuah program tayangan berita TVRI. Tayangan itu mengisahkan sosok Suster Teresa atau Ibu Teresa.
Diceritakan, Suster berkebangsaan Albania itu bekerja mati-matian untuk membantu orang-orang miskin di Kalkuta (sekarang Kolkata), India. Pras yang saat itu belum memeluk agama Katolik, terkagum-kagum pada karya Ibu Teresa tersebut.
Ia pun bernazar, “Suatu hari saya harus sampai ke sana”.
Voluntrip ke Rumah Ibu Teresa
Empat puluh tahun kemudian, ketika ia meniatkan traveling pada 2019, nazar itu tetiba mencuat ke pikiran Pras. Maka ia pun memutuskan. Tiket pesawat yang sebelumnya ia pesan untuk perjalanan ke gunung Stok Kangri diubah ke Kolkata, dengan tujuan destinasi utama Rumah Ibu Teresa.
Selanjutnya, Pras mulai mempelajari cara dan bagaimana untuk bisa menjadi volunteer di “rumah kemanusiaan” warisan St Teresa dari Kolkata itu. Sumber bacaan dan audio-visual di youtube ia susur guna memuluskan perjalanannya itu.
September 2019, Pras berangkat ke Kolkata. Tentu saja, petualangan kemanusiaan itu sudah mendapat restu dari sang istri dan putri semata wayangnya. Pun, kantor tempat Pras bekerja.
“Kebetulan kantor mendukung saya untuk misi kemanusiaan ini. Jadi saya ambil cuti 10 hari,” ujarnya kepada Katolikpedia.id dalam sebuah obrolan santai di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, pekan lalu.
Lantaran traveling ini sangat kental dengan misi kemanusiaan, Pras pun menamainya “voluntrip”, akronim dari “volunteer trip”.
Setiba di Kolkata, Pras langsung bergabung dengan para volunteer yang datang dari berbagai negara, dengan latar belakangan berbeda-beda. Setiap hari orang bergantian datang dan pergi menjadi volunteer di situ.
“Tapi kebanyakan mereka tidak punya agama. Mereka datang ke situ bukan karena mereka beragama Katolik, Hindu, Islam, atau lainnya. Mereka datang karena misi kemanusiaan,” ujar Pras.
Ini sebuah pengalaman baru dan amat terkesan bagi Pras, yang baru memilih beragama Katolik saat berusia 13 tahun.
Bahkan, lanjutnya, seorang ibu dari Italia sudah enam bulan jadi volunteer di Rumah Ibu Teresa. Ada juga seorang mahasiswi asal Mexico yang cuti satu semester untuk melayani di sana.
Dan sekali lagi mereka datang ke situ bukan atas pertimbangan agama. Kedatangan mereka murni karena ingin menolong sesama manusia yang sedang menderita.
“Masalah kemanusiaan adalah masalah universal. Kita dipanggil untuk ikut bertanggung jawab dan berkontribusi mengurai masalah itu,” demikian ia merefleksikan voluntripnya ini.
Bekerja setengah hari
Pras menuturkan, di Kolkata Rumah Ibu Teresa memiliki delapan rumah pelayanan dengan segmen pelayanannya masing-masing. Ada yang khusus untuk melayani orang-orang yang menjelang ajal, ada yang khusus melayani bayi, perempuan, orang-orang cacat, dan lain-lain.
Selama di Kolkata, Pras memilih melayani di rumah pelayanan untuk orang menjelang ajal. Rumah pelayanan ini ada di Kalighat.
Bukan tanpa alasan Pras memilih tempat itu. Kalighat adalah tempat pelayanan St Teresa yang pertama. Maka Pras ingin melayani di sana untuk ikut merasakan apa yang dikerjakan orang suci itu, ketika awal ia memutuskan untuk “keluar” dari tembok biara demi menolong orang-orang yang sedang sekarat.
BACA: 7 Ayat Alkitab Ini Bisa Direnungkan Saat Mengahadapi Masalah
Lagipula, salah satu nasihat Ibu Teresa yang terus terngiang di telinga Pras adalah pilihlah yang tersulit. Dalam keseharian, bila ada kegiatan atau tanggung jawab yang tersulit, dimana semua orang menghindari, Pras mau mengambilnya. Itu salah satu bentuk latihan rohani.
Pras menjadi volunteer di Kalighat selama 10 hari. Ia tak mau pindah-pindah ke rumah pelayanan yang lain, meski kesempatan itu ditawarkan setiap hari. Artinya, setiap volunteer boleh memilih rumah pelayanan berbeda-beda setiap hari.
Selama 10 hari di Kalighat, Pras mulai bekerja sekitar pukul 09.00 hingga 12.30. Meski kerjanya “cuma” setengah hari, Pras merasa sangat lelah pada hari-hari pertama.
