Katolikpedia.id – Sebagaimana diungkapkan Sekretaris Jenderal Sinode Para Uskup Kardinal Lorenzo Baldisseri pada 7 Maret 2020, Paus Fransiskus akan mengadakan Sidang Umum Biasa XVI Sinode Para Uskup pada Oktober 2022.
Paus Fransiskus telah membuka secara resmi Sinode Para Uskup 2021-2023, pada 10 Oktober yang lalu, dengan tema “Demi Gereja Sinodal: Persekutuan, Partisipasi dan Misi”. Sejak saat itu, muncul banyak tanya soal apa itu sinodalitas dalam Gereja?
Sebenarnya sejak lama topik sinodalitas telah menempati ruang khusus dalam relung hati Paus Fransiskus.
Saat merayakan 50 tahun peringatan pembentukan Sinode Para Uskup oleh Santo Paulus, Paus berucap, “Dari awal pelayanan saya sebagai Uskup Roma, saya berusaha meningkatkan Sinode, yang merupakan salah satu warisan paling berharga Konsili Vatikan II… justru cara sinodalitas ini yang Allah harapkan dari Gereja di millennium ketiga”.
Paus mengulang fitrah hatinya ini tatkala berbicara pada Komisi Teologi Internasional 2018, “sangat dekat di hati saya: sinodalitas adalah gaya, itulah berjalan bersama, dan itulah yang Tuhan harapkan dari Gereja di millennium ketiga” (penakatolik.com, 7/3/2020).
Terminologi sinodalitas berakar dari kata Yunani “sýnodos” (syn-hodos) diterjemahkan ke dalam bahasa Latin sebagai “sýnodus” atau “concilium”.
BACA: Paus Sebut Nama Indonesia dalam Homilinya
Dengan masuknya istilah “concilio” justru memperkaya isi semantik dari kata “sinode”. Dan istilah ini mengingatkan pada istilah Ibrani “qahal” yang berarti “berkumpul”. Terjemahan kata Ibrani ini bergema dalam bahasa Yunani dalam kata “ecclesia” yang memiliki hubungan etimologis dengan kata kerja “kalein”, yang berarti “memanggil”.
Dan bahkan sejak abad-abad awal, kata “sinode” menunjuk pada pertemuan gerejawi yang diadakan di berbagai tingkatan (keuskupan, provinsi atau regional, patriarkat dan universal) yang dalam terang Sabda Allah dan Roh Kudus membahas masalah-masalah doktrinal, liturgis, kanonis dan pastoral.
Atau dalam Kitab Hukum Kanonik 1983 kan. 342, dikatakan: Sinode Para Uskup adalah “himpunan para Uskup yang dipilih dari pelbagai kawasan dunia yang pada waktu-waktu yang ditetapkan berkumpul untuk membina hubungan erat antara Paus dan para Uskup, dan untuk membantu Paus dengan nasihat-nasihat guna memelihara keutuhan dan perkembangan iman serta moral, guna menjaga dan meneguhkan disiplin gerejawi, dan juga mempertimbangkan masalah-masalah yang menyangkut karya Gereja di dunia.” Singkat kata, pengalaman Sinode adalah pengalaman “berjalan bersama” (walk together, camminare insieme), perjalanan bersama yang dilakukan bersama oleh Umat Allah.
Sederhananya, sinode mengacu pada temu pimpinan Gereja dengan jemaat untuk mendengar curahan hati, mencermati kenyataan gerejawi, sebagai aspirasi untuk menimbangkan dan membuat kebijakan. Praktek ini dalam bentuknya yang sederhana sudah lazim sejak jemaat perdana. Hanya saja, secara ofisial-institusional, sinode baru dimulai oleh Konsili Vatikan II.
Tradisi selalu memiliki logika dan mengusung kebenaran tertentu. Paus Fransiskus memutuskan mewariskan tradisi sinodalitas Konsili Vatikan II bukan karena preferensi sentimental. Sebagai temu ekumenis terbesar dalam sejarah Gereja, Konsili Vatikan II bukan tanpa gerakan Roh Kudus dan kepekaan para hierarki Gereja terhadap realitas sosial. Konsili Vatikan II menorehkan pencapaian penting yang berhasil menggiring bahtera Gereja bertahan hingga hari ini.
Yves Conggar, teolog kenaaman Perancis, salah satu aktor intelektual di balik Konsili Vatikan II, melontarkan kritik pedas bahwa Gereja Katolik pra-Vatikan II adalah hierarkiologi, bukan eklesiologi. Vatikan II mengembalikan esensi kepemimpinan Gereja yang biblis dan sesuai Tradisi: eklesiologi.
