Katolikpedia.id
Berita Paus Fransiskus

Dokumen Hidup Bakti: Karunia Kesetiaan dan Sukacita Ketekunan

Dokumen Hidup Bakti

Katolikpedia.id – “Karunia kesetiaan dan Sukacita ketekunan”: (Ita: “Il Dono Della Fedeltà-La Gioia Della Perseveranza”, Eng: “The Gift of Fidelity-The Joy of Perseverance”), adalah judul dokumen terbaru yang dikeluarkan oleh Kongregasi Hidup Bakti dan Serikat Hidup Kerasulan pada tahun 2020. Dokumen ini diterbitkan oleh Lembaga Penerbit Vatikan (Liberaria Editrice Vaticana) dan dipresentasikan secara online pada 10 Desember 2020 dan 4 Maret 2021 kemarin. Teks dari dokumen ini merupakan hasil sidang pleno Dikasteri untuk Hidup Bakti yang dilangsungkan di Roma pada tahun 2017 lalu.

Dokumen ini memuat tiga bab menarik. Bab pertama tampil dengan judul “Melihat dan mendengarkan”. Bab yang kedua tentang “Menghidupkan kembali kesadaran dalam diri sendiri”, dan bab yang ketiga membahas tentang Perpisahan dari Institut. Sub judul dari dokumen ini diambil dari penggalan Injil Yohanes: “Manete in dilectione mea” (Tinggalah di dalam kasih-Ku).

Ada beberapa kutipan mendasar yang bisa menjadi bagian awal yang mendasari dokumen ini. Yang pertama dari kutipan Tinggalah di dalam kasih-Ku (Yoh 15: 9): ini adalah permintaan yang Yesus buat kepada murid-muridNya pada Perjamuan Terakhir. Tinggalah: “Di sinilah letak kekuatan panggilan orang-orang yang dikuduskan”. Keharusan ini juga merupakan penyampaian, persembahan dari “kebenaran fundamental” yang memungkinkan kita untuk “tetap berada dalam persekutuan yang vital dengan Kristus” (Francesco, La forza della vocazione. Conversazione con Fernando Prado, CMF, 44 ).

Kepercayaan kepada para murid kemarin dan hari ini, khususnya kepada pria dan wanita yang dikuduskan dalam menghadapi tantangan hidup di dunia yang sangat sekuler saat ini, memunculkan kekhawatiran atau resiko bahwa kaum terpanggil kehilangan semangat kesetiaan dan sukacita sebagai sumbangan mereka yang paling berharga bagi Kristus dan Gereja.

Kutipan yang kedua adalah, dari pidato Paus Fransiskus dalam audiensi pada 28 Januari 2017 di sesi pleno Kongregasi untuk Tarekat Hidup Bakti dan Serikat Hidup Kerasulan. Inti pidato Paus saat itu tentang kesetiaan dan sukacita ketekunan. Sekilas isi pidato Paus waktu itu: “Pada saat ini, kesetiaan diuji…. Kita menghadapi “pendarahan” yang melemahkan hidup

bakti dan kehidupan Gereja. “Pengabaian” (bisa dibaca: mereka yang meninggalkan) hidup bakti membuat kita khawatir. Memang benar bahwa beberapa orang mengalami inkonsistensi dalam panggilannya, ada yang setelah dengan discernment yang serius kemudian mengatakan bahwa mereka tidak pernah memiliki panggilan; lalu ada pula yang dengan berlalunya waktu menjadi gagal untuk setia, Apa yang terjadi?”. “Pengabaian dalam hidup bakti membuat kita semua khawatir,” kata Paus Fransiskus.

Kepedulian ini dirasakan di semua bidang hidup bakti. Refleksi tentang perpisahan dengan Institut atau tarekat, yang dimulai beberapa waktu lalu di dalam Kongregasi, kemudian menghasilkan penjabaran Pedoman yang berjudul: Karunia kesetiaan dan Sukacita ketekunan. Refleksi dan pedoman ini ditujukan untuk semua pria dan wanita yang dikuduskan (perempuan, laki-laki, pemimpin, atau pun pembina), dengan keyakinan bahwa kesetiaan dalam ketekunan “tertanam dalam identitas yang mendalam dari pria dan wanita yang dikuduskan” (n. 1).

Melihat dan mendengarkan

Siapa pun yang mengharapkan analisis terperinci akan penyebab mendasar dari “pengabaian” (bisa dibaca: “meninggalkan”) yang terjadi pada panggilan kaum hidup bakti pasti akan kecewa. Sebab tidak mudah memperhatikan kompleksitas fenomena yang mempengaruhi tiap wilayah kontinental tempat dimana kaum hidup bakti berada, lalu konteks dari masing-masing yang yang tidak sama, dan dimensi sosial-budaya yang juga berbeda dari satu dan lain tempat menjadi alasan sulitnya menyusun sebuah analisis yang bisa memuaskan setiap kita. Karena itu “gambaran fenomena” yang ditampilkan dalam dokumen ini bisa saja tidaklah utuh dan lengkap. Tetapi usaha yang dibuat sejauh ini adalah dengan melihat dan mendengarkan situasi pribadi, komunitas dan kelembagaan yang mengungkapkan isu-isu kritis.

