Katolikpedia.id – Pada Februari 2013 yang lalu Gereja sejagad dikejutkan dengan pengunduran diri dari Paus Benediktus XVI.
Kejadian itu sudah terjadi delapan tahun lalu tapi tetap saja meninggalkan banyak tanya di kepala kita. Bahkan sampai beberapa hari yang lalu ada yang masih bertanya soal ini.
Inti pertanyaannya apakah ada dasar yuridis dari pengunduran diri seorang Paus? Dan apa saja implikasi juridis yang muncul dari pengunduran diri seorang Paus?
Boleh dikatakan bahwa pilihan Benediktus XVI untuk mengundurkan diri saat itu menjadi sebuah “kasus takhta lowong yang langka” tapi di sisi lain dapat dilihat sebagai bentuk manifestasi paling nyata dari prinsip yang menopang seluruh struktur Gereja: “Di antara umat beriman Kristus setiap tugas dibuat untuk melayani dan bukan untuk dilayani”.
Ungkapan ini mengingatkan kita akan akar teologis dan yuridis dari apa yang dipilih oleh Benediktus XVI. Persoalan mengundurkan diri atau meninggalkan “jabatan”, sebenarnya sudah diatur pada alinea kedua kanon 332 Kitab Hukum Kanonik.
Adapun bunyi kutipan kanon itu: “Apabila Paus mengundurkan diri dari jabatannya, untuk sahnya dituntut agar pengunduran diri itu terjadi dengan bebas dan dinyatakan semestinya, tetapi tidak dituntut bahwa harus diterima oleh siapapun.” (bdk.kan.332§2).
Mari kita telusuri sejenak isi dari kanon ini. Pertama-tama, harus dikatakan bahwa Paus, dari sudut pandang yuridis yang ketat, dikonfigurasikan sebagai jabatan gerejawi.
Dan untuk setiap jabatan, mulai dari imam paroki hingga jabatan “tertinggi” sebagai Paus, pengunduran diri sudah diperkirakan atau diramalkan.
Kemungkinan ini tidak dimasukkan dalam logika kekuasaan tetapi tanggung jawab terhadap misi yang terkait dengan jabatan itu sendiri.
Baca Juga: Gosip dalam Biara. Sering Terjadi?
Siapa yang diangkat untuk suatu jabatan, sebenarnya melayani misi yang dipercayakan kepadanya, bukan sebaliknya, dan bertanggung jawab kepada Tuhan untuk itu.
Setiap jabatan gerejawi bahkan jabatan tertinggi seperti Paus – tidak ada untuk diri mereka sendiri tetapi untuk pemeliharaan jiwa-jiwa.
Jadi, untuk semua jabatan ini, selain ada cara mengambil jabatan – dalam kasus Paus melalui pemilihan oleh para kardinal dengan penerimaan selanjutnya dari yang terpilih -, ada juga cara kehilangan dari jabatan-jabatan itu (kematian, perpindahan, hukuman, pengunduran diri).
Lalu satu-satunya efek atau implikasi hukum langsung dari pengunduran diri seorang Paus adalah akan adanya transisi dari “takhta penuh” (sede piena) ke “takhta kosong” (sede vacante) dengan segala konsekuensi hukum.
Tidak ada situasi “perantara” dalam kasus ini. Dengan adanya gerakan dari tahkta penuh ke tahkta kosong dan kembali lagi ke takhta penuh menjadi sangat menarik untuk melihat normalitas kehidupan Gereja.
Dan perlu ditambahkan disini bahwa pelayanan dan jabatan sebagai penerus Petrus adalah pusat dari Gereja tetapi bukan satu-satu pusatnya, sebab Kristus adalah satu-satunya pusat Gereja.
Pertanyaan logis lain yang bisa muncul disini adalah apakah “jabatan Paus” memberikan kondisi khusus untuk pengunduran diri?
Adapun semua jabatan gerejawi, pengunduran diri sebagai tindakan yuridis harus dilakukan melalui tindakan bebas, tanpa paksaan dan kekerasan serta dalam kapasitas kesadaran yang penuh.
Selain itu, agar berlaku penuh, setiap pengunduran diri harus diterima oleh atasan yang berhubungan dengan masing-masing jabatan: dalam kasus Paus, karena tidak ada tingkatan yang lebih tinggi, pengunduran diri itu tidak boleh diterima oleh siapa pun kecuali hanya dimanifestasikan secara bebas.
Faktanya bisa dilihat dalam apa yang disampaikan Benediktus XVI saat itu, ia tidak menggunakan ungkapan “Saya meminta” tetapi “Saya menyatakan”.
Sekali lagi, ia sampaikan semuanya saat itu dengan bebas, tanpa paksaan, penuh kesadaran dan disampaikan secara publik.
Akhirnya dari setiap gradasi pengunduran diri dari jabatan gerejawi apa saja mengajak kita untuk merenungkan bahwa misi membutuhkan kerendahan hati untuk menghindari personalisme dan kesiapan untuk pembaruan.