Katolikpedia.id
Berita Motivasi OMK

Memahami Perkawinan Campur dalam Gereja Katolik

Perkawinan Beda Gereja

Katolikpedia.id – Dalam Kitab Hukum Kanonik (KHK), dibedakan secara tegas antara perkawinan campur (mixta religio) dan perkawinan beda agama (disparitas cultus).

Perkawinan campur yang dimaksud di sini adalah perkawinan yang dilangsungkan oleh orang baptis Katolik atau yang diterima dalam Gereja Katolik dengan orang baptis tidak Katolik (bdk. Kan.1124).

Perkawinan ini lazim disebut juga sebagai perkawinan campur beda Gereja karena kedua pasangan yang ingin melangsungkan perkawinan berasal dari Gereja yang berbeda yakni yang satu dari Gereja Katolik sedangkan yang lain berasal dari Gereja Kristen yang tidak berada dalam kesatuan penuh dengan Gereja Katolik (bdk.kan.205).

Sifat perkawinan campur ini sakramental sejauh dilaksanakan secara sah antara dua orang yang sama-sama telah dibaptis secara sah (bdk.kan.1055-1056).

Persoalan kawin campur sebenarnya sudah cukup lama muncul dalam Gereja Katolik yakni sejak munculnya sekte-sekte heretik dan skismatik. Ada tiga konsili (Elvira, Laodicea dan Chalcedon) yang menentang keras perkawinan campur karena dinilai sangat membahayakan iman pihak Katolik dan tidak memberikan jaminan pasti terhadap pendidikan dan pembaptisan anak-anak yang lahir.

Lalu Konsili Trente, secara tegas melarang perkawinan campur dengan kaum heretik meski perkawinan itu tetap dianggap sah. Larangan ini mulai terasa lunak pada abad ke-18 dengan adanya dispensasi bagi perkawinan campur ini meski harus dengan alasan yang kuat.

Dispensasi ini awalnya hanya menjadi milik eksklusif Paus tapi kemudian hak untuk memberikan dispensasi juga diberikan bagi para Uskup di daerah misi.

Pada Kodeks 1917, persoalan perkawinan campur tetap dilihat sebagai halangan nikah yang mengagalkan perkawinan (bdk. 1060-1064 KHK 1917).

Dalam artian bahwa untuk melangsungkan perkawinan campur ini secara sah, seorang Katolik harus terlebih dahulu mendapat dispensasi dari halangan ini. Kala itu secara juridis dispensasi dipandang secara negatif.

Karena hukum gereja bertujuan untuk melindungi nilai-nilai komunal yang penting, maka dispensasi harus jarang diberikan dalam kasus-kasus yang normal dan umum.

BACA: 5 Suster Asal Indonesia Kaul Kekal di Roma

Singkatnya, dispensasi waktu itu tidak mudah untuk diberikan dan didapatkan. Namun, pada abad ke-20 dispensasi untuk halangan nikah perkawinan campur semakin banyak diberikan dan dianggap sebagai hal yang biasa.

Lalu dengan berkembang dan terbukanya Gereja Post Konsili Vatikan II, kekhawatiran seputar perkawinan campur masih saja tetap ada. Paus Paulus VI melalui Motu Proprio Matrimonia Mixta (31 Maret 1970) kembali mengingatkan bahwa perkawinan campur menimbulkan “hambatan bagi persekutuan spiritual penuh dari kedua pihak”.

Ditegaskan dan dingatkan lebih lanjut bahwa meskipun mereka berbagi iman yang sama dalam Kristus, Kitab Suci, dan elemen-elemen lain dari warisan Kristen, pasangan dalam perkawinan campur dapat saja membawa serta persoalan-persoalan baru dalam Gereja Kristus.

Cara-cara yang berbeda di mana gereja mereka masing-masing memahami dan menghayati warisan Kristen yang sama dapat menjadi sumber ketegangan dan kesalahpahaman dalam pernikahan mereka. Juga tidak dapat diabaikan bahaya dari keluarnya pihak Katolik dari Gereja Katolik.