Perlu kita akui bahwa hidup bakti di dunia ini bukanlah soal sekumpulan institusi, melainkan soal organ, tubuh yang hidup, yang dapat berubah, dan terkadang perubahannya tidak dapat diprediksi. Dalam proses perubahan yang sedang berlangsung, mentalitas dan kepekaan budaya dan generasi adalah variabel yang harus diperhitungkan, terutama ketika kaum hidup bakti berhadapan dengan situasi dan berada dalam masalah “pengabaian” panggilan mereka. Oleh karena itu, bagian pertama dari dokumen ini berbicara tentang – pandangan dan pendengaran (melihat dan mendengarkan)– yang dibatasi pada beberapa situasi bermasalah dalam fenomena “pengabaian” yang lebih luas.

Secara konkret, dalam konteks ini, pertanyaan yang bisa muncul adalah bagaimana bisa mencegah asal mula dan akibat dari kaum hidup bakti yang “mengabaikan atau meninggalkan” panggilan mereka? Tawaran yang muncul adalah dengan mengaktifkan jalur pencegahan dalam formasi dan formasi akan “discernimento”. Dan, pada saat yang sama, hal perlu diperhatikan juga adalah dengan tidak mudah jatuh pada pesimisme yang pada akhirnya mengambil sikap pasif pasrah, atau lebih buruk, bereaksi dengan cara yang tidak bertanggung jawab, dengan keyakinan bahwa tidak ada lagi yang harus dilakukan.

Menghidupkan Kembali Kesadaran

Pada bagian yang kedua, dibahas dengan sangat menarik tentang bagaimana menghidupkan kembali kesadaran diri kaum terpanggil. Inti pembahasan yang tertangkap pada bagian ini adalah soal makna kesetiaan dan ketekunan pria dan wanita yang dikuduskan. Sebenarnya tema ini bukanlah tema yang baru sebab melalui kekayaan magisterium Gereja dari Konsili Vatikan II hingga kini – dengan tema identitas dan panggilan untuk hidup bakti dalam Gereja terlebih seputar masalah dan kesulitan orang-orang yang dikuduskan sudah cukup sering dibicarakan.

Tapi ingatlah bahwa, identitas dan panggilan itu tidak “kadaluwarsa”. Dan dari tiap refleksi magisterium jutsru ingin memperdalam hubungan erat antara kesetiaan dan ketekunan yang diasumsikan sebagai kunci untuk bisa menafsirkan pengalaman otentik hidup bakti: dari mendengarkan Sabda Tuhan, hidup persaudaraan dalam komunitas, karunia nasihat-nasihat injili, dan misi …; dan sintetisasi dari semua pengalaman ini terangkum dalam ungkapan “ketekunan dalam kesetiaan” (Redemptionis Donum, 17).

BACA: Derita Tumor Otak, Gadis Cantik ini Persembahkan Rasa Sakitnya Untuk Gereja dan Para Imam

Karunia kesetiaan dimanifestasikan dalam sukacita ketekunan: sukacita itu bersinar melalui wajah pria dan wanita yang dikuduskan. Rentetan magisterium Paus Fransiskus sangat memberi perhatian lebih pada dimensi sukacita ini. Misalkan saja, melalui Evangelii Gaudium, Amoris Lætitia, atau Gaudete et Exultate, Paus terus-menerus mengundang orang yang dikuduskan untuk bersaksi tentang sukacita: “Inilah indahnya konsekrasi”! Sukacita bagi Paus Fransiskus bukanlah hiasan yang tidak berguna, tetapi merupakan kebutuhan dan landasan hidup manusia.

Dalam kesusahan sehari-hari, setiap pria dan wanita harus bisa tetap berdiam dalam sukacita dengan segala totalitas keberadaan mereka. Sukacita adalah mesin ketekunan. «Sukacita datang dari perjumpaan yang gratis dengan Dia! […] Dan sukacita perjumpaan dengan Dia dalam panggilan, membuat kita tidak menutup, tetapi terbuka; terbuka pada pintu pelayanan Gereja. St. Thomas Aquinas berkata “bonum est diffusivum sui”. Kebaikan itu menyebar. Dan sukacita juga menyebar. Jangan takut untuk menunjukkan sukacitamu karena engkau telah menanggapi panggilan Tuhan, memilih kasihNya dan untuk memberikan kesaksian tentang InjilNya dalam pelayanan Gereja. Dan sukacita, yang asli, itu menular; menginfeksi … itu membuat kita terus berjalan “(Fransiskus, Pertemuan dengan para seminaris dan para novis pada kesempatan Tahun Iman, 6 Juli 2013).