Bagaimana tidak. Ia harus melakukan berbagai tugas secara beruntun, mulai dari mengganti sprei tempat tidur, popok dan pakaian orang-orang yang sekarat, menyuapi mereka makan, membagikan obat, menghibur mereka, mencuci pakaian, alat makan, hingga mengantar mereka ke rumah sakit.
Pokoknya, hari pertama sampai hari keempat, Pras merasakan sangat letih tiap pulang sampai ke hostel tempat ia menginap. Oh ya, untuk tempat tinggal masing-masing volunteer menentukan sendiri.
Pras memilih hostel model sharing room; satu kamar berdelapan. Harga sewa per malam sekitar Rp. 70.000. Meski demikian, kebersihan hostel cukup bagus, ada dapur untuk memasak, wifi, dan Air Conditioner (AC).
Pras sempat bertanya kepada seorang volunteer yang sudah tiga bulan melayani di situ. Ia bilang, setelah sebulan barulah ia mulai merasa nyaman dengan model pelayanan tersebut. Dan baru di hari keempat Pras mulai terbiasa dengan ritme pelayanan di sana.
Untuk melengkapi voluntripnya, setiap kembali dari rumah pelayanan, Pras mengisi waktu luang dengan mengunjungi rumah-rumah ibadat umat Hindu, Muslim, Katolik, dan berbagai tempat bersejarah di sekitar kota Kolkata.
“Kolkata adalah ibukota lama India, sebelum pindah ke New Delhi. Jadi kota ini memiliki banyak situs sejarah yang bisa dikunjungi,” ujarnya.
Sementara malam hari, Pras menggunakan waktunya untuk membaca, refleksi dan menulis. Bagi Pras, selama jadi volunteer di sana ia benar-benar menggunakan waktu senggang untuk latihan rohani.
Jauh hari sebelum berangkat, Pras sudah membuat jadwal yang sangat lengkap, mulai dari hari pertama sampai hari terakhir. Itulah waktu baginya untuk merefleksikan perjalanan hidupnya, sekaligus bersyukur atas semua anugerah yang sudah ia terima dari Tuhan.
“Saya bukan orang kaya sehingga bisa pergi jauh-jauh ke India untuk melayani orang miskin. Tapi karena saya merasa bahwa saya ingin berbuat sesuatu seperti Ibu Teresa yang sudah lama menjadi tokoh inspirasi saya,” katanya.
Sebuah panggilan
Bagi Pras, pelayanan seperti ini membutuhkan niat yang kuat dari dalam hati. Ia menyebutnya panggilan. Tanpa panggilan, yang tentu datang dari Tuhan sendiri, mustahil ia bisa menuntaskan voluntripnya itu.
Bayangkan saja, setiap hari ia harus berhadapan dengan orang-orang yang sekarat, menderita luka parah, kurus kering, orang lumpuh, dan mereka yang sangat menderita. Dan ia harus melayani mereka dengan sepenuh hati.
Meski kontribusi pelayanan 10 hari itu tak seberapa, Pras bersyukur bisa menyelesaikannya. Ia malah kian kagum akan spirit Ibu Teresa dan suster-suster Missionaries of Charity.
Karena sejak awal rumah pelayanan di Kalighat tempat Pras bertugas, tidak bermaksud untuk menyembuhkan orang yang sekarat. Rumah itu hanya sebagai “tempat transit” bagi para gelandangan miskin itu sebelum ajal menjemput.
“Jadi Ibu Teresa hanya ingin memastikan bahwa mereka yang akan meninggal sadar bahwa ada orang yang mencintai mereka, ada orang yang masih berada di samping mereka,” ujar Pras.
Pengalaman Pras setidaknya nyambung dengan spirit pelayanan ini. Suatu hari ia diminta membantu seorang suster untuk mengganti perban luka seorang pasien yang sedang sekarat. Lukanya yang sangat bau itu menjalar dari kaki hingga ke pantat.
Dengan segala upaya Pras akhirnya menuntaskan tugas tersebut. Esok hari, ketika ia kembali lagi, pasien itu sudah tak ada di kamarnya. Ketika Pras bertanya, suster bilang orang itu sudah meninggal tadi malam.
BACA JUGA: Hai umat Katolik, Kapan Waktu yang Tepat untuk Berdoa Rosario?
“Saya pergi ke ruang jenazah dan mendoakan sebelum jenazahnya diberangkatkan untuk dikremasi”.
Pengalaman-pengalaman ini menuntun Pras untuk sampai pada kesimpulan bahwa Ibu Teresa telah mewariskan tugas pelayanan yang teramat mulia.
Karena itu ia mengajak sebanyak mungkin orang agar mau menyisihkan waktu di sela-sela kesibukannya untuk pergi melayani di Rumah Ibu Teresa. Belum banyak orang Indonesia yang menjadi volunteer di sana.
Rencananya, Pras akan kembali lagi ke Kolkata awal tahun depan, 2020. Kalau ada yang berminat, bisa berangkat bareng.
Bagaimana, apakah Anda berminat? Jika iya, ini sejumlah hal yang harus kamu persiapkan!