Katolikpedia.id – Dalam tulisan sederhana ini, saya akan mengulas secara singkat tema tentang para Uskup pada umumnya. Kembali salah satu rujukan yang akan dipakai adalah Kitab Hukum Kanonik kita (bdk. kan. 375-411).
Kan. 375§1-2, menampilkan sebuah prinsip teologis tentang para Uskup dengan mengatakan bahwa: “Para uskup berdasarkan penetapan ilahi adalah pengganti-pengganti para rasul (Apostolorum locum succedunt)…, dengan dan karena tahbisan episkopalnya mereka menerima dan mengemban tugas untuk mengajar, menguduskan dan memimpin…”.
Pada umumnya ada dua tipe Uskup, yakni pertama, Uskup diosesan, yang padanya dipercayakan reksa dari sebuah keuskupan. Kedua, Uskup Tituler, yakni uskup-uskup lainnya, termasuk di dalamnya Uskup emeritus, Uskup koajutor, Uskup auksilier, Uskup prelatur dan Uskup militer.
Uskup Diosesan (Kan. 381-402)
Kan. 381 menampilkan tiga jenis kuasa dari seorang Uskup diosesan (Kan. 381), yakni kuasa berdasar jabatan (Ordinaria), kuasa atas nama sendiri (propria), yang mana tidak bisa didelegasikan dan kuasa yang bersifat langsung (immediata).
Seorang Uskup diosesan juga mempunyai kuasa legislatif yang mana dijalankannya sendiri, kuasa eksekutif bisa dijalankannya sendiri juga atau melalui seorang Vikaris jenderal atau Vikaris episkopal dan kuasa yudikatif, bisa dijalankannya sendiri atau seorang Vikaris yudisial dan para hakim.
Lalu kan. 382 berbicara soal pengambil-alihan jabatan secara kanonik. Ada beberapa pesan penting dalam kan.382 ini:
Pertama: jika belum ditahbiskan sebagai Uskup maka ia dapat mengambil-alih secara kanonik keuskupannya 4 bulan setelah menerima surat apostolik.
Kedua: jika sudah ditahbiskan sebagai maka pengambil-alihan dapat dilakukan 2 bulan setelah menerima surat apostolik.
Ketiga: pengambil-alihan secara kanonik keuskupannya, bisa ia sendiri atau melalui seorang wakil, dengan menunjukkan surat apostolik kepada kolegium konsultor dengan dihadiri kanselir kuria yang membuat berita acara.
Kan. 383 berbicara soal reksa pelayanan dari seorang Uskup diosesan. Ditegaskan bahwa dalam menjalankan tugas sebagai seorang gembala, ia harus memperhatikan: Semua orang beriman (umat Allah dan semua kaum terbaptis), umat beriman dari ritus yang berlainan, saudara-saudara yang tidak berada dalam persekutuan penuh dengan gereja Katolik dan juga mereka yang tidak terbaptis.
Lalu kan. 384-402 menampilkan beberapa kewajiban lain dari seorang Uskup diosesan, antara lain: dalam pelayanan dan pengajarannya hendaknya ia menyampaikan kebenaran-kebenaran iman dan moral, memperhatikan dan mendengarkan serta mendampingi para imamnya, ia harus tinggal di keuskupannya dan sangat diharapkan tidak meninggalkan keuskupannya lebih dari sebulan, mengunjungi keuskupan seluruhnya atau sebagian setiap tahun, kunjungan ad limina ke Bapa Suci, dan para Uskup yang genap berusia 75, atau karena alasan kesehatan atau alasan berat lainnya diminta untuk mengajukan pengunduran diri kepada Paus.
Baca Juga: Apa itu Kunjungan Ad Limina? Ini Penjelasan Lengkapnya!
Sedangkan untuk proses penunjukan, pengangkatan dan pemilihan seorang Uskup, kan. 377§ 1-2 bisa menjadi rujukkan kita. Yang paling mendasar bahwa seorang Uskup itu diangkat dan dipilih dengan bebas oleh Paus (kan.377§1).
Adapun beberapa yang dilewati:
Langkah pertama: yang sangat penting dalam pemilihan seorang uskup adalah melihat daftar imam, baik dari keuskupan maupun dari anggota tarekat hidup bakti. Daftar nama para imam harus disusun tiap tiga tahun dengan tujuan agar selalu ada kebaruan.
Langkah yang kedua: jika setiap hendak ditunjuk Uskup diosesan maka Nunsius atau delegasi Apostolik perlu berkonsultasi dengan pihak-pihak tertentu. Nunsius Apostolik kemudian menyusun daftar pendek dari tiga calon untuk penyelidikan lebih lanjut dan mencari informasi yang tepat tentang masing-masing dari mereka. Dia kemudian akan mengirimkan ke Tahta Suci sebuah daftar, yang dikenal sebagai “terna”, dengan nama dari tiga calon yang dinilai paling tepat untuk menjadi seorang Uskup.
Langkah yang ketiga: Dikasteri di Kuria Roma yang bertanggung jawab atas penunjukan atau pemilihan seorang Uskup (Indonesia sebagai negara misi maka yang bertanggung jawab adalah Kongregasi Untuk Evangelisasi bangsa-Bangsa/Propaganda Fide) mempelajari semua dokumen yang diberikan oleh Nunsius atau Delegasi Apostolik.
Dikasteri (Propaganda Fide) bisa saja menerima atau bisa juga dapat menolak semua calon yang telah diusulkan dan meminta untuk menyiapkan daftar lain, atau meminta untuk memberikan lebih banyak informasi dan jelas tentang satu atau lebih calon imam yang telah diajukan.