Kesetiaan dalam ketekunan dibentuk dalam discerment. Karena itu, saat ini prospek dari proses discernment dalam pendampingan harus lebih matang, terlebih pada saudara dan saudari yang berada dalam kesulitan dan – ketika sampai pada pilihan yang menyakitkan dan sulit – kita tetap perlu menyertai mereka untuk mencari jalan yang berbeda dan makna baru dari pilihan hidup baru mereka itu. Kita bisa mengambil contoh dengan membaca ulang fenomena “pengabaian-meninggalkan” dalam proses discerment yang menantang institut-institut hidup bakti untuk mengatasi mentalitas reduktif atau “memecahkan masalah” pada mereka yang telah hidup melalui saat-saat sulit dan tegang dalam komunitas mereka.

Misalkan saja, ketika kepergian seorang konfrater atau kon-suster dianggap sebagai “pembebasan”, sebenarnya ada yang tidak beres di sepanjang jalur discernment dalam komunitas biara atau kongregasi itu. Menjadi catatan juga, seseorang seharusnya tidak mencapai tahap penegasan akhir panggilannya dengan melalui dan mengalami situasi pengucilan dari komunitas atau kongregasinya: jika ini terjadi, maka pada kenyataanya akan, berisiko memicu rasa kegagalan pada mereka yang pergi dan menimbulkan rasa tidak enak pada mereka yang tetap tinggal dalam komunitas biara.

“Aturan-aturan”: Sumber Daya Discerment

Bagian ketiga dari dokumen ini menawarkan gambaran umum tentang norma-norma kodeks kita dan praktiknya pada Dikasteri Hidup Bakti dan Serikat Hidup Kerasulan. Hasil dari proses discernment (seperti ketidakhadiran di komunitas, perpindahan, dikeluarkan dari institut …) dievaluasi dan disertai dalam peningkatan dan penghormatan non-formal dari hukum universal dan hukum partikular masing-masing institut. Bantuan norma-norma hukum ini hadir dengan tujuan untuk memperhatikan aspek tanggung jawab bersama: oleh mereka yang menyertai proses discerment dan oleh mereka yang sadar akan keputusan mereka.

Dalam perspektif ini, proses normatif sepenuhnya dituangkan dalam proses penegasan atau discerment yang benar. Rujukan pada proses disipliner bukan saja pada fungsi dari ketelitian norma-norma hukum, tetapi juga pada rasa tanggung jawab di mana setiap orang yang dikuduskan ditempatkan di depan konsistensi pilihan mereka, terutama yang paling sulit dan menyakitkan. Oleh karena itu, dalam pengalaman sehari-hari Kongregasi Hidup Bakti dan Serikat Hidup Kerasulan, dalam berhadapan dengan temuan informasi-dokumentasi yang tidak memadai biasanya akan ada intruksi “praktis” untuk menelusuri kembali proses evaluasi “kasus” yang ada, dengan tujuan untuk melindungi hak-hak subjek yang terlibat dan memverifikasi kebenaran dari Prosedur. Dalam proses seperti, “aturan-aturan” menjadi sumber daya discernment dan pemahaman yang berharga untuk kebaikan bersama.

Akhirnya, perlu juga kita akui bahwa kelelahan dalam kesetiaan dan melemahnya kekuatan ketekunan adalah pengalaman-pengalaman yang menjadi bagian dari sejarah hidup bakti, sejak dari permulaannya. Kesetiaan, seperti gerhana kebajikan ini di zaman kita saat ini. Kesetiaan ini terukir dalam identitas yang mendalam dari panggilan orang-orang yang dikuduskan: makna pilihan hidup kita di hadapan Allah dan Gereja. Konsistensi kesetiaan memungkinkan kita untuk menyesuaikan dan mendapatkan kembali kebenaran keberadaan diri kita sebagai kaum terpanggil yakni untuk tetap tinggal dalam kasih-Nya (Yoh.15:9). Bahkan saat ini akan kesetiaan dan ketekunan bisa saja kita dibisikkan oleh Dia: “Jangan takut […]. Aku menyertaimu untuk melindungimu “(Yer. 1:8).

Sumber:

  1. L’osservatore Romano
  2. Il dono della fedeltà. La gioia della perseveranza. Orientamenti., Congregazione per gli Istituti di Vita Consacrata e le Società di Vita Apostolica (cur.)., Libreria Editrice Vaticana, 2020.

Berita Terkait:

Mgr Sunarko dalam Webinar Bhumiksara: “Tuhan yang Mahakuasa tidak Perlu Dibela”

Redaksi

Paus Fransiskus: Di Dalam Ekaristi Ada Kekuatan dan Cinta Yesus

Edeltrudizh

Apa Betul di Gereja Katolik juga Sudah Ada Perceraian? Ini Jawabannya!

Dr. Doddy Sasi CMF
error: Content is protected !!