Katolikpedia.id – Tulisan ini akan menguraikan secara sederhana prosedur untuk dispensasi bagi imam yang meninggalkan imamatnya dan memilih status sebagai awam dengan permohonan reskrip dari Takhta Suci.
Sering kita mendengar istilah laisasi (laikalisasi) untuk menjelaskan proses imam menjadi awam. Namun, dalam Kitab Hukum Kanonik (KHK), istilah tersebut tak ditemukan. KHK menyebutnya dengan nama kehilangan status klerikal (la perdità dello stato clericale).
Istilah laisasi (laikalisasi) diartikan sebagai proses yang mengarah menjadi awam dari statusnya sebagai klerus (imam).
Istilah laisasi ini berasal dari bahasa Latin: laicus; Italia, laicale; Inggris, laicization, yang berarti kaum awam. Dalam bahasa Indonesia, lebih dikenal dengan sebutan laisasi mesti yang benar sebenarnya adalah laikalisasi.
Sedangkan kehilangan status klerikal dalam KHK memiliki makna yang jauh lebih luas yakni, tak hanya proses menjadi awam saja tapi seorang imam kehilangan hak-hak klerus dan ia tidak terikat lagi dengan kewajiban-kewajiban klerikal.
Sebelumnya pada KHK 1917, ada pembicaraan tentang hilangnya status klerikal tapi dengan menggunakan istilah “reductio clerici ad statum laicalem”, yang menyiratkan arti bahwa posisi hirarkis kaum klerus lebih tinggi daripada yang kaum awam.
Dengan Konsili Vatikan II, tema “hilangnya status klerikal”, mulai lunak dan ringan artinya, dengan menggunakan istilah “de amissione status clericalis”. Dan KHK 1983 menggunakan istilah dari KV. II ini.
Deskripsi Kanon
Pada kan. 290 ditegaskan bahwa seorang klerus kehilangan status klerikalnya melalui 3 cara: pertama, dengan putusan pengadilan atau dekret administratif yang menyatakan tidak sahnya tahbisan.
Sejak 2011 dengan Motu Proprio Quaerit Semper Kompetensi untuk persoalan ini diambil dan diselesaikan oleh Kantor Rota Romana.
Kedua, oleh hukuman pemecatan yang dijatuhkan secara legitim. Pemecatan/dikeluarkannya seorang dari status klerikalnya menjadi bagian dari hukuman silih dan bersifat tetap (c.1336, 5).
Ada enam kejahatan dimana pemecatan dari status klerikal dapat diputuskan:
1). Kan.1364 §2: kejahatan kemurtadan, bidaah dan perpecahan (apostasis, heresi, skisma).
2). Kan.1367: pencemaran terhadap barang yang dikuduskan, misalnya dengan membuang hosti suci atau membawa maupun menyimpannya untuk tujuan sakrilegi.
3). Kan. 1370 §1: Kekerasan fisik terhadap Paus. Kutipan kanonnya demikian: Yang menggunakan tindak kekerasan fisik terhadap Paus, terkena ekskomunikasi latae sententiae yang direservasi bagi Takhta Apostolik; jika ia seorang klerikus, dapat ditambahkan hukuman lain selaras dengan beratnya tindak pidana, tak terkecuali dikeluarkan dari status klerikal.
4). Kan.1387: Imam, yang dalam melayani atau dalam kesempatan melayani maupun dalam berpura-pura melayani sakramen pengakuan, mengajak peniten untuk berdosa melawan perintah keenam dari Dekalog, hendaknya dihukum menurut beratnya tindak pidana dengan suspensi, larangan, pencabutan, dan dalam kasus-kasus yang lebih berat hendaknya dikeluarkan dari status klerikal.
5). kan.1394 §1: klerikus yang mencoba menikah, juga secara sipil saja, terkena suspensi latae sententiae; apabila ia, meskipun sudah diperingatkan, tidak menyesal dan terus membuat sandungan, dapat dihukum secara bertahap dengan pencabutan-pencabutan, sampai dikeluarkan dari status klerikal.
6). Kan.1395 §1: Klerikus yang berkonkubinat, selain kasus yang disebut dalam Kanon 1394, dan klerikus yang tetap berada dalam dosa lahiriah lain melawan perintah keenam dari Dekalog dengan memberikan sandungan, hendaknya dihukum dengan suspensi; jika sesudah diperingatkan, tindak pidana masih berjalan terus, secara bertahap dapat ditambah dengan hukuman-hukuman lain sampai dikeluarkan dari status klerikal.
Ketiga, oleh reskrip (Surat Jawaban) Takhta Apostolik; reskrip ini diberikan oleh Takhta Apostolik bagi para diakon hanya karena alasan-alasan yang berat dan bagi para imam hanya karena alasan-alasan yang sangat berat.
