Ada sebuah kisah. Tiga tahun lalu bertemulah Antonius dan Siti (keduanya nama rekaan). Antonius seorang pemuda yang sopan dan berasal dari keluarga katolik yang baik dan sederhana. Sedangkan Siti, gadis desa yang sederhana, dari keluarga Muslim yang saleh.
Keduanya saling jatuh hati. Sehari tak melihat Siti, Antonius merasa ada yang kurang pada dirinya. Pun pula sebaliknya dengan Siti. Siti merasa sulit untuk tidak berada di sisi Antonius. Tak lama berselang keduanya pun sepakat untuk menikah. Mereka menikah di Gereja Paroki tempat asal Antonius.
Saat itu banyak orang yang bertanya baik dari keluarga Antonius dan terlebih dari keluarga Siti akan perkawinan beda agama yang terjadi. Setelah melewati tiga tahun hidup bersama, keduanya pun berpisah.
Dari kisah ini, ada bebarapa hal menarik yang bisa ditarik keluar berkaitan dengan perkawinan beda agama. Sebenarnya, Gereja telah lama menyadari bahwa perkawinan antara umat Katolik dan non-Katolik menimbulkan bahaya bagi kelangsungan praktik iman Katolik dan bagi pembaptisan serta pendidikan anak.
Bahkan jauh sebelum ada Kitab Hukum Kanonik, dalam Kitab Suci pun perkawinan beda iman itu dilarang keras. Misalnya dalam 2 Kor. 6: 14: “Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya”.
Kekhawatiran Gereja sangat serius ketika seorang Katolik ingin menikah dengan seorang non-Kristen. Sebagai ekspresi keprihatinan ini, hukum Gereja telah menetapkan perkawinan beda agama (disparitas cultus) sebagai halangan yang menjadikan perkawinan antara seorang Katolik dan orang yang tidak dibaptis itu tidak sah.
Dan hal ini, sudah ada dan dibicarakan sejak beberapa konsili awal Gereja, meskipun baru ditetapkan pada Konsili Trullo pada tahun 692. Meskipun kanon konsili Trullo ini tidak diterima oleh Gereja di Barat, tapi halangan ini tetap menyebar ke seluruh Barat antara abad ketujuh dan kesebelas, lalu diterima dan memperoleh kekuatan kebiasaan secara universal. Dan pada akhirnya dimasukkan ke dalam Kitab Hukum Kanonik 1917, kanon 1070.
Kanon 1070 §1 yang menegaskan: “Adalah batal kontrak perkawinan antara orang yang belum dibaptis atau kaum bidaah dan skisma dengan orang yang dibaptis di dalam Gereja Katolik”.
Dalam KHK lama ini sangat jelas bahwa seharusnya orang dibaptis Katolik tidak bisa dan tidak diperkenankan melangsungkan: (a) perkawinan dengan orang yang berbeda agama atau penganut kultus tertentu (non-baptis atau bidaah) (b) perkawinan dengan kaum skisma (agama-agama reformis yang memisahkan diri dari Katolik).
Jika ada umat Katolik yang tetap melangsungkan perkawinan dengan mereka ini, maka perkawinan tersebut batal (nullum).
Paus Paulus VI kemudian menyampaikan sikap dan ajaran Gereja: “Perkawinan yang dirayakan antara dua orang, satu di antaranya telah dibaptis di Gereja Katolik atau diterima di dalamnya, sementara yang lain belum dibaptis, tidaklah sah tanpa pemberian dispensasi sebelumnya oleh Ordinaris setempat” (Matrimonia Mixta, no. 2). Ajaran Paulus VI ini kemudian diadopsi dalam KHK tahun 1983 pada kanon 1086.
Kita bergeser sejenak ke Kitab Hukum kanonik 1983. Meski tidak ada sebuah definisi resmi tentang perkawinan beda agama, tapi bisa dikatakan bahwa Kanon 1086 bisa menjadi rujukan bacaan kita.
Ada pun kutipan dari kanon 1086 ini: § 1. Perkawinan antara dua orang, yang diantaranya satu telah dibaptis dalam Gereja Katolik atau diterima di dalamnya dan tidak meninggalkannya dengan tindakan formal, sedangkan yang lain tidak dibaptis, adalah tidak sah. § 2. Dari halangan itu janganlah diberikan dispensasi, kecuali telah dipenuhi syarat-syarat yang disebut dalam kan. 1125 dan 1126. § 3. Jika satu pihak pada waktu menikah oleh umum dianggap sebagai sudah dibaptis atau baptisnya diragukan, sesuai norma kan. 1060 haruslah diandaikan sahnya perkawinan, sampai terbukti dengan pasti bahwa satu pihak telah dibaptis, sedangkan pihak yang lain tidak dibaptis.
