Katolikpedia.id – Di era digital saat ini, kita sering kali tidak menyadari bahwa teknologi dapat menjadi bentuk perbudakan baru. Ketergantungan pada media sosial, gawai, dan dunia maya telah menjauhkan manusia dari kedekatan yang sejati dengan sesama dan Tuhan- Nya.
Dalam zaman ini, ungkapan syukur tidak lagi dilambungkan dari lubuk hati yang mendalam dan hubungan diam antara ciptaan dengan Sang Pencipta, melainkan dijadikan sebagai eksistensi yang harus diunggah, seolah-olah dunia harus tahu bahwa aku telah bersyukur dan Pencipta membalas setiap harapan yang tertuang dalam laman medsos.
Banyak orang kini mengungkapkan doa dan harapan mereka dengan cara mengunggahnya ke media sosial. Bahkan, yang lebih miris adalah ketika ungkapan syukur lebih cepat melesat ke halaman media sosial daripada diam sejenak mensyukuri seluruh kemurahan yang diberikan oleh Sang Pencipta. Gaya hidup hedonisme dan pencarian pengakuan semakin dominan dari hari ke hari.
Jika kita menelisik lebih dalam, maka Tahun Yobel ini yang dirayakan dalam tradisi Gereja Katolik dapat menjadi suatu sarana untuk merefleksikan diri dan beristirahat dari perbudakan duniawi yang sesungguhnya.
Tahun Yobel mengajak umat manusia untuk kembali kepada kebebasan sejati, mengingatkan pentingnya untuk melepaskan diri dari belenggu digital yang telah menguasai kehidupan setiap manusia. Manusia dipanggil untuk menemukan keseimbangan antara dunia maya dan dunia nyata, serta untuk memperkuat hubungan dengan Tuhan dan sesama.
Makna Yobel dan Relevansi Teknologi
Tahun Yobel dalam Kitab Imamat 25:10 adalah saat pembebasan dan pemulihan budak dibebaskan, tanah dikembalikan, dan hak-hak yang terampas dipulihkan.
“Kamu harus menguduskan tahun yang kelima puluh, dan memaklumkan kebebasan di negeri itu bagi segenap penduduknya. Itu harus menjadi tahun Yobel bagimu, dan kamu harus masing-masing pulang ke tanah miliknya dan kepada kaumnya” (Imamat 25:10).
Secara spiritual, Yobel mengingatkan kita bahwa kebebasan sejati berasal dari Tuhan, dan bahwa segala milik adalah anugerah-Nya. Konsep Yobel ini, yang dalam tradisi Yahudi dilaksanakan setiap 50 tahun sekali, mengajarkan tentang pembebasan dan pemulihan yang lebih mendalam, baik secara fisik, sosial, maupun spiritual.
Paus Fransiskus menekankan bahwa tahun Yobel bukan hanya sekadar momen pembebasan fisik atau pemulihan material, tetapi juga waktu untuk memperbaharui hubungan umat manusia dengan Tuhan dan sesama.
Yobel dalam Kitab Imamat, mengajak manusia untuk merasakan kebebasan sejati yang hanya dapat diberikan oleh Tuhan, sebuah kebebasan yang membebaskan dari belenggu dosa, ketergantungan pada kekayaan, serta segala bentuk ketidakadilan.
Dalam konteks kehidupan modern, Paus Fransiskus melihat Yobel sebagai panggilan untuk memperjuangkan pemulihan hak-hak yang terampas, baik dalam tataran sosial maupun spiritual, serta untuk kembali kepada nilai-nilai dasar kasih dan persaudaraan.
Ini adalah waktu untuk meneguhkan kembali solidaritas umat manusia, untuk berbagi dengan yang miskin dan yang terpinggirkan, serta untuk menghargai bahwa segala sesuatu yang dimiliki adalah anugerah dari Allah yang harus digunakan untuk kebaikan bersama.
Tahun Yobel yang menekankan harapan yang tidak mengecewakan menjadi kesempatan untuk mengalami pemulihan yang mendalam, yang mengarah pada kehidupan yang lebih harmonis dengan Tuhan, sesama, dan ciptaan-Nya.
Dalam dunia modern saat ini, standar hidup manusia sering kali dipengaruhi oleh ekspektasi yang diciptakan melalui media sosial. Media sosial, yang seharusnya menjadi sarana untuk berbagi dan menghubungkan, justru sering kali membentuk gambaran hidup yang tidak realistis, di mana kebahagiaan dan kesuksesan diukur berdasarkan tampilan luar yang dibagikan orang lain.
Hal ini dapat menciptakan perasaan tidak puas, kecemasan, dan tekanan untuk selalu mengikuti tren atau hidup sesuai dengan standar yang diciptakan oleh platform-platform tersebut. Kehidupan digital ini membentuk persepsi manusia tentang apa yang seharusnya menjadi standar hidup, kadang kala mengabaikan nilai-nilai dasar seperti kesederhanaan, perhatian, dan rasa syukur.
Namun, dalam Bulla Spes Non Confundit yang diproklamasikan oleh Paus Fransiskus, umat manusia menemukan jawaban atas kontradiksi ini. Paus Fransiskus mengingatkan bahwa harapan sejati, yang tidak akan pernah mengecewakan, berakar pada kasih Tuhan yang melampaui segala kecemasan dan ketidakpastian dunia ini.
Ketika dunia memberi kita standar yang sering kali menyesatkan, harapan Kristen memberikan pijakan yang kokoh, yaitu kasih Allah yang tidak dapat tergoyahkan oleh apa pun, termasuk oleh tekanan sosial yang sering muncul melalui media sosial.