Untuk reskrip ini harus atas permintaan pihak yang berkepentingan. Permintaan itu dibuat secara pribadi oleh klerus itu sendiri entah diakon atau imam, yang ditujukan kepada Tahta Suci.
Reskrip ini kemudian dikirimkan kepada prelatus pemohon sendiri yaitu Ordinaris wilayah untuk imam diosesan dan Pemimpin tinggi untuk para religius untuk disampaikan kepada pemohon.
Sejak tahun 2005 Kongregasi untuk klerus yang memiliki yurisdiksi untuk memutuskannya. Biasanya seorang klerus entah diakon atau imam meminta untuk dibebaskan dari kewajiban dan hak yang berkaitan dengan status klerikalnya. Jika pemohon adalah seorang religius, reskrip itu juga memuat dispensasi dari kaul.
Hukum Acara
Kini kita akan melihat bersama beberapa norma prosedural proses administrasi yang berkaitan dengan reskrip dari Takhta Suci.
Ada dua tahap dari proses ini: tahap pertama di tingkat keuskupan atau lembaga hidup bakti atau serikat hidup kerasulan, dan tahap yang kedua di tingkat Dikasteri Kuria Roma (di Vatikan) yaitu Kongregasi Klerus.
a) Fase pertama
Kompetensi biasa
“Ordinaris yang berwenang untuk menerima permintaan dan untuk memberi petunjuk adalah Ordinaris wilayah tempat inkardinasi, atau Pemimpin Tinggi, jika ia adalah anggota tarekat klerikal hidup bakti dengan hak kepausan” (Pasal 1). Namun, jika tidak mungkin untuk mengajukan permintaan dengan Ordinaris sendiri, Ordinaris wilayah tempat dimana pemohon tinggal. Untuk alasan yang proporsional, Kongregasi Klerus juga dapat mendelegasikan Ordinaris lain (lih. Norma Prosedur, pasal 2).
Permohonan
“Dalam permohonan yang harus ditandatangani oleh pemohon, selain nama dan nama keluarga dan data pribadi pemohon, harus ditunjukan juga secara garis besar, fakta-fakta dan argumen dasar dari pemohon untuk mendukung permohonannya” (pasal 3): dan harus ditujukan kepada Paus sebagai satu-satunya subyek yang berwenang untuk dapat memberi dispensasi atau melepaskan selibat.
Penyelidikan
Setelah permohonan diterima, Ordinarislah yang harus memutuskan apakah permohonan kasus itu pantas untuk diproses lanjut atau tidak. Penerimaan permohonan sangat jelas tergantung pada fumus boni iuris dan bobot fakta yang disampaikan pada pengajuan permohonan.
Jika demikian, Ordinaris harus dengan hati-hati memberhentikan pemohon dari pelaksanaan Tahbisan suci, kecuali jika latihan ini dianggap mutlak perlu untuk melindungi nama baik imam atau untuk melindungi kebaikan komunitas.
Oleh karena itu, Ordinaris, secara pribadi atau melalui seorang imam yang bijaksana dan aman, yang dipilih secara tepat untuk tugas ini, menyediakan penyelidikan kasus itu, dengan kehadiran seorang notaris yang akan mengesahkan akta-akta itu (lihat pasal 4).
Hal penting lain adalah sumpah dari pihak pemohon untuk mengatakan apa yang benar. Uskup atau imam investigator menginterogasi pemohon dengan pertanyaan-pertanyaan yang akurat dan tepat yang disiapkan secara khusus (lihat pasal 5).
Dalam proses interogasi ada hal-hal yang tidak bisa dilupakan seperti: a) data pribadi pemohon: waktu dan tempat lahir, informasi tentang kehidupan sebelumnya, informasi tentang keluarga asal, adat istiadatnya, studinya, pendapat-pendapat yang diberikan sebelum tahbisannya, waktu dan tempat tahbisan; kurikulum pelayanan imamatnya; dan informasi umum lainnya; b) penyebab dan keadaan yang menjadikan yang bersangkutan ada pada situasi sekarang, atau keadaan yang membuat dia kehilangan status klerikalnya (lihat pasal 6).
Selain itu, Uskup atau imam penyidik perlu: a) mendengarkan, jika mungkin, kepada Pemimpin informasi yang berkaitan dengan masa formasinya, dengan bisa juga meminta laporan tertulis; b) memeriksa saksi-saksi lain yang ditunjuk oleh pemohon atau dipanggil atas inisiatif sendiri; c) akhirnya mengumpulkan dokumen-dokumen dan bukti-bukti lain dengan menggunakan, jika dianggap tepat, nasihat para ahli, terutama dalam hal cacat-cacat serius dalam lingkup pertimbangan pertimbangan (lihat pasal 5).
