Katolikpedia.id
Berita Motivasi

Kepemimpinan Generatif Dalam Hidup Bakti

Kepemimpinan-dalam-gereja-katolik

Katolikpedia.id – Pengalaman beberapa kali mengikuti dinamika seminar “Sekolah Kepemimpinan Internasional” (Scuola Internazionale di Governo) memantik saya untuk sedikit berbagi melalui tulisan sederhana ini soal jenis kepemimpinan apa perlu dan cocok dalam sebuah pola kepemimpinan dalam hidup bakti.

Sepintas untuk menghangatkan kepala, saya tampilkan beberapa kisah kasuistik soal kepemimpinan dalam biara atau lembaga hidup bakti. Seorang teman pernah berkisah. Pemimpinnya itu cruel. Diktator. Otoriter. Repot dengan banyak hal. Atur sana – atur sini. Sampai hal yang kecil sekalipun. Tapi tidak pernah mengatur inti persoalan. Yang disentuh hanya ‘kulit’.Apa yang terjadi, anggota-anggotanya kehilangan independensi.  

Pemimpinnya juga doyan omong nama anggota-anggotanya. Suka membandingkan yang satu dengan yang lain. Lagi pula ia marah kalau para anggotanya tidak berlaku atau bertutur sesuai kehendaknya. Apalagi jika ada yang menentang pendapatnya, dianggap ‘outsider’. Bila perlu disingkirkan (baca: dipindahkan). Tidak jarang ada yang dipulangkan. Pemimpinnya ingin menseragamkan ragam karakter, budaya, etnis dan ragam pikir anggota-anggotanya. Komunitas biara tidak lebih dari sebuah “penjara” yang memasung pertumbuhan diri dan panggilan anggota-anggotanya.  

Ada pula kisah tentang pemimpin yang ingin berkuasa seumur hidup, in vitam aeternam. 12 belas tahun menjadi anggota dewan umum, kemudian terpilih menjadi Pemimpin Umum selama 12 tahun, dan akhirnya berhasil dipilih kembali sebagai Wakil pemimpin umum untuk dua periode kepemimpinan lagi.

Bayangkan hampir seluruh hidupnya hanya ada dalam lingkaran kekuasaan. Belum lagi soal jaminan keistimewaan eksklusif yang sering didapat seorang pemimpim, seperti: menikmati perawatan medis terbaik, menikmati kesempatan untuk berlibur yang lebih (dia bisa berlibur setiap tahun sedangkan anggota-anggotanya baru bisa berlibur 3,4 atau 5 tahun sekali), memiliki hari istirahat yang lebih, dapat berjalan-jalan keluar tanpa harus memberitahu siapapun dan lebih elegan dalam berpenampilan bila dibandingkan dengan saudara atau saudarinya. Atau jika ada anggotanya yang meminta ingin dibelikan yang pakaian maka harus sabar untuk menunggu pertimbangan dewan yang kadang ujung-ujungnya adalah permintaan itu ditolak “dengan alasan kemiskinan.”

Belum lagi ada pemimpin yang merasa tidak nyaman bila pendapatnya ditentang. Tidak boleh ada yang menentang pendapatnya. Apa yang disampaikan olehnya harus diamini. Apa saja yang ke luar dari mulutnya itu kehendak Allah.

Ketaatan dipakai sebagai legitimasi menuntut kepatuhan mutlak anggotanya. Dialog tidak lagi dianggap penting. Apalagi moment of discernment. Kehendak pribadinya dipaksa untuk diterima oleh anggota-anggotanya.

Konsekuensinya para anggota hidup dalam kepasifan. Hanya bisa menerima. Daya nalar dan kritis mereka dipasung. Jauh dari discernment. Pragmatis. Mereka ikut saja apa yang dikehendaki pemimpinya. Miskin kreativitas. Karena kreativitas dianggap ke luar dari seragam.

Kisah-kisah kasustik ini tidak dimaksudkan untuk menyerang atau menyudutkan gaya kepemimpinan tertentu tapi sebagai sebuah ajakan untuk berjalan bersama sembari berbenah. Sebab jika tidak semangat kepemimpinan akan terus digantikan oleh kesenangan hampa akan kepuasan dan pemuasan diri. Visi mulia dan agung para pendiri kita dulu bisa dikatakan menjadi hilang, tertutup abu ego diri kita.

