Katolikpedia.id – Suatu ketika ada seorang Suster Pemimpin yang ingin berkonsultasi tentang sesuatu masalah yang sangat penting dan mendesak. Begini kisahnya.
Sebut saja Sr. M adalah salah satu suster junior kami yang seharusnya akan mengucapkan kau lkekal awal tahun depan.
Namun, belakangan, diketahui bahwa dia memiliki hubungan spesial “(cinta terlarang)” dengan seseorang. Setelah dikonfrontasi, dia mengakuinya, dengan jujur pula mengatakan bahwa mereka sudah berhenti/berpisah dan tidak bertemu atau tidak saling kontak satu sama lain.
Saya (Sr pemimpin) berkonsultasi dengan dua orang ahli dan mereka sepakat satu pikiran mengatakan bahwa dia tidak layak diterima untuk kaul kekal. Saya dalam situasi dilema. Karena secara pribadi saya meyakini bahwa panggilan seseorang adalah anugerah dari Tuhan dan tidak ada yang mustahil bagi-Nya.
Setelah meluangkan waktu untuk berdoa dan discerment, saya pikir akan lebih baik untuk mengizinkannya berkaul kekal sehingga memberinya lebih banyak waktu untuk menyelesaikan masalahnya. Tolong Pater beri saya pencerahan dalam masalah ini.
Suster… biasanya ketika tiba pada tahap penerimaan profesi, baik yang sementara apalagi kekal, salah satu persyaratan kanonik adalah melibatkan dewan, dengan cara mendengar nasihat/masukan atau persetujuan mereka, tergantung pada hukum partikular (Konstitusi) dari kongregasinya Suster (bdk.kan.658, 656,3°) dan orang-orang penting lain yang terlibat dalam proses formasinya.
Jika konstitusi Kongregasimu mengatakan bahwa itu perlu dengan “tindakan deliberatif” maka anda perlu mendengar persetujuan dengan setidaknya dengan suara mayoritas absolut dari jumlah anggota dewan.
Tanpanya anda tidak dapat mengizinkannya untuk berkaul kekal, meskìpun menurut anda itu adalah hal yang benar untuk dilakukan.
Hal lain yang juga bisa dibuat adalah cobalah untuk mencari tahu apakah masih ada sisa tahun menurut kanon 657§2, yang memperbolehkan maksimum sembilan tahun untuk profesi sementara, dari yang bersangkutan.
Hal ini karena jika ada keraguan serius mengenai kelayakan calon, lebih baik disarankan pada suster junior itu untuk membaharui kaulnya lagi, sebelum tiba pada profesi kekalnya. Seperti kata pepatah: “Lebih baik menunda dari pada menyesal”.
Lalu catatan pribadi saya, saya setuju dengan anda bahwa kita tidak dapat meremehkan (underestimate) kasih karunia Tuhan. Kita juga harus realistis bahwa kasih karunia dibangun di atas sifat dan karakter kemanusiaan kita.
Ada kasus-kasus kompleks dan masalah-masalah kepribadian yang sebagai religius, tidak bisa kita tangani atau perkirakan dalam proses atau program formasi kita. Seperti salah satunya adalah kasus yang Suster sajikan ini.
Lalu tentang pendapat dan evaluasi dari dua ahli tadi, bisa menjadi indikator dan sumber bantuan dalam discerment anda, tetapi pada akhirnya Suster-lah yang harus membuat dan mengambil keputusan dengan mempertimbangkan tidak hanya panggilan pribadinya, tetapi juga kebaikan dari kongregasi pada khususnya dan Gereja pada umumnya.
Saya rasa untuk sementara, itu dulu yang bisa bantu. Semoga mencerahkan. Satu dalam doa.
Bacaan:
D. Andrès, Le Forme di Vita Consacrata, Ediurcla, Roma, 2014.
Elias Ayuban, Selected Canonical Issues Related to Religious Life, vol.2, Claretian Publications, Manila, 2016.