Mengingat diperolehnya barang bukti dan surat-surat oleh penyidik dan yang harus ditandatangani oleh notaris, maka perlu dipastikan: – jika pemohon berusaha untuk menikah, dengan demikian menunjukkan dokumen otentik dari akta perkawinan sipil (termasuk status perkawinan istri: belum menikah atau bercerai atau putus dari ikatan sebelumnya atau jika dia terikat dalam Insititut Hidup Bakti oleh kaul atau abadi atau sementara); – jika pemohon telah mendapat kehilangan status klerikal tanpa diberikan dispensasi dari selibat; – jika pemohon adalah anggota dari sebuah Institut Hidup Bakti yang diberhentikan “ipso facto” sesuai dengan kan. 694 §1-2, maka dengan demikian perlu melampirkan pernyataan fakta yang diperlukan (Norma prosedural, pasal 5-6).
Kesimpulan penyelidikan
Setelah penyelidikan selesai, semua dokumen, dengan tambahan informasi yang berguna untuk mengevaluasi bukti, harus dikirim dalam rangkap tiga kepada Kongregasi Klerus, bersama-sama dengan: 1). pendapat dari Ordinaris tentang kebenarannya dan tentang tidak adanya skandal (lihat Aturan prosedural pasal 7); 2). keputusan Ordinaris dari tempat tinggal terhadap pemohon soal risiko skandal publik setelah pemberian dispensasi dari selibat; 3). dan pendapat hakim penyidik.
b) Fase Kedua
Fase kedua dimulai pada Kongregasi untuk Klerus. Kongregasi untuk Klerus yang “akan membahas penyebab dan memutuskan apakah permintaan itu akan diteruskan kepada Paus ataukah penyelidikan harus diselesaikan atau permintaan ditolak karena tidak memiliki dasar” (Norma Prosedural , pasal 8).
Tahap ini dimulai dengan penyelidikan pertama terhadap tiga salinan proses untuk memverifikasi kelengkapan formal dan soliditas hal-hal yang substansial. Jika semua proses ini berjalan baik maka akan ditetapkan nomor protokol khusus untuk penyebabnya.
Dalam hal adanya dokumentasi yang tidak lengkap, maka Kongregasi akan meminta Ordinaris untuk melengkapinya. Jika pendokumentasian sudah lengkap, Kongregasi Klerus meminta agar kajian akta-akta tersebut dilakukan lebih lanjut oleh tiga komisioner.
Komisioner ini terdiri dari para imam yang ahli di bidang hukum, moral, teologi sakramen, dan psikologi, yang diangkat selama lima tahun oleh Prefek Kongregasi untuk Klerus.
Pendapat dari para komsioner ini menjadi penting untuk menentukan: a) apakah permintaan dari pemohon ini harus dikirimkan kepada Paus untuk dispensasi dari kewajiban yang timbul dari tahbisan suci; b) apakah penyelidikan benar-benar sudah selesai; c) apakah permintaan harus ditolak karena tidak memiliki dasar yang kuat dan jelas.
Lalu berkaitan dengan usia pemohon. Paus Benediktus XVI pada 2008 lalu, pernah mengeluarkan norma bahwa pemohon yang berusia di atas 40 tahun maka kasusnya akan ditangani oleh komisi yang terdiri dari tiga anggota, Sedangkan bagi mereka yang berusia di bawah 40 tahun akan ditangani oleh sebuah komisi yang terdiri dari 5 anggota.
Setelah Komisi memiliki suara dan pendapat afimatif atas kasus yang ditangani maka akan dikirim sebuah dokumen ke Bapa Suci. Lembaran dokumen ini biasanya disebut dengan nama “Lembar Audiens”.
Lembar audiens ini harus sudah bersifat definitif. Dan kemudian jika Paus memberikan persetujuannya, maka Kongregasi Klerus mengirimkan reskrip pemberian dispensasi ini kepada Ordinaris atau Pemimpin tinggi pemohon untuk kemudian disampaikan kepada pemohon.
Dalam teks “reskrip untuk dispensasi” memuat hal-hal berikut:
1. Reskrip dispensasi harus diberitahukan sesegera mungkin kepada pemohon oleh Ordinaris yang berwenang, dengan beberapa catatan penting: a) menjadi efektif sejak diberitahukan kepada pemohon; b) tidak dapat dipisahkan termasuk dispensasi dari tahbisan suci dan pada saat yang sama hilangnya status klerikal. Pemohon tidak akan pernah dapat memisahkan dua unsur, yaitu menerima yang pertama dan menolak yang kedua, c) jika pemohon adalah seorang religius (anggota hidup bakti atau serikat hidup kerasulan) reskrip juga memuat dispensasi dari kaul; d) juga termasuk, sebagaimana disyaratkan oleh kasus tersebut, pembebasan atas pengaduan-pengaduan yang timbul.