Perkawinan campur adalah faktor tunggal yang paling signifikan dalam keputusan seorang Katolik untuk bergabung dengan gereja Kristen lain dan faktor penting untuk pihak Katolik keluar dari praktik keagamaannya.

Karena itu, sebagai hasil dari keprihatinan pastoral ini, umat Katolik harus meminta izin dari otoritas yang kompeten sebelum melangsungkan perkawinan campur. Pertanyaannya mengapa izin dan bukan lagi dispensasi?

Rupanya efek positif dari Konsili Vatikan II, sangat berpengaruh pada kodeks baru 1983. Dan pada kan.1124 KHK 1983, perkawinan campur tidak lagi dilihat sebagai halangan tapi sebagai larangan.

Karena kini hanya sebagai larangan maka cukup saja dengan meminta izin dari Ordinaris wilayah. Berbeda dengan perkawinan beda agama yang mana yang dibutuhkan adalah dispensasi dari halangan nikah beda agama.

Dan yang berwenang memberikan izin disini adalah ordinaris wilayah di tempat di mana pihak Katolik berdomisili atau kuasi-domisili atau di tempat di mana ia sebenarnya tinggal (kan. 136 KHK 1983).

BACA JUGA: Panduan Novena St Yudas Tadeus

Perkawinan campur yang dilangsungkan tanpa izin dari Ordinaris wilayah tetap dianggap sebagai perkawinan yang sah (validum) kendati tidak layak (illiceitum). Pemberian izin ini bisa juga didelegasikan kepada para Imam sedangkan untuk dispensasi tetap menjadi hak eksklusif Ordinaris wilayah.

Izin (untuk perkawinan campur: beda Gereja) dan dispensasi ( untuk beda agama) itu baru atau hanya dapat diberikan setelah terpenuhi syarat-syarat yang disebutkan pada kan.1125.

Adapun syarat-syarat itu: pertama, pihak Katolik menyatakan kesediaan untuk menjauhkan segala macam bahaya meninggalkan imannya. Kedua, pihak Katolik berjanji dengan jujur bahwa akan berusaha sekuat tenaga untuk membaptis dan mendidik semua anaknya di dalam Gereja Katolik. Ketiga, pihak tak dibaptis diberi tahu tentang janji-janji yang dibuat oleh pihak Katolik. Keempat, kedua pihak diberi penjelasan tentang tujuan dan sifat-sifat hakiki perkawinan.

Adanya larangan dan sekaligus syarat-syarat pada dispensasi ini sebenarnya mau menegaskan bahwa setiap umat Katolik, yang adalah Gereja, terikat kewajiban untuk melindııngi dan menjaga imannya dari segala bahaya, termasuk bahaya dalam hidup berkeluarga dengan orang yang tak seiman Pihak yang non-katolik tidak diharuskan membuat janji, tetapi harus disadarkan akan apa yang telah dijanjikan pihak Katolik. Ada tujuan mulia disini yakni demi menjaga iman pihak Katolik dan demi kepentingan umum Gereja.

  • Referensi:
  • JOHN P. BEAL, New Commentary On The Code Of Canon Law, Paulist Press, New York, N.Y./Mahwah, N.J., 2000.
  • PAOLO VI: Lettera Apostolica in forma Motu Proprio: Matrimonia Mixta, 31 Marzo 1970.
  • ROBERTUS RUBIYATMOKO, Perkawinan Katolik Menurut KHK, Kanisius, Yogyakarta, 2011.

Berita Terkait:

Selamat Jalan Mgr. Fransiscus Xaverius Sudartanta Hadisumarta

Edeltrudizh

Bukalah Kitab Suci Sesering Kamu Membuka Handphone

Frater Andreas Anggit W

Dua Diakon Ini Akan Ditahbiskan Menjadi Imam Projo Keuskupan Surabaya

Redaksi
error: Content is protected !!