Istilah Kepemimpinan

Hal pertama yang harus diakui bahwa tidak ada definisi tunggal tentang apa yang dimaksud dengan kepemimpinan. Faktanya, ada banyak sekali penelitian yang berusaha mengurai dan meneliti mengenai masalah kepemimpinan ini.

Akar kata istilah kepemimpinan itu sendiri berasal dari ungkapan bahasa Inggris to lead yang berarti membimbing, mengarahkan, memimpin. Oleh karena itu, seorang pemimpin adalah seorang yang memandu, menjalankan kekuasaan, mengarahkan, memotivasi, dan memimpin sebuah kelompok dengan tujuan tertentu.

Atau dengan singkat, menurut P. Hersey dan K. Blanchard, kepemimpinan adalah proses mempengaruhi aktivitas individu atau kelompok yang berkomitmen pada pencapaian tujuan bersama pada situasi dan kondisi tertentu.

Istilah pemimpin (leader) dan kepemimpinan (leadership) memang sangat berdekatan tapi tetap saja ada bedanya. Pemimpin, secara umum, diidentifikasi sebagai orang yang menempati posisi, dalam banyak kasus, memiliki hak istimewa atau, bagaimanapun juga, tidak egaliter dan/atau asimetris terhadap mereka yang mengidentifikasi diri sebagai pengikut.

Namun, pendekatan kepemimpinan saat ini, yang membalikkan perspektif tradisional, memusatkan perhatian dan pemahaman terhadap fenomena tersebut tidak terlalu pada sosok pemimpin, tetapi pada hubungan pribadi dan kelompok yang mengikat pemimpin dengan para pengikutnya. Kepemimpinan, pada kenyataannya, adalah hubungan etis yang kompleks antara orang-orang yang didasarkan pada kepercayaan, komitmen, dan visi bersama tentang apa yang baik dan benar.

Konsep kepemimpinan sering kali pula dikaitkan atau dikacaukan, tumpang tindih atau dipertentangkan dengan istilah lain seperti kekuasaan, otoritas dan manajemen. Konsep otoritas, di sisi lain, mengacu pada ‘kekuasaan’ yang dilegitimasi, yaitu diakui sebagai sah oleh para pengikut atau anggota suatu kelompok, dan sebagai konsekuensinya, ada penerimaan (atau penolakan) terhadap keputusan yang dianggap sah atau tidak sah. Kepemimpinan didasarkan pada kemampuan untuk memengaruhi dan diikuti tanpa paksaan: pemimpin tidak harus berurusan dengan hierarki, tetapi membimbing orang dan kelompok ‘dari dalam’, yaitu melalui otoritas dan kepercayaan yang diberikan kepadanya.

Perbedaan antara kepemimpinan dan manajemen adalah masalah lain lagi. Di masa lalu, keduanya mungkin terlihat sebagai dua bidang kompetensi yang terpisah, fungsi yang berbeda yang tidak selalu tumpang tindih. Saat ini kita cenderung menganggapnya sebagai kegiatan dan fungsi yang saling melengkapi, karena kepemimpinan dan pengelolaan sumber daya (manajemen) harus berjalan seiring, bahkan lebih baik lagi jika keduanya ada pada orang yang sama.

Kepemimpinan yang baik dijalankan melalui komunikasi visi dan misi, dan agar hal ini dapat diwujudkan, maka perlu menemukan arah yang tepat melalui perencanaan, organisasi dan koordinasi dan inilah yang disebut dengan fungsi manajerial.

Kepemimpinan Generatif dalam Hidup Bakti

Dalam konteks lebih luas, kepemimpinan dalam Gereja itu adalah kepemimpinan Sakramental. Kepala atau pemimpin Gereja dari dulu, sekarang dan nanti adalah Kristus. Lalu kepemimpinan Kristus itu in persona Christi diperagakan oleh kaum tertahbis. Oleh karena itu sifat kepemimpinan dalam Gereja Kristokratis dan bukan demokratis.

Uskup, imam dan diakon tidak dipilih oleh umat tapi oleh Kristus melalui sakramen tahbisan.  Corak dasar kepemimpin Kristokratis adala bukan memerintah atau mengusai melainkan melayani atau mengabdi.

Dalam Gereja dan dalam lembaga hidup bakti adapula dua model kepemimpinan yakni kepemimpinan institusional dan kepemimpinan personal (self leadership). Masalah kita bersama adalah lemahnya “self leadership” dalam pola kepemimpinan kita. Misalnya pemimpin yang memimpin pikirannya sendiri, memimpin perasaannya sendiri atau memimpin tindakan sendiri.