2. Pemberitahuan dispensasi dapat dilakukan baik secara pribadi atau oleh Ordinaris sendiri atau oleh utusannya, atau dengan surat tertulis (pos tercatat). Ordinaris harus mengembalikan salinan yang ditandatangani oleh pemohon yang menerima dengan iman reskrip itu dan dengan semua aturan yang terkandung didalamnya.
3. Berita tentang pemberian dispensasi, hendaknya dicatat dalam buku baptis paroki pemohon.
4. Berkenaan dengan perayaan perkawinan kanonik, berlaku norma-norma yang ditetapkan dalam Kitab Hukum Kanonik. Akan tetapi, Ordinaris harus berhati-hati agar perayaan itu dilakukan dengan hati-hati, dengan menghindari kemegahan yang berlebihan.
5. Otoritas gerejawi, yang bertanggung jawab untuk memberitahukan reskrip kepada pemohon, dengan hangat menasihati pemohon untuk berpartisipasi, sesuai dengan kondisi hidupnya yang baru, dalam kehidupan umat Allah, untuk memberikan contoh yang baik dan dengan demikian menunjukkan sikap seorang anak yang setia pada Gereja.
Pada saat yang sama, perlu juga diingatkan pada pemohon bahwa : a) Imam yang didispensasi akan kehilangan hak-hak yang dimilikinya berkaitan dengan status klerikal, kehormatan dan jabatan gerejawi, dan tidak lagi terikat oleh tugas-tugas lain yang berhubungan dengan status klerikal; b) Ia dikecualikan dari pelaksanaan pelayanan suci, kecuali apa yang diatur dalam kan. 976, 986§2, dan oleh karena itu tidak dapat memberikan homili, juga tidak dapat menjalankan jabatan manajerial di bidang pastoral, atau memenuhi jabatan administrator paroki; c) Demikian pula, dia tidak dapat menjalankan fungsi apa pun di seminari dan institut lain yang sederajat.; d) Pada institut-institut tingkat tinggi, baik yang bergantung pada otoritas gerejawi maupun tidak, ia tidak dapat mengajarkan disiplin teologis yang ketat atau terkait erat dengannya; e) Pada institut-institut dengan tingkat yang lebih rendah, yang bergantung pada otoritas gerejawi, ia tidak dapat menjalankan tugas manajerial dan pengajaran dari disiplin teologis yang ketat; f) Dalam dirinya sendiri, imam yang dibebaskan dari selibat suci, dan terlebih lagi dipersatukan dalam perkawinan, harus menjauhkan diri dari tempat-tempat di mana kondisinya sebelumnya diketahui dan ia juga tidak dapat melakukan pelayanan sebagai lektor dan akolit atau pelayan komuni luar biasa.
6. Ordinaris keuskupan domisili atau tempat tinggal pemohon (imam yang didispensasi), menurut pertimbangannya yang bijaksana, setelah mendengar dari pihak-pihak yang berkepentingan dan dengan cermat mempertimbangkan keadaan, dapat mengeluarkan sebagian atau seluruh klausul yang ada pada poin 5 huruf e dan f.
7. Dispensasi ini berlalu sejak pemberitahuan hilangnya status klerikal, diberikan dan dikomunikasikan dalam suatu dokumen tertulis.
8. Beberapa bantuan kesalehan atau karya amal bisa juga diberikan kepada pemohon.
9. Dan Ordinaris yang berkompeten kemudian akan melaporkan secara singkat kepada Kongregasi dan, jika ada “keheranan” di tengah umat beriman, maka ordinaris bisa memberikan penjelasan yang bijaksana.
Akhirnya perlu disampaikan pula bahwa uraian norma-norma prosedural dalam proses klerus menjadi awam ini bisa saja berubah dalam beberapa waktu terakhir ini, terlebih dalam kaitan dengan hal-hal yang bersifat teknis. Sebab Gereja senantiasa ada dalam perubahan. “Ecclesia semper reformanda est.”
Referensi:
- A. Neri, La perdità dello stato clericale per rescritto della Sede Apostolica, Ius et Iustitia, XVI.
- E. Miragoli, La perdita dello stato clericale e la dispensa dal celibato. Diritto comune e facoltà speciali, in Quaderni di Diritto Ecclesiale, XXIV, 2 (2011).
- V. Mosca, La perdita della condizione giuridica clericale e i suoi sviluppi più recenti, in Il sacramento dell’ordine, a cura del Gruppo Italiano Docenti di Diritto Canonico, Quaderni della Mendola 19, Milano 2011.