Pada paragraf pertama dari kanon diatas ingin dikatakan bahwa tidak sahlah perkawinan antara orang katolik dengan orang yang tidak dibaptis. Untuk sahnya maka butuh dispensasi dari ordinaris wilayah untuk halangan nikah beda agama ini. Untuk diketahui bersama bahwa halangan nikah beda agama adalah halangan nikah yang bersifat gerejawi, karena itu dapat didispensasi.
Sederhananya, pihak Katolik dapat menikah secara secara sah setelah mendapat dispensasi dari halangan nikah beda agama ini. Sebagai halangan hukum gerejawi, maka hanya mengikat umat Katolik dan mereka yang menikah. Yang perlu juga diingat disini adalah untuk halangan nikah beda agama yang dibutuhkan adalah dispensasi.
Sedangkan untuk yang kawin campur (kan.1124-1129) cukup dibutuhkan izin dari ordinaris wilayah. Kawin campur yang dimaksud disini adalah perkawinan antara seorang Katolik dan orang yang baptis tidak Katolik.
Lalu pada paragraf kedua dari kanon 1086 ingin dikatakan bahwa dispensasi atas halangan nikah beda agama itu baru atau hanya dapat diberikan setelah terpenuhi syarat-syarat yang disebutkan pada kan.1125.
Adapun syarat-syarat itu: pertama, pihak Katolik menyatakan kesediaan untuk menjauhkan segala macam bahaya meninggalkan imannya. Kedua, pihak Katolik berjanji dengan jujur bahwa akan berusaha sekuat tenaga untuk membaptis dan mendidik semua anaknya di dalam Gereja Katolik. Ketiga, pihak tak dibaptis diberi tahu tentang janji-janji yang dibuat oleh pihak Katolik. Keempat, kedua pihak diberi penjelasan tentang tujuan dan sifat-sifat hakiki perkawinan.
Adanya larangan dan sekaligus syarat-syarat pada dispensasi ini sebenarnya mau menegaskan bahwa setiap umat Katolik, yang adalah Gereja, terikat kewajiban untuk melindııngı dan menjaga imannya dari segala bahaya, termasuk bahaya dalam hidup berkeluarga dengan orang yang tak seiman Pihak yang non-katolik tidak diharuskan membuat janji, tetapi harus disadarkan akan apa yang telah dijanjikan pihak Katolik.
Jika pernyataan dan janji ini tidak dibuat, dispensasi dari halangan disparitas cultus ini menjadi tidak sah. Ada tujuan mulia disini yakni demi menjaga iman pihak Katolik dan demi kepentingan umum Gereja.
Perkawinan Beda Agama di Indonesia
Dalam konteks kita di Indonesia, tema tentang Perkawinan diatur dalam UU No. I Tahun 1974, Pasal 1, yang menegaskan bahwa: perkawinan adalah sebuah ikatan lahir bahtin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Soal keabsahan suatu perkawinan diatur pada Pasal 2 UU No. 1 Tahun 1974. Norma pada pasal 2 ini menegaskan bahwa: perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Norma yang terbaru muncul dalam Surat Edaran Mahkama Agung (SEMA) tentang perkawinan beda agama (SEMA No. 2 Tahun 2023). Dalam SEMA Nomor 2 Tahun 2023 dijelaskan bahwa untuk memberikan kepastian dan kesatuan hukum dalam mengadili permohonan pencatatan perkawinan antarumat beragama yang berbeda agama dan kepercayaan, para hakim harus berpedoman pada ketentuan sebagai berikut: (1) Perkawinan yang sah adalah yang dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu, sesuai Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 8 huruf f UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. (2) Pengadilan tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antar umar beragama yang berbeda agama dan kepercayaan.
Pertanyaan yang bisa muncul adalah apakah SEMA ini akan mengakhiri perkawinan beda agama? Rasa-rasanya tidak. Tanpa bermaksud untuk berpikir pesimistik, SEMA ini tidak akan mengakhiri perkawinan beda agama. Kehadiran SEMA yang bisa diapresiasi adalah untuk menyudahi kekaburan keabsahan perkawinan beda agama. Tapi sekali lagi SEMA ini tidak berarti apa-apa dalam praktik hukum.