Bila hierarkiologi mengklaim kebenaran wahyu ilahi milik eksklusif para hierarki, eklesiologi sebaliknya mengingatkan para hierarki bahwa kebenaran wahyu ilahi bukan previlese hierarki. Semua orang yang dibaptis eligible untuk mendapatkan terang kebenaran ilahi.
Atas dasar itu, eklesiologi mendesak hierarki untuk memasang telinga terhadap suara umat, memelekkan mata terhadap kenyataan Gereja, dan berwawan hati dengan warga Gereja, terutama yang paling rentan dan luput dari mata banyak orang (the least-advantaged).
Eklesiologi mendorong kolaborasi intim-intens hierarki dan segenap warga Gereja. Visi eklesiologis Konsili Vatikan II dengan demikian, tanpa disadari, sudah mengantisipasi disrupsi seluruh tatanan sosial yang disebabkan oleh gebrakan digital melalui Revolusi Industri 4.0.
Professor Klaus Schwab, pendiri World Economic Forum dan pencetus Revolusi Industri 4.0 pada 2015, mengatakan dunia tidak lagi berada di dalam trah Revolusi Industri 3.0. Dengan karakter “speed (everything is happening at a much faster pace than ever before), breadth and depth (so many radical changes are occurring simultaneously), and the complete transformation of entire systems”, semua lembaga dan tatanan sosial harus mengadopsi kepemimpinan “more networked and collaborative models” (Schwab, The Forth Industrial Revolution, 2016).
Sebelum VUCA (Bob Johansen, Get There Early, 2017: Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity) menyerang pendekatan hierarkiologis tatanan sosial, Gereja Katolik 50 tahun sebelumnya sudah berbenah diri dengan pendekatan organisasi shape-shifting atau jejaring-simpul-jala-ikan (Haryatmoko, Jalan Baru Kepemimpinan & Pendidikan, 2020).
Gereja Katolik, terbukti melalui Konsili Vatikan II, lebih dulu mengaplikasikan responsive leadership (Richard Kelly, Constructing Leadership 4.0, 2019) dibandingkan state-actor atau non-state actor apapun. Dengan demikian, kelihatan bahwa keputusan Paus Fransiskus untuk mewarisi tradisi sinodalitas bukan mimpi semalam atau ikhtiar buta.
Gerakan hati Paus Fransiskus selalu berkelindan dengan inspirasi Roh Kudus, selaras Kitab Suci dan Tradisi, dan tuntutan kenyataan.
BACA JUGA: Kumpulan Doa Katolik untuk Mohon Pekerjaan
Kaum hidup bakti sebagai ‘enzim’ Gereja, kelompok yang memainkan peran khusus dan vital di dalam irama hidup Gereja, tentu saja tidak bebas dari desakan kebutuhan realitas dan dorongan Roh Kudus. Kaum hidup bakti selalu harus merasa bersama Gereja (sentire cum ecclesiae).
Maka, pada perayaan hari Hidup Bakti Sedunia yang ke-26 2 Februari 2022 kemarin, topik sinodalitas yang diusung Paus dan Gereja semesta menjadi concern refleksi kaum Hidup Bakti. Sebagaimana pesan yang disebarkan oleh Kongregasi untuk Lembaga Hidup Bakti dan Serikat Hidup Kerasulan yang ditandatangani oleh Kardinal João Braz de Aviz (Prefek ) dan Mgr. José Rodriguez Carballo (Sekretaris), fokus refleksi pada kata “partisipasi”.
Ada tiga kata kunci yang terkait dengan term partisipasi disini, yakni: soal rasa memiliki (belonging), tanggung jawab (responsability) dan tanggung jawab bersama (co-responsibility). Kaum Hidup Bakti diajak untuk mengasah ketajamannya berjalan bersama Gereja universal, untuk menjadi Gereja yang sinodalis.
Mengakhiri tulisan ini, saya kutip homili Bapa Suci, Paus Fransiskus pada Misa Pembukaan Sinode Para Uskup, Minggu, 10 Oktober 2021 lalu: “merayakan Sinode berarti berjalan di jalan yang sama, berjalan bersama.
Mari kita melihat Yesus. Pertama, Dia berjumpa dengan seorang kaya di jalan; Dia kemudian mendengarkan pertanyaannya, dan akhirnya Dia membantunya membedakan apa yang harus orang itu lakukan untuk mewarisi kehidupan kekal. Jumpai, dengarkan, dan pahami. Saya ingin merenungkan tiga kata kerja yang menjadi ciri Sinode ini”.
Kaum Hidup Bakti pun dipanggil untuk menjadi Gereja yang Sinodalis. Dengan berjalan bersama, berjalan di jalan yang sama untuk menjumpai, mendengarkan dan memahami.
Mari Kita Berjalan Bersama !!!