Akhirnya harus diakui bahwa lemahnya self leadership ini akan akan berdampak pada kepemimpinan lembaga hidup bakti dan kepemimpinan dalam Gereja. Kita kembali terjebak jatuh dalam gaya kepemimpinan yang otoriter. Kita kembali terpasung pada pola kepemimpinan yang sangat hierarkis yang biasanya identik dengan pendekatan kebijakan “top-down” bukan “bottom up”.

Karenanya, pertanyaan yang penting yang bisa kita ajukan disini adalah: apakah masuk akal untuk berbicara tentang kepemimpinan dalam konteks hidup bakti, terutama pada saat-saat historis transisi, krisis dan darurat di semua tingkatan. Jawabannya tentu sangat masuk akal.

Seperti yang ditulis oleh Yohanes Paulus II dalam dokumen Vita Consecrata: “Kalian tidak hanya memiliki sejarah yang mulia untuk diingat dan diceritakan, tetapi juga sejarah yang hebat untuk dibangun! Pandanglah masa depan, ke mana Roh memproyeksikan kalian untuk melakukan hal-hal yang lebih besar lagi bersama” (no. 110).

Dan masa depan harus dirangkul dengan penuh harapan dan siapa yang bisa menjadi fasilitator untuk berlayar ke masa depan kalau bukan mereka yang terpanggil untuk menjadi pemimpin. Maka pertanyaan lain yang muncul adalah gaya atau model kepemimpinan seperti apa yang dapat diusulkan agar mereka yang terpanggil untuk tugas ini dapat memandu, mengarahkan, dan menemani menuju masa depan?

Di antara berbagai model kepemimpinan dan berbagai teori yang mendukungnya, pilihan yang paling tepat tampaknya adalah kepemimpinan generatif, sebuah model kepemimpinan yang mengintegrasikan gaya kepemimpinan transformasional dan karismatik, yang keduanya sama-sama memiliki ketegangan terhadap masa depan, dimana yang satu berorientasi pada tugas dan yang lainnya berorientasi pada pribadi.

Istilah generativitas itu sendiri, kini telah menjadi sangat umum dan menjadi semakin meluas di bidang humaniora: pemikiran generatif, pembelajaran generatif, komunitas generatif, kepemimpinan generatif, kesejahteraan generatif, dan sebagainya, hanyalah beberapa cara untuk membicarakan generativitas. Dan konsep generativitas, yang dalam beberapa tahun ini terakhir telah membangkitkan minat yang cukup besar di semua bidang pengetahuan. Mungkin karena istilah ini sering digunakan sebagai sinonim untuk kreativitas, fleksibilitas, inovasi, generasi ‘baru’ di dunia yang terus berubah.

Dalam konteks kepemimpinan, kepemimpinan generatif adalah model dan gaya kepemimpinan yang kontras dengan model dan gaya kepemimpinan yang berpusat pada diri sendiri dan model kepemimpinan yang otoriter. Fakta pengetahuan telah menunjukkan ketidakefektifan kepemimpinan otoriter atau kepemimpinan yang mengacu pada diri sendiri.  

Fakta empiris juga telah menunjukkan bagaimana kemampuan untuk memengaruhi orang dengan menggunakan kekuasaan dan/atau otoritas tidak membantu untuk bekerja lebih baik, berkolaborasi, dan mengekspresikan semua sumber daya dan kualitas individu serta kelompok atau tim secara keseluruhan; sebaliknya, justru hanya akan menjadi sumber ketidakpuasan dan konflik.

Fakta empiris kembali membuktikan bahwa selama berabad-abad, khususnya dalam beberapa konteks budaya, pelaksanaan kekuasaan terkadang berubah menjadi penyalahgunaan kekuasaan yang penuh dengan kontrol atau perintah, kontras dengan logika injili dan konsep tentang otoritas itu sendiri (auctoritas dari kata kerja augere yang berarti bertumbuh dan membuat bertumbuh). 

Dengan kepemimpinan generatif seorang pemimpin diajak untuk mampu membimbing, memotivasi dan menginspirasi, mendorong, memberikan kepercayaan diri, dan mendekati orang-orang dengan penuh rasa hormat, tetapi di atas semua itu, ia tahu bagaimana menjaga kepentingan, kebutuhan pertumbuhan baik pada tingkat pribadi maupun panggilan dan profesionalitas setiap individu.