Perspektif Pastoral Untuk Perkawinan Beda Agama (Katolik-Islam)
Bagian ini akan dibahas beberapa gagasan yang lebih bersifat pastoral. Kita sedang berbicara tentang orang-orang muda yang telah memutuskan untuk menikah. Dan seperti biasanya dalam pengalaman perjumpaan kasus, seorang wanita Katolik yang meminta untuk menikah dengan seorang Muslim.
Situasi perkawinan seperti ini tentu tidaklah mudah. Oleh karena itu, dari sudut pandang pastoral ada hal-hal praktis-pastoral yang perlu digarisbawahi.
Hal pertama yang harus dilakukan adalah memberi tahu pihak Katolik (dalam sebagian besar kasus, pihak wanita) tentang budaya yang berbeda antara Katolik dan Muslim, misalnya: konsepsi kaum Muslim tentang keluarga, tentang pasangan atau tentang wanita.
Artinya bahwa kesulitan-kesulitan menjadi nyata dan konkret yang harus dihadapi oleh perkawinan beda agama semacam inisebab risiko kegagalannya cukup besar, seperti yang telah ditunjukkan oleh kenyataan dan pengalaman-pengalaman selama ini.
Persiapan pasangan untuk menikah tetaplah menjadi hal fundamental untuk diberi perhatian khusus. Diperlukan refleksi yang melampaui kursus pranikah yang normal. Umumnya, tanggung jawab ini berada di tangan pastor paroki pihak wanita.
Dalam situasi ini, para agen pastoral di paroki, harus dipersiapkan dengan baik agar bisa terlibat dalam proses persiapan pranikah pasangan yang berbeda agama ini.
Perhatian khusus pun harus diberikan pada saat pernikahan yang dirayakan, tentu didahului dengan adanya dispensasi kanonik dari halangan nikah beda agama. Pasangan nikah beda agama harus dipersiapkan dengan sangat serius. Dalam konteks ini, peraturan umum Gereja dari masing-masing konferensi waligerejaharus jelas dan ketat.
Setelah perayaan, ada kewajiban untuk mendampingi keluarga baru tersebut. Jelaslah bahwa, jika dalam tahap persiapan seseorang mencoba untuk mencegah pernikahan, setelah pernikahan dirayakan, adalah tepat, meskipun tidak selalu mudah, untuk menemaninya.
Di sini, pelayanan dan pendampingan pastoral perlu lebih intensif dan hendaknya jauh lebih banyak daripada perkawinan yang normal atau biasa. Jelaslah bahwa mereka yang telah mempersiapkan pasangan tersebut harus terus melihat dan menemani mereka, sama seperti dukungan dari komunitas Katolik yang tidak boleh berkurang. Atau menjadi penting dan tidak bisa diabaikan jalinan relasi dan dukungan dari keluarga-keluarga Katolikyang ada disekitar mereka.
Lalu dalam kaitan dengan SEMA No. 2 Tahun 2023 tentang perkawinan beda agama, beberapa keuskupan mengambil jalan pastoral (sementara) dengan tidak begitu mudah dan gampang atau bahkan tidak sama sekali memberikan dispensasi dari halangan nikah beda agama kepada umatnya. Tujuannya jelas yakni: demi menjaga iman pihak Katolik dan demi kepentingan umum Gereja.
Akhirnya, saya percaya bahwa banyak hal menarik lain, dan tentu saja lebih mendalam, dari apa yang saya katakan disini, terlebih bagi mereka yang setiap hari tenggelam dalam hiruk-pikuk dan rumitnya masalah perkawinan.
Saya hanya percaya bahwa saya sedang mengingatkan kita tentang masalah perkawian beda agama ini dalam aspek yang paling konkret. Saya beranggapan bahwa saya tidak memulai dari hal yang abstrak, tetapi dari fakta bahwa dua orang muda, dalam hal ini seorang Kristen dan seorang Muslim, datang dan meminta untuk menikah.
Quid faciendum? Saya percaya bahwa anda, saya dan kita semua, jika pernah mengalami kasus atau masalah perkawinan beda agama ini, pasti mengalami kesulitan untuk membuat mereka menarik diri dari situasi yang mereka alami. Memang benar ada pepatah yang mengatakan: cinta itu buta.
Tapi kita, bagaimanapun juga perlu memperjelas bahwa cinta tidak bisa buta jika cinta itu seharusnya mengarah pada kebahagiaan. Dan belum tentu pasangan Islam-Katolik, setelah membuka mata mereka, akan memutuskan untuk menikah dan hidup dengan bahagia.
Dr. Doddy Sasi, CMF (Ketua Tribunal Gereja KAK, Dosen STIPAS KAK)