Tahun Yobel 2025 mengundang umat manusia untuk kembali pada sumber harapan yang sejati, di mana kasih Tuhan membuka pintu pengampunan dan pembebasan sejati dari belenggu yang kita ciptakan sendiri.
Sebuah perjalanan ziarah yang mengajak setiap insan untuk menata kembali hidup sesuai dengan harapan yang tidak pernah mengecewakan, yang memberi spirit ketenangan dan keteguhan hati di tengah dunia yang sering kali hiruk-pikuk dan membingungkan.
Perbudakan Digital
Cogito, ergo sum Aku berpikir, maka aku ada adalah ungkapan ini diperkenalkan oleh filsuf Prancis, Rene Descartes (1596–1650), sebagai dasar filsafat rasionalisme modern. Namun, di era digital ini, makna keberadaan manusia seakan bergeser menjadi “Aku mengklik, maka aku ada.”
Manusia hidup dalam bayang-bayang ilusi bahwa eksistensi ditentukan oleh seberapa aktif terhubung secara daring. Tanpa disadari, hal ini membuat kebanyakan manusia sering kali terjebak dalam perbudakan digital yang membelenggu kebebasan eksistensi sebagai makhluk yang memiliki hati dan budi.
Media sosial tidak hanya menyita waktu tetapi juga merusak fokus dan menimbulkan kecemasan ketika kita tidak dapat mengaksesnya. Banyak orang merasa gelisah jika tidak memeriksa ponselnya setiap beberapa menit, seakan-akan keberadaan mereka bergantung pada koneksi daring. Ketergantungan ini begitu kuat hingga menghalangi kita untuk menikmati kehidupan nyata.
Selain itu, gawai telah menjadi kebutuhan primer bagi sebagian besar orang, menciptakan kecanduan yang memudarkan keintiman relasi keluarga. Waktu yang seharusnya digunakan untuk berbincang dan bercengkerama justru habis untuk menatap layar, menjauhkan dari pengalaman hidup yang sesungguhnya.
Tidak hanya itu, di era informasi ini, data pribadi kita sering kali diambil dan dimanfaatkan tanpa sepengetahuan kita. Rasa aman dan privasi sebagai manusia merdeka terancam hilang, karena dalam dunia maya kita sering kehilangan kontrol atas informasi pribadi.
Jika teknologi tidak dikelola dengan bijak, manusia akan semakin terjebak dalam ilusi kontrol, padahal kenyataannya manusialah yang mengendalikan teknologi itu sendiri.
“Cogito, ergo sum” pemikiran mendalam dari Descartes yang dahulu menggambarkan eksistensi manusia kini kehilangan maknanya ketika digantikan oleh dengan sekadar klik dan koneksi. Alih-alih menjadi tuan atas teknologi, kita justru menjadi budaknya, terbelenggu dalam arus digital yang tanpa henti.
Spirit Yobel di Era Digital
Tahun Yobel mengajarkan tentang bagaimana pembebasan, pemulihan, dan pengampunan. Dalam dunia digital, kita bisa menerapkan “Yobel Teknologi” dengan langkah-langkah konkret berikut:
Digital Detox
Meluangkan waktu tanpa gawai untuk memperbarui batin dan merefleksikan kehidupan tanpa distraksi digital. Misalnya, melakukan “puasa media sosial” pada hari-hari tertentu, atau sekadar menonaktifkan notifikasi gawai untuk sementara waktu.
Mengutamakan Relasi Nyata
Menghidupkan kembali percakapan langsung dengan orang-orang terdekat, menggantikan interaksi virtual yang cenderung dangkal dan sementara. Meluangkan waktu khusus untuk pertemuan tatap muka tanpa kehadiran gawai, sehingga relasi yang terjalin menjadi lebih mendalam dan bermakna.
Kesadaran Data Pribadi
Meningkatkan literasi digital agar kita dapat lebih berhati-hati dalam membagikan informasi pribadi. Dengan demikian, kita dapat mengambil kembali kendali atas data kita di dunia maya. Kesadaran ini akan membantu kita menghindari eksploitasi data pribadi dan memberikan ruang untuk hidup yang lebih aman.
Dengan menerapkan prinsip Yobel ini, kita tidak hanya membebaskan diri dari perbudakan digital, tetapi juga memperkuat ikatan sosial dan spiritual dengan sesama, dan mengembalikan makna kebebasan sejati yang dimiliki oleh setiap individu.
Kita dipanggil
Sebagai umat beriman, manusia dipanggil untuk membebaskan diri dari belenggu teknologi yang sering kali menguasai hidup. Mengambil jeda dari dunia digital bukan berarti anti-teknologi, melainkan menemukan keseimbangan antara dunia maya dan dunia nyata. Yobel masa kini bisa diwujudkan dengan memanfaatkan teknologi secara bijak dan bertanggung jawab, sehingga setiap manusia menjadi pribadi merdeka yang mengendalikan teknologi, bukan dikendalikan olehnya.
Dalam terang Yobel, marilah kembali pada kebebasan sejati, kebebasan dari perbudakan digital dan pemulihan relasi kita dengan Tuhan dan sesama. Serta dipanngil untuk bermenung dan merefleksikan diri, sehingga dapat melepaskan diri dari belenggu yang tidak terlihat, dan kembali kepada kebebasan yang sejati yang sejalan dengan pemikiran Rene Descartes Aku berpikir, maka Aku ada.