Dalam konteks kompleksitas, fragmentasi, dan daya saing dunia produktif dan konsumeris kontemporer saat ini, penelitian telah menunjukkan bahwa untuk menjadi ‘pemimpin yang baik’, selain keterampilan dan kompetensi khusus, perlu untuk mengetahui cara memperhatikan orang dan pertumbuhan mereka, serta kesejahteraan kelompok di mana seseorang menjadi bagiannya.

Untuk itu, perlu diperkenalkan gaya kepemimpinan yang berorientasi dan peduli pada pengembangan kapasitas komunikatif dan relasional seseorang untuk terbuka dalam menghadapi kenyataan dan dengan semua orang, karena di dalam diri seseorang terdapat rasa saling memiliki, motivasi, berbagi, kreativitas dan inovasi, proses pertumbuhan dan kepedulian terhadap kolaboratornya, serta menggunakan kesulitan dan hambatan dengan mengubahnya menjadi peluang bagi kelompoknya.

Pada titik ini, bisa kita katakan bahwa kepemimpinan generatif sangat mengutamakan sikap keterbukaan dan konfrontasi dengan orang lain dan dengan realitas, kemampuan untuk berkolaborasi dan berbagi keputusan dan tindakan dalam pandangan tujuan bersama yang ingin dicapai dalam terang visi kehidupan yang jelas.

Seorang pemimpin hadir dan menawarkan diri sebagai pemandu dan bukan sebagai “polisi”, mengorientasi dan memotivasi anggota untuk berjalan bersama menuju tujuan dan nilai-nilai yang ingin dicapai dari misi bersama.

Selain itu, kepenuhan syarat dalam gaya “generatif” ini adalah kemampuan untuk menemani dan merawat orang lain. Gaya kepemimpin generatif ini mengajak kita untuk memalingkan ingatan pada orang-orang yang menemani dan merawat kita dalam proses pertumbuhan dan pendewasaan hidup kita: ibu dan ayah, orang tua dan kakek-nenek, pendidik, teman, sahabat dan semua orang penting yang kita temui dalam hidup kita.

Kepemimpinan generatif sekali lagi bisa menciptakan komunitas pembelajaran kepemimpinan yang menemani, merawat, proaktif, inovatif dan adaptif. Para ilmuwan pun menambahkan adanya lima kata kunci dari kepemimpinan generatif, yakni: etos dan tanggung jawab moral, visi, pembelajaran kelompok, visi partisipatif, pemikiran sistemik. Sedangkan dimensi lain yang memberi karakter khusus pada gaya kepemimpinan generatif ini adalah otonomi, kepercayaan, dukungan, keadilan, inovasi, kredibilitas, relasi timbal balik, rasa hormat, dan lain-lain.

Dan di atas semua itu, kepercayaanlah yang harus mendominasi. Hubungan saling percaya ini dimainkan melalui komunikasi yang jujur dan keterbukaan yang total dalam relasi serta dinamika antar pribadi.

Akhir kata, saya ingin katakan bahwa kepemimpinan adalah kualitas yang harus diperoleh dan dikembangkan melalui upaya terus-menerus dalam pertumbuhan pribadi, penemuan diri menuju kesadaran diri yang lebih dalam, keberanian untuk menjadi diri sendiri, sudah merasa cukup dengan diri,  ada kebebasan batin, kerendahan hati, dan kebenaran.

Dan dari seorang pemimpin dituntut tidak saja keterlibatan emosi dan afeksi, tapi juga empati dan adaptasi, integritas dan kejujuran pribadi, serta kejelasan komunikasi dan relasi. Dan kekuatan kepemimpinan generatif terletak pada kemampuan seorang pemimpin untuk memberi tanpa batas.

Sumber Inspirasi:

Giorgio Zevini, I fondamenti biblici del servizio dell’autorità (La sequela di Gesù modello sinodale), Novembre, 2021.

Pina Del Core, Leadership Generativa: Ruoli e dinamiche interne del governo del Consiglio e dei Superiorei Maggiori, Novembre, 2021.Santiago G. Silva, Il servizio di autorità negli Istiuti e la dinamica sinodale delle prime comunità cristiane, Novembre, 2021.

Berita Terkait:

Wow! Ini Sejumlah Tradisi Unik pada Hari Raya Perawan Maria Diangkat Ke Surga

Edeltrudizh

Di Tengah Pandemi, Pekan Komsos Online 2021 Tetap Semarak

Redaksi

Mau Jadi Volunteer di Rumah Ibu Teresa di India? Ini 5 Hal yang Harus Kamu Siapkan

Redaksi
error: Content is protected !!