Ketika Dikasteri memutuskan imam mana yang harus ditunjuk, Dikasteri menyajikan kesimpulan akhirnya kepada Paus dan diusulkan kepada Paus untuk mengangkatnya. Jika Paus setuju, pemilihan oleh Paus dikomunikasikan kepada Nunsius atau Delegasi Apostolik untuk mendapatkan persetujuan dari imam yang bersangkutan atas pengangkatannya dan untuk memilih tanggal diumumkannya.
Syarat-syarat umum yang harus terpenuhi adalah selain berumur paling sekurang-kurangnya 35 tahun dan sekurang-kurangnya telah ditahbiskan menjadi imam, ia harus “unggul dalam iman, bermoral baik, saleh, perhatian pada jiwa-jiwa (zelus animarum), bijaksana, arif serta memiliki keutamaan-keutamaan manusiawi, sifat-sifat lain yang cocok untuk melaksanakan jabatan tersebut”.
Selain itu ia telah “memperoleh gelar doktor atau setidak-tidaknya lisensiat dalam Kitab Suci, teologi atau hukum kanonik dari lembaga pendidikan tinggi yang disahkan oleh Takhta Apostolik, atau sekurang-kurangnya ahli sungguh-sungguh dalam disiplin-disiplin itu”. Tapi sekali lagi bahwa penilaian definitif soal kecakapan calon ada pada Tahkta Apostolik (kan.378§2).
Uskup Koajutor (kan. 377§3, 403-411).
Penyebutan tentang Uskup koajutor memang ada pada kan.377§3 tapi pembahasan agak terperinci ada pada kan.403-411. Kan. 403, menampilkan satu kekhasan prinsipil bagi seorang Uskup koajutor yang mana dengan pengangkatannya ia dengan kewenangan khusus dan mempunyai hak mengganti.
Tugas seorang Uskup koajutor adalah mendampingi Uskup diosesan dalam seluruh kepemimpinan keuskupan dan mewakilinya bila ia tidak ada atau terhalang (kan.405§2).
Seorang Uskup koajutor bisa diangkat pula oleh Uskup diosesan menjadi Vikaris jenderal di keuskupannya atau sekurang-kurangnya menjadi Vikaris episkopal.
Sedangkan untuk proses pemilihan seorang Uskup koajutor, ada beberapa langkah yang bisa kita catat, antara lain: pengajuan nama calon oleh Uskup diosesan ke Tahkta Suci melalui Nunsius.
Dalam kasus ini, Nunsius bertugas untuk menyelidiki, menilai dan menyampikan kepada Tahkta Suci. Nunsius perlu mendengar pula saran dari Uskup metropolit dan para Uskup sufragan, mendengar pendapat juga dari konferensi para Uskup, mendengar juga pendapat beberapa orang dari dewan/kolegium konsultor dan kapitel katedral, juga pendapat lain dari kalangan klerus diosesan dan religius serta pendapat kaum awam yang unggul dalam kebijaksanaan, berpengalaman dan dalam kesatuan penuh dengan Gereja.
Uskup Auksilier (Kan. 377§4, 403-411)
Kan. 403, menampilkan dua kekhasan bagi seorang Uskup auksilier, yakni: seorang Uskup auksilier tidak mempunyai hak mengganti tapi bisa saja ia dibekali atau mendapat kewenangan khusus tertentu.
Sama seperti Uskup koajutor, seorang Uskup auksilier bertugas mendampingi Uskup diosesan dalam seluruh kepemimpinan keuskupan dan mewakilinya bila ia tidak ada atau terhalang (kan.405§2).
Seorang Uskup auksilier, bisa diangkat pula oleh Uskup diosesan menjadi Vikaris Jenderal di keuskupannya atau sekurang-kurangnya menjadi Vikaris episkopal. Dan bisa saja dengan alasan yang layak dan pantas seperti kebutuhan pastoral membutuhkannya maka bisa ada lebih dari seorang Uskup auksilier di sebuah keuskupan.
Adanya seorang Uskup auksilier biasanya terjadi atas permintaan dari Uskup diosesan entah karena cakupan wilayah yang luas atau alasan khusus lainnya. Uskup diosesan mengajukan daftar nama sekurang-kurangnya 3 nama imam ke Tahkta Suci, dengan diikuti proses-proses yang sama seperti pemilihan seorang Uskup diosesan atau Uskup koajutor.
Hal prinsipil lain yang perlu ditegaskan bagi seorang Uskup auksilier bahwa seorang Uskup auksilier tidak mempunyai hak mengganti tapi dalam kasus tertentu Paus bisa mengangkat dia untuk menjadi Uskup diosesan di keuskupan lain atau bahkan di keuskupan yang sama, tempat ia sebagai Uskup auksilier.
Soal waktu tahbisan untuk para Uskup (Kan.379) ditegaskan bahwa mereka yang diangkat dan dipilih menjadi Uskup harus menerima tahbisan, 3 bulan sejak penerimaan surat apostolik dari Tahkta Suci. Dan sebelum mengambil alih secara kanonik jabatannya, para Uskup yang dipilih harus mengucapkan pengakuan iman dan sumpah kesetiaan kepada Tahkta Suci.
Saya menutup ulasan singkat ini dengan kutipan dari kanon: “Para Uskup diangkat dengan bebas oleh Paus, atau mereka yang terpilih secara legitim dikukuhkan olehnya” (kan.377§1).