Katolikpedia.id
Berita Motivasi

Perbedaan Prodiakon dan Diakon dalam Gereja Katolik Indonesia

perbedaan-prodiakon-dan-diakon

Katolikpedia.id – Dulu ketika masih sebagai Frater di Jogja, ada satu keterkejutan ketika pertama kali saya menghadiri Perayaan Ekaristi Hari Minggu. Keterkejutan itu muncul tatkala saya menerima komuni dari seorang yang berjubah putih mirip pastor.

Sebagai seorang frater yang menghabiskan masa formasi awal di tanah Timor (NTT) tentu kejadian saat itu menjadi kejadian yang tidak biasa dan aneh. Sebab dalam pikiran ke-”timuran” saya saat itu, yang layak membagikan komuni suci selain pastor, ya, diakon, frater, bruder atau suster. Saat itu ya.

Saya kemudian mengenal orang yang berjubah putih di altar mendampingi pastor dalam Misa/Perayaan Ekaristi, dengan penampilannya juga yang mirip pastor dan membagikan komuni kepada umat itu sebagai seorang prodiakon.

Baca Juga: Apa Arti Mencium Cincin Uskup Saat Bersalaman? Ini Penjelasannya!

Pertanyaan logis yang muncul disini siapakah Prodiakon itu? Terminologi prodiakon berasal dari bentukan kata ‘pro’, kata Latin ‘yang berarti ‘demi’, dan kata ‘diakon’ yang berarti ‘melayani’.

Dengan demikian kata ‘prodiakon’ dapat diartikan sebagai ‘untuk melayani’. Sebab tugas-tugas terutamanya adalah untuk melayani umat dalam berbagai kepentingan yang berkaitan dengan kehidupan beragamanya.

Istilah Prodiakon ini baru dikenal sekitar tahun 1980-an di Keuskupan Agung Semarang. Sebelumnya dikenal dengan sebutan “diakon awam atau diakon paroki”. Dan istilah prodiakon ini hanya dikenal di Gereja Indonesia. Di tempat lain dikenal dengan  nama “pelayan pembantu komuni” atau “pelayan komuni luar biasa”. Prodiakon adalah awam yang diangkat oleh Uskup untuk melayani di wilayah atau Paroki tertentu.

Tugas yang diberikan uskup kepada prodiakon umumnya meliputi: membantu penerimaan komuni dalam rangka Perayaan Ekaristi atau Ibadat Sabda (peran di paroki), mengirim komuni untuk orang sakit (peran di lingkungan), serta memimpin Ibadat Sabda atau ibadat non-sakramental (seperti ibadat pemakaman, pemberkatan rumah, dsb-peran di lingkungan), dengan kemungkinan memberikan homili tetapi tidak memberikan berkat publik kepada umat.

Uskup tetap dimungkinkan untuk memberikan tambahan tugas atau membatasi tugas para prodiakon yang diangkatnya.

Tiba disini kita layak bertanya apa ada pertimbangan teologis atau yuridis yang bisa menjadi dasar pelayanan prodiakon. Secara teologis ada dua pertimbangan. Pertama, pelayanan prodiakon merupakan ungkapan dari imamat umum dari sakramen gereja yang diterimanya. Gagasan ini bisa kita temukan dalam: Kel.19:6, 1Ptr 2:5,9, Why. 1:6, dan LG 9, 10, 26,34, SC 14, 48, AG 15. 

 Kedua, soal tuntutan hakikat liturgi sebagai perayaan Gereja. Bahwa perayaan liturgi merupakan perayaan seluruh Gereja (SC 26). Dengan liturgi, Gereja melaksanakan dan mengungkapkan dirinya (SC 2). Sebagai sebuah perayaan Gereja, upacara liturgi tentu bukan perayaan solo seorang imam tapi melibatkan semua anggota tubuh Gereja dengan berbagai peran yang berbeda. Dengan demikian, pelayanan prodiakon merupakan perwujudan dari peran serta umat beriman secara sadar dan aktif dalam liturgi Gereja (SC 14).

Baca Juga: Mengapa Umat Katolik Berlutut Saat Berdoa dan Misa? Ini Penjelasannya!

Sedangkan dari sisi pertimbangan yuridis-kanonis ada dua nomor kanon yang bisa menjadi rujukan akan tugas mulia dari prodiakon, misalkan saja pada kan.230§3: “Bila kebutuhan Gereja memintanya karena kekurangan pelayan, juga kaum awam, meskipun bukan lektor atau akolit, dapat menjalankan beberapa tugas, yakni melakukan pelayanan sabda, memimpin doa-doa liturgis, menerimakan baptis dan membagikan Komuni Suci, menurut ketentuan-ketentuan hukum”.

Atau pada kan.910§2: “Pelayan luar-biasa komuni suci adalah akolit dan juga orang beriman lain yang ditugaskan sesuai ketentuan kan. 230, § 3”. Saya mau katakan bahwa ada payung hukum untuk pelayanan prodiakon dan dalam Hukum Gereja, prodiakon ditampilkan sebagai pelayan luar biasa, awam yang melayani dengan tugas mulia. Seruput kopinya dulu.

Lalu, soal yang sering muncul adalah ada yang mempertanyakan perbedaan “diakon tertahbis” dan “Prodiakon”. Perbedaan yang ada tidak bermaksud untuk mengatakan yang satu lebih penting dari yang lain atau yang satu lebih mulia dari yang lain tapi hanya untuk meletakkan persoalan pada posisinya masing-masing.

Saya hanya menunjukkan perbedaan mendasar saja. Seorang diakon itu ditahbiskan. Kan.1009 menegaskan: “tahbisan-tahbisan adalah episkopat, presbiterat dan diakonat”.

Dengan tahbisan itu seorang diakon masuk dalam kalangan hirarki-klerus. Dan dengan tahbisan yang diterima ia diangkat menjadi pelayan suci dengan ditandai dengan meterai yang tak terhapuskan (bdk.kan.1008). Jabatannya juga bersifat tetap.

Sedangkan seorang prodiakon itu dilantik secara biasa oleh uskup atau oleh pastor atas nama uskup. Dia tetap sebagai seorang awam. Tidak menerima meterai imamat dan jabatannya bersifat sementara dan dapat dipilih kembali.

Referensi:

E. Martasudjita, Pr – Kompendium Tentang Prodiakon, Kanisius 2010.
L. Prasetya, Pr., Prodiakon Itu Awam, Lho, Kanisius, 2007.
Modullo “Munus Sanctificandi”, Roma, 2018.
Kitab Hukum Kanonik.

Berita Terkait:

Ini Jadwal Misa Rabu Abu 2022 di Keuskupan Agung Jakarta

Redaksi

Paus Fransiskus : Hanya Tuhan yang Mencintai Kita dengan Sempurna

Edeltrudizh

Kontroversi, Perjuangan dan Iman Katolik Seorang Lady Gaga

Edeltrudizh
error: